[4]:Letter Under Cupboard:
KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.
NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.
***
Tidak menunggu lama, para penumpang mobil van tersebut satu persatu keluar sembari menenteng senjata api di masing-masing tangan mereka. Diana melihat Eva diantara preman-preman tersebut. Gadis itu tampak lemah dan menangis ketakutan. Tangannya terikat di belakang sementara kakinya berjalan setengah pincang. Masyarakat sekitar pun langsung berlari ketika suara pistol ditembakan ke langit oleh supir van. Beberapa orang dari preman itu menangani masyarakat yang berusaha ikut campur. Mereka menodongkan senjata api kepada siapa pun yang berani mendekat.
"Ada kata-kata terakhir?" tanya Erik.
Diana menghembuskan napas panjang kemudian menelan ludahnya. "Tolong bilang ke ayah gue, kalau sampai dia nyalonin diri lagi di pemilu tahun depan, gue bakal mati jadi hantu penasaran."
"Kenapa lo minta tolong ke gue, kan gue juga bakal mati," kata Erik tidak menerima kata-kata terakhir Diana. "Maksud gue, kata-kata terakhir itu misalkan, 'makasih, Erik. Udah mau jadi temen sehidup semati gue'."
"Oke! Kalau salah satu dari kita masih hidup, pokoknya harus nyampein pesan-pesan terakhir," ralat Diana. "Gue juga mau lo bakar semua pernak pernik punk gue sampai ludes, jangan biarin Indonesia tahu jati diri gue."
"Bilang ke ayah sama ibu gue kalau gue sayang banget sama mereka." Erik bergiliran menyampaikan kata-kata terakhirnya. "Mau pegangan tangan?" tawar Erik.
Alis Diana terangkat satu. Terkadang ia tidak mengerti jalan pikiran temannya ini. "Nggak," tolaknya ketus.
"Biar judul beritanyanya jadi: Lima Momen Kematian Paling Romantis, Nomor Enam Bakal Membuat Kamu Tercengang-"
"Nunduk!" Diana menurunkan paksa kepala Erik. Peluru demi peluru menghujami mereka. Erik menarik Diana menuju ke bagian bawah jembatan layang yang ada di samping. Tembok beton penyangga jembatan menghalangi peluru-peluru tersebut.
"Mereka semakin deket." Mata Diana menangkap serbuan tidak beraturan yang datang kepadanya. "Berpikir Diana, berpikir... berpikir," rapalnya sembari memegangi kepalanya yang masih tertutup helm.
Erik membenarkan posisi tubuhnya yang tengah berjongkok. Diliriknya arloji coklat tua di pergelangan tangan kirinya. Baru berjalan delapan menit. Tersisa dua menit lagi sampai bala bantuan ayahnya datang. Tapi satu detik pun berharga saat ini. Diana keheranan, saat ia panik setengah mati, Erik justru tenang, setenang laut dalam. Namun, laut dalam tentu menyimpan banyak misteri.
"Lama banget dateng bala bantuannya." Erik bangkit berdiri dan menaiki motornya yang ia parkirkan di bawah jembatan. "Lupain soal kata-kata terakhir."
"Rik?" panggil Diana sambil menurunkan kedua tangannya dari kepala.
Erik sudah lebih kuat. Sudah lulus. Sudah menjadi mata-mata. Dan ia akan membuktikan ucapannya itu.
Mesin motor Erik dinyalakan, ia pun memacu gasnya. "Kita nggak akan mati. gue bakal lindungin lo dan ngehajar mereka semua." Erik mengedipkan satu matanya. "Lihat sekuat apa gue sekarang."
"Erik--!"
Teriakan dramatis Diana ia abaikan. Erik melajukan motornya dengan gerakan berkelok agar para preman itu tidak bisa membidiknya secara tepat. Dari awal Erik sudah menduga bahwa lawannya hanya sekumpulan orang yang mempunyai kelebihan senjata tanpa kelebihan teknik jitu menembak. Ketika jarak sudah mencapai dua meter, Erik melepaskan kemudinya dan berguling ke samping, membiarkan motornya menabrak satu orang preman. Erik menghantam preman yang mencoba menembaknya dan mereka bergulat berebut senjata api hingga helmnya terlepas.
Preman lain yang hendak mengambil kesempatan menembak Erik yang sedang bergulat, segera Diana atasi dari kejauhan. Ia melepas helm yang melindungi kepalanya dan mengantarkan anak panahnya menuju lengan preman tersebut. Mungkin ketika menembak, Diana tidak perlu melepas helmnya. Namun, untuk memanah, Diana harus melepaskan helmnya dan merekatkan busur ke wajahnya. Erik pun berhasil merebut senjata api lantas menembak kedua telapak tangan dan kedua paha musuhnya. Titik mati agar tidak dapat melakukan pergerakan.
Diana mencoba mendekat, menyelamatkan Eva. Tetapi ketika Diana berusaha mendekat, tembakan menghujani dirinya.
"Jangan tembak Diana!" Salah seorang preman memperingati temannya tetapi terlambat. Diana sudah berlari sekuat tenaga menghindari tembakan itu. Sayangnya, pahanya terkena tembakan. Ia jatuh tersungkur dan dagunya bergesekan dengan aspal.
Erik yang tidak terima memukul punggung bagian atas penembak Diana menggunakan senjata api yang berhasil ia rebut. Sekali pukul penembak tersebut langsung tumbang. Tersisa tiga preman lagi. Satu orang menjaga Eva sementara dua orang lagi menghampiri Diana.
"Lawan kalian gue, bukan dia!" teriak Erik sambil menembaki dua preman tersebut. Satu peluru berhasil mengenai lengan preman pertama dan satu peluru menembus betis preman kedua.
Pertarungan terjadi begitu cepat. Erik mengambil posisi berlindung di balik mobil van saat dua preman itu membalas tembakannya. Sedangkan dua preman tersebut berada di sebuah pohon besar yang tampak tua, yang mereka jadikan pelindung dari peluru Erik yang selalu tepat sasaran. Erik melirik arlojinya lagi. Sudah lewat satu menit tapi bantuan ayahnya belum juga datang. Ia mengecek isi peluru di senjata apinya. Hanya tersisa sedikit lagi.
"Duh, Beh! Pada ke mana dulu sih!" Ditengah pertarungan, Erik meruntuki sang ayah.
Diana mengerang kesakitan. Darahnya mengalir di pahanya. Ia mencabut paksa peluru yang tidak menembus terlalu dalam bagian kulitnya. Rasa sakitnya teralihkan begitu ia tahu tujuannya. Salah satu preman yang menjaga Eva menyeret gadis itu ke tepian. Preman tersebut mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelpon seseorang.
Dengan bantuan busur Diana pun berdiri. Terseok-seok ia berjalan lebih dekat, agar jarak tembaknya tidak terlalu jauh. Diana mengambil anak panah dan melepaskan ke arah preman yang sedang menelpon. Lagi-lagi lengan sasarannya. Ponsel yang ada di telinga preman itu terlempar jauh. Tidak puas sekali, anak panah Diana melesat lagi ke paha kemudian pinggang preman itu. Eva yang terlepas dari penjagaan pun segera menjauh.
"Eva!" teriak Diana dan Eva segera melompat ke arahnya dengan kondisi tangan dan kaki terikat. Di tengah lompatannya Eva terjatuh. Gadis itu menatap sekeliling, orang-orang tidak ada yang berani menghampirinya. Mereka hanya menyalakan kamera ponselnya sambil bersembunyi di balik pertokoan atau bangunan.
"Lo harus cepet pergi dari sini." Diana yang sudah berhasil meraih Eva segera melepaskan lilitan tali di tangan dan kaki gadis itu. "Ayo!" ajaknya sambil membantu Eva berdiri.
Anak panahnya sudah habis. Tapi para preman belum tuntas ditangani. Erik lagi-lagi mengumpat keras karena bantuan juga belum datang. Diana takut tembakan Erik dan juga dua preman itu akan mengenai warga sipil. Diana melangkah sekuat tenaga. Ia berusaha melindungi Eva namun fokusnya tidak beranjak dari Erik sedikit pun di seberang. Melindungi Eva atau Erik? Diana memilih dua-duanya.
Ia membimbing Eva bersamanya lalu meraih senapan yang tergeletak tidak jauh darinya. Senapan ini adalah senapan milik preman yang kini tengah terlentang tertindih oleh motor besar Erik. Ini memang bukan kali pertama ia menembak, tetapi ini pertama kalinya ia menggunakan senapan berlaras panjang dengan nomor seri yang ia tak mengerti. Namun, peluru pada senapan itu hanya tersisa tiga butir.
Diana berpikir cepat mencari solusi dan menemukan ranting yang cukup lebar walau tampak ringkih. Ia menembak ranting tersebut dari kejauhan, membuatnya menimpa dua preman yang sedang menembaki Erik. Meskipun tidak berefek banyak, tapi ranting tersebut bisa mengalihkan konsentrasi mereka yang sedang menembaki Erik.
"Rasain lo!" teriak Erik puas yang kemudian mengambil kesempatan yang Diana berikan. Ia berjalan mendekat dan menembaki kedua kaki preman tersebut secara leluasa. Pada awalnya Erik yang mengatakan akan melindungi Diana, tetapi ternyata Diana juga mengambil peran melindungi Erik.
Rasanya semua hampir selesai. Para preman sudah tumbang. Eva selamat dan tidak ada korban jiwa baik dari pihak Diana atau pihak musuh meskipun, peluru tersebar di mana-mana. Diana berusaha bangkit untuk menghampiri Erik yang sibuk mengamankan dua preman di balik pohon yang sudah tumbang. Tetapi tiba-tiba sebuah cengkraman melingkari pergelangan kakinya.
"Tolong...." ucap salah satu preman itu lirih. Itu adalah suara dari preman yang tertindih motor Erik yang masih menyala.
Eva menjerit, namun Diana menyentuh lengan Eva dan menyuruhnya menepi menuju sebuah gedung bertingkat yang di dalamnya terdapat pos satpam. Dengan ragu, Eva melangkah perlahan menurut perintah Diana.
Bagaimana pun, musuhnya adalah manusia. Diana yang diserang iba pun mengambil keputusan. "Tenang, aku bakal coba mindahin motor ini."
"Diana Davidson." Preman itu menggeleng. "Tolong selamatkan Indonesia. Jangan biarkan paslon lain menjadi menguasai negeri ini."
Diana tidak paham permintaan sang preman. "Maksudnya?"
"David tetap nomor satu, David bagai amanah Tuhan untuk Indonesia...." Darah menyembur keluar sewaktu preman itu terbatuk. "Tolong, ambil surat di bawah lemari--"
Tiba-tiba saja suara tembakan terdengar. Cengkraman di kaki Diana perlahan mengendur. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri seseorang meninggal tepat di depannya.
"DEMI DAVID! DEMI INDONESIA!" Rekan preman itu mengarahkan pistol yang sebelumnya ia gunakan untuk membunuh temannya, ke arah kepalanya sendiri.
Dan suara tembakan itu terdengar lagi. Diana menutup mata rapat-rapat. Kali ini ia bisa menghindari pemandangan itu. Tidak seperti tadi. Ia terduduk lemas. Seluruh sarafnya terasa tidak berfungsi lagi. Ia ingin menangis atau berteriak tapi ia tak mampu. Bahkan berkedip atau menghirup napas panjang terasa sulit.
Suara sirine perlahan mulai terdengar jelas. Belasan mobil SUV hitam dan juga mobil kepolisian menyebar di lokasi. Para personil turun dan mulai mengevakuasi. Mereka menyuruh masyarakat agar tidak mendekat. Eva berhasil menuju pos satpam dibantu dengan beberapa satpam yang keluar dari pos.
"Nona Diana? Bisa dengar saya?" tanya suara laki-laki tepat di sebelahnya. "Nona Diana?"
Laki-laki berompi anti peluru itu pun menggoyangkan tubuh lemas Diana tapi Diana tidak merespon. Pandangannya kosong menatap tangan berlumuran darah yang tadi mencengkram kakinya. Kata tersebut terngiang-ngiang dalam pikirannya.
Surat di bawah lemari. Surat di bawah lemari.
"Diana!" sentakan kuat menimpa kedua sisi pundaknya. "Kita pergi ke rumah sakit sekarang ikut mobil temen gue," ujar Erik.
Mungkin bagi orang lain reaksi Diana berlebihan. Ia sudah sering melihat adegan seseorang meninggal di film tapi rasanya jauh berbeda jika ia melihatnya secara langsung. Bagaimana mata orang tersebut tetap terbuka kaku dan enggan menutup, darah yang mengalir lewat lubang di kepala korban serta rasa bersalah yang terus melekat. Andaikan Diana lebih waspada terhadap kondisi sekitarnya, preman itu tidak akan mati.
"Dia dibunuh, Rik...." gumam Diana yang berusaha mengeluarkan air matanya tetapi usahanya nihil. Tidak ada yang bisa melampiaskan perasaan kacaunya saat ini.
Erik mengelus rambut Diana pelan. Diletakannya kepala Diana di dadanya. "Dia dibunuh bukan salah kamu, tapi risikonya sendiri. Sekarang kita cepat pergi ke rumah sakit. Gue nggak mau ada banyak masyarakat yang mendekat." Kata-kata itu terucap lagi, bahwa semua bahaya dan orang-orang terluka bukan salahnya.
Kata-kata Erik sama seperti dahulu. Orang-orang terbunuh dan terluka bukan salahnya. Bukan salah orangtuanya. Tapi Diana merasakan sebaliknya.
"Gue anter lo ke rumah sakit. Motor lo biar anak-anak lain yang urus," ujar salah satu laki-laki dengan akrab kepada Erik sambil melonggarkan sedikit rompi anti pelurunya.
Setelah Erik mengangguk, mereka bertiga memasuki mobil serba hitam dengan kaca tidak tembus pandang. Sebelum benar-benar masuk mobil. Diana melihat mayat preman itu untuk terakhir kalinya. Seluruh bulunya merinding. Pendarahan yang berada di pahanya belum berhenti tapi ia tidak begitu merasakan sakitnya. Pikirannya mengambang oleh hal-hal tidak masuk akal. Revolusi apa yang akan melanda Indonesia?
***
See u next chapter!
Think genius and keep punk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top