Prolog

Moskow, Rusia
5 tahun yang lalu

Diana tidak tahu, bahwa remaja usia dua belas tahun seusianya bisa makan sebanyak itu ketika merasa kedinginan. Bahkan ia menghabiskan makanan lebih banyak dari porsi sang ayah. Kerakusannya itu mendapatkan pelototan tajam ibunya serta seulas senyuman merekah dari presiden Rusia. 

"Negara ini punya musim dingin yang kejam, seperti Alaska. Saat seseorang kedinginan, bahkan daging yang di bakar tanpa bumbu di atas perapian adalah harta karun," kata sang presiden dengan bahasa Inggrisnya yang sangat fasih. Tapi bahasa Inggris Diana belum lancar kala itu, jadi ia tidak membalas dan hanya terus mengunyah. 

"Sandi," panggil ibu Diana pelan sembari mengangkat dua jarinya dengan anggun. "Bawa Diana ke kamar ya."

Ajudan dengan pakaian tuxedo serba hitam itu mengangguk. "Baik, Bu." Lalu pria itu beranjak pada Diana. "Mari, saya antar." Dengan cekatan Sandi mengambil jaket Diana yang tergantung di sebuah tiang kayu samping perapian.

"Terima kasih atas jamuannya, Tuan Presiden," ucap Diana dengan bahasa Inggris semampunya setelah menandaskan segelas air putih tanpa jeda. Ibunya sudah tampak marah, bagaimana bisa Diana melupakan etiket dasar bahwa dilarang meneguk minuman sampai habis.

"Jangan panggil aku Tuan Presiden, panggil saja, Paman," balas sang presiden yang ikut berdiri. "Semoga malam di Moskow ini menyenangkan Nona Diana."

Setidaknya, Diana masih ingat untuk mengangguk sopan sebelum pergi dari meja makan tempat pertemuan santai antara presiden Indonesia dan Rusia. Diana membalikan sendok dan garpu di piringnya, tanda ia sudah selesai menyantap hidangan. Itu yang paling ia ingat dari table manner yang ibunya ajarkan. 

"Seharusnya aku tidak membawa anak itu ke pertemuan ini, tapi kami tidak bisa menitipkannya karena... hanya kami yang bisa sesabar itu menghadapinya." Akhirnya pria dengan setelan jas abu-abu itu berbicara. Rambutnya hitam, tersisir rapih, badannya cukup tinggi dan berisi. Sorot matanya selalu tampak tenang, tapi ia ternyata begitu menakutkan karena baru saja mengalahkan dua calon presiden lainnya di pilpres periode ini. Ia David--presiden Indonesia yang baru saja terpilih beberapa bulan lalu. Presiden termuda di Indonesia yang baru menginjak usia 43 tahun.

"Sudah berapa kali Diana membuat semua pengasuhnya mengeluh sampai mengundurkan diri." Julia menyandarkan punggungnya dengan nyaman di kursi makan sembari mengembuskan napas berat, mengingat semua kelakuan putri tunggalnya itu. 

Presiden Rusia menggeleng. "Tapi ia tampak baik. Tidak pernah menyela pembicaraan, menatap mata orang yang berbicara denganya, selalu meminta izin saat hendak mengambil makan. Ia hanya anak-anak, apa adanya. Dan ia sedang kedinginan," bela sang presiden. Jika bahasa Inggrisnya fasih, Diana pasti sudah mengutip kata-kata presiden itu dan membahas dengan ibunya berulang kali. Bahwa ia tidak seburuk yang Julia kira.

Siapa yang tahan dengan udara dingin Rusia? Pasukan perang dunia kedua dari Jerman pun kalah tempur bukan karena salah taktik, melainkan membeku. Uap halus keluar dari hidungnya setiap kali Diana menghembuskan napas. Jaket tebal yang diberikan Sandi sehabis ia keluar dari ruang makan tidak cukup membuatnya hangat. Walau mereka sekarang berada di gedung yang digadang-dagang sebagai gedung teraman di Moskow.

"Waw!" Mata Diana membulat dan bersemangat. Ia berlari dari lorong menuju sebuah lukisan raksasa di tengah aula. "Om bisa fotoin aku sama lukisan ini nggak?" tanya Diana sambil memberikan ponselnya. 

Sandi mengangguk. Ia menerima ponsel Diana dan mencoba membuka layar kuncinya. "Oh, oke." Pria itu mengerjap layar ponsel Diana yang menampilkan permintaan untuk memasukan sejumlah angka. "Eh, password ya, Kak? Password-nya apa?" Sandi pucat, sepertinya hanya beberapa detik ia berpaling dari putri presiden itu tapi Diana sudah menghilang. "Kak Diana?" panggil Sandi mulai panik.

Sementara itu, Diana tertawa puas. Ponselnya sekarang ada di tangan Sandi. Tidak ada yang bisa melacaknya. Sang ayah berkata bahwa ia bisa melacak keberadaan Diana dengan mudah melalui ponselnya. Tapi sekarang ponselnya tidak ada padanya. Diana bebas. Waktunya ia bermain sendiri. Ia mengambil piloks kecil yang ada di saku jaketnya, mengocoknya beberapa kali dan iseng menyemprotkannya ke dinding dengan asal. Wallpaper dinding yang didominasi dengan motif ukiran bunga putih kini tertutupi oleh hitam legam piloks Diana. Bak taman bunga yang layu terbakar.

Gedung ini sangat sepi. Nyaris tak berpenghuni. Koleksi barang antik dan juga lukisan mahal berjejer apik di tiap sudut koridor. Diana berani bertaruh, lebih banyak barang antik di sini dibandingkan jumlah penghuninya. 

Menemukan celah adalah keahliannya. Diana dengan gesit menelusuri lorong demi lorong. Menghapal tiap perbatasan dengan hanya berpatokan pada lukisan atau barang. Kemudian sampai pada pintu belakang gedung, jalan pintas menembus keluar.

"Astaga!" Suara seorang pemuda berteriak keras sewaktu Diana menggeser pintu besi yang berat. "Lho, Di? Lo ngapain?" Ternyata bukan sekadar seorang pemuda, ia Erik. Erik Wijaya. Teman masa kecilnya, bahkan masa remajanya.

"Lo yang ngapain di sini?" Diana berbalik bertanya. Tapi Erik terlalu malu menjawab ketika kedua tangannya dipenuhi bola salju dan di depannya terdapat sebuah boneka salju besar dengan kepala yang terlalu miring. "Siapa ya yang kemarin bilang buat boneka salju itu cuma mainan anak kecil? Sok banget jadi dewasa!" ledeknya. 

Erik langsung melemparkan gumpalan bola saju yang genggam. Ia berdiri setegak mungkin dengan cara seperti seorang pria dewasa. "Oh, nggak. Ini tadi gue...." jawabnya terbata. "Cuma bantuin anak kecil lain bikin boneka salju. Nggak tahu ke mana sekarang anaknya. Masa gue main boneka salju? Minggu lalu aja gue turun dari pegununan Alphen pakai ski! Itu baru mainan anak laki-laki. Ski!" 

Erik tidak berbohong. Ia memang pernah terjun dari pegunungan Alphen di ujian praktik di sekolah mata-matanya. Dan kebetulan, sekolah mata-matanya tengah mengadakan study tour di Moskow, bertepatan dengan jadwal kunjungan presiden Indonesia ke Rusia. Jadi di sini pemuda itu sekarang. Mendapatkan izin khusus karena diminta langsung oleh sang presiden untuk menemani putri presiden yang bosan dan... nakal.

"Lo nggak boleh ada di luar sini. Bahaya!" perintahnya sekaligus mengalihkan topik. Wajah Erik memerah tapi untunglah syal kebesarannya itu menutupi hingga area pipinya saat ia berlari menghampiri Diana.

"Bahaya? Bahaya kalau gue sampai ngejekin lo terus ya?" 

Erik belum selesai tertawa dan menggaruk tengkuknya. Bahaya itu bukan sekadar lelucon. Bahaya itu nyata dan kengerian itu menghampiri kedua remaja yang belum genap berusia tujuh belas tahun.

Dua pria mengepung Diana dari belakang dengan gerakan sangat cepat. Keduanya mengenakan pakaian koki, sama sekali tidak kentara seorang penculik. Ada satu orang di belakang mereka berpakaian serba hitam, menghajar Erik langsung dari samping.

Walau Erik adalah calon mata-mata yang sedang menempuh pendidikan di sekolah khusus mata-mata, tetapi ia tetap bocah laki-laki dengan tinggi hanya 160 senti. Pria serba hitam itu mungkin mencapai 180 dengan otot-otot dan gerakan terlatih. Erik kalah pengalaman, kalah besar, kalah segalanya.

"Erik!!" Bukan memperdulikan dirinya yang sudah terikat dan diseret kasar, Diana justru meneriaki temannya yang sedang dihajar habis-habisan. "Lepasin temen gue!" teriaknya dengan bahasa Indonesia tanpa sadar. Tentu orang-orang ini tidak mengerti apa yang dikatakan Diana. Tapi bukankah seseorang tidak bisa mengontrol bahasanya ketika sedang marah?

Diana meronta-ronta di pundak salah satu pundak koki gadungan. Pundaknya lebar dan bahkan nyaris selebar perut Diana. Koki lainnya menyumpal mulut Diana dengan kain yang sangat bau.

Di saat itu, bantuan tiba. Sandi mengacungkan pistolnya tinggi-tinggi, lalu menembak tanpa ragu kaki koki yang menggendong Diana. Koki itu terjatuh, begitu juga Diana. Perang senjata api pun tidak dapat dihentikan.

Diana berusaha memuntahkan kain di mulutnya. "Erik!" Namun, hanya itu yang bisa ia lakukan, karena kaki dan tangannya terikat.

Panggilan Diana bagai semangat. Erik yang melihat Sandi kewalahan bersembunyi di balik tong sampah pun tidak mau merepotinya. Jadi ia mengabaikan harga dirinya sebagai laki-laki yang sok menjadi pria dewasa dengan menggunakan satu jurus. Mencolok mata. Itu tidak jantan sama sekali, mungkin Diana akan mentertawakan pertarungan ini tapi di ambang hidup dan mati, siapa yang peduli harga diri?

Setelah musuhnya melolong karena kedua matanya perih, Erik meninjunya dari bawah. Keadaan berbalik. Semula Erik terlentang di atas salju Moskow bersuhu minus tiga derajat, kini ia berdiri walau setengah pincang. Tanpa menunggu waktu lama, ia membalik keadaan dan menghajar membabi buta. Namun sayangnya, Sandi tidak bisa membalikan keadaan. Pria itu sudah tertembak tepat di dadanya. 

Darahnya mengotori salju tebal. Wajahnya meringis kesakitan. Diana semakin berteriak histeris. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia menangis dengan kaki dan tangan terikat di belakang.

Sejujurnya Erik juga gemetar tapi hanya ia harapan Diana satu-satunya. Tanpa ragu, Erik mengambil pistol, menarik pelatuknya dan membidik juga tepat di jantung koki yang telah membunuh Sandi.

Pertama kali ia membunuh orang di usianya yang terlalu muda dan Diana akan menyalahkan dirinya sendiri karena ialah yang membuat Erik menjadi seorang pembunuh. Walau Erik calon mata-mata dan mungkin suatu hari akan membunuh, tetapi itu harusnya terjadi sepuluh atau lima belas atau bahkan dua puluh tahun lagi. Saat Erik sudah dewasa serta terlatih.

Tersisa satu koki lagi. Koki berbahu lebar yang membawa Diana itu murka. Ia tidak punya pilihan lain selain mengancam. Memaksa Diana berdiri dan mendekatkan pistol di lehernya. Karena hanya itu yang biasa dilakukan seorang pengecut ketika terpojok.

"Letakan pistolmu, atau gadis ini mati," katanya dengan bahasa Rusia.

"Jauhkan senjatamu dari putri presiden!" sentak Erik dengan bahasa Rusia juga yang tidak kalah fasih. Di sekolahnya, ia sudah mempelajari bahasa Rusia ketika tahun pertama. "Kau mau mengancam presiden Indonesia dengan menculik putrinya?"

"Oh, itu bukan urusanmu, Anak Kecil!"

Pistol di lehernya adalah hal terdingin selama ia berada di Rusia. Diana menggigil sejadi-jadinya. Antara kedinginan dan ketakutan luar biasa.

"Aku akan melepaskannya jika kau menurunkan senjatamu," ucap si Koki. "Segera sebelum aku berubah pikiran."

"Erik, dia bilang apa?" tanya Diana.

Tanpa pikir panjang, Erik menjatuhkan pistol dan mengangkat tangannya. "Lepaskan gadis itu. Jadikan aku tawananmu. Asal kau tahu, aku kenal dekat juga dengan presiden. Presiden sudah menganggapku anaknya sendiri. Ayahku punya koneksi besar di Indonesia. Ia kepala polisi. Kau bisa jadikanku tawanan pengganti--"

Kata-kata Erik terputus akibat peluru yang menembus dadanya. Ia seketika terjatuh dan membuat Diana berteriak semakin keras. "Anak bodoh, bisa-bisanya ia percaya padaku," umpat si koki.

Malam ini hidupnya bagaikan dipermainkan dalam hitungan detik. Sesaat Diana berpikir ia akan selamat, detik berikutnya pistol sudah mengarah pada lehernya. Dan detik ini, sebuah siluet turun dari atap bangunan. Sangat cepat, seperti hantu, menimpa koki yang masih memegangi Diana erat. Diana terdorong ke samping tapi tidak sampai jatuh. Sedangkan si koki, saat ini sudah tewas, dengan pisau di lehernya.

Siluet itu mulai jelas terbentuk. Sinar rembulan membantu meneranginya. Seorang wanita berambut panjang, berpakaian hitam ketat dengan sarung tangan hitam. Diana sempat terpaku tetapi ia langsung teringat Erik jadi ia melompat dan merangkak sebisanya ke tempat Erik tergeletak.

"Gue nggak apa-apa, nggak kena jantung gue," ucap Erik kala melihat Diana mendekatinya. "Jangan nangis."

Akan tetapi Diana sudah menangis sejak tadi dan entah seberapa banyak air keluar dari matanya. "Gue takut lo mati."

Erik memaksa tertawa. "Sori, Di. Gue belum sehebat itu buat ngelindungin lo. Padahal gue calon mata-mata."

"Ini bukan salah lo," isak Diana. "Ini salah Papa! Kalau aja Papa nggak maksa jadi presiden, kalau aja dia nggak ambisi, kalau aja...." Kedua tangan Diana terikat, padahal ia butuh memeluk Erik untuk menenangkan dirinya sendiri. Jadi yang bisa Diana lakukan hanya menenggelamkan wajahnya di dada temannya itu. "Kalau aja gue bukan anak presiden."

Erik pun memeluk Diana erat, seolah ia hendak mati malam ini. "Lo nggak salah. Om David nggak salah. Kita nggak salah," ujarnya menenangkan.

"Erik," seru siluet wanita itu. "Ingat kalimat awal di bab ketiga buku Protokol Keamanan Agen?" Wanita itu tampak marah, keren dan juga aneh. Siapa yang menanyakan pertanyaan seperti itu pada seseorang yang baru saja tertembak? Bukannya lebih baik menanyakan bagaimana kondisinya?

"Jangan lepaskan tompi anti peluru, bahkan jika mandi," jawab Erik lancar.

"Bagus teori tapi praktik nol!" Wanita itu merobek bajunya, menyuruh Diana menyingkir dari dada Erik dan menekan luka Erik dengan potongan bajunya. "Lo bakal susah lulus kalau ceroboh."

Erik tidak membalas, ia hanya menggigit bibir bawahnya, menahan teriakannya di depan Diana. Biar bagaimana pun, ia belum puber! Suaranya belum seberat dan semaskulin itu. Ia tidak ingin berteriak bagai seorang perempuan di depan Diana.

"Tunggu sampai gue jadi lebih kuat dan bisa lindungin lo," Erik berusaha tersenyum. "Lo mau kan nungguin gue?"

Diana mengangguk tanpa berpikir. "Iya!" balasnya yakin.

"Selagi lo nunggu ksatria lo yang ceroboh ini jadi lebih kuat, gue yang bakal jagain lo," sela wanita itu yang masih sibuk mengobati luka Erik. "Gue Pohan. Kalau boleh sombong, gue lulusan terbaik sekolah mata-mata di angkatan gue, empat tahun di atas Erik. Dan gue bakal pastiin, lo nggak bakal terluka. Sedikit pun."

Ada yang lebih meyakinkan dibandingkan ucapan iya pada Erik. Yaitu tatapan sungguh-sungguh Pohan kepadanya.

Malam itu semua berubah. Diana bersumpah tidak akan lagi menjalani hari-hari seperti kebanyakan anak muda yang mengkhawatirkan ujian atau perasaan lawan jenis. Ia adalah putri presiden dan ia tahu, bahaya apa yang akan ia hadapi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top