[3]:Suicide:
KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINASI.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.
NAMUN, TIDAK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA. EHEI.
***
Kebanyakan anak-anak dari rekan kerja ayahnya disekolahkan di sekolah pilihan, yaitu sekolah super mahal atau sekolah negeri bergengsi. Diana menolak sekolah pilihan tersebut. Ia bersekolah di sekolah negeri biasa yang tentunya, anak dari orangtua dengan pekerjaan apa pun bisa bersekolah di sana.
Alasan lainnya dari sisi pergaulan. Ia ingin dikenal teman-temannya sebagai remaja biasa yang kewalahan menangani Matematika. Bukan sosok putri presiden yang anggun dan selalu butuh bodyguard ke mana pun ia pergi.
Teman-temannya mengerti status Diana tapi tidak merasa segan karena Diana membuka lebar dirinya. Awalnya ia risih menjadi pusat perhatian semua penghuni sekolah, dari guru, kakak kelas hingga penjaga kantin. Tapi semakin ia dewasa, ia mampu memaklumi keadaan tersebut. Akhirnya, Diana mulai terbiasa akan hal itu dan tidak mempermasalahkannya lagi.
Diana menyeka keringat di dahinya. Baru saja ia menyelesaikan latihan memanah selama dua jam ke belakang. Wali kelasnya sudah sering menyarankan Diana agar berhenti mengikuti kegiatan ekstrakulikuler dan lebih fokus menghadapi ujian kelulusan. Meskipun memutuskan berhenti dari ekstrakulikulernya, Diana tidak berhenti memanah. Baginya, tidak ada yang bisa menghentikannya untuk tetap memanah.
Ketika ia memasukan anak panah ke dalam quiver[1], temannya segera menggantikan posisinya di lapangan dan mengambil satu anak panah Diana tanpa izin.
"Di, fans lo udah nyariin," ujar perempuan berambut pendek di bawah telinga itu sembari mengambil ancang-ancang untuk memanah target yang berjarak sepuluh meter di depannya.
"Serius, Rin?" Diana menganga tidak percaya. "Mereka ada di luar sekolah dari bel pulang bunyi. Niat banget itu wartawan nungguin. Gue balik lewat gerbang belakang aja."
Terpaksa Diana menempuh perjalanan lebih panjang karena letak gerbang belakang dengan lapangan tempatnya berlatih tidak sedekat dengan gerbang depan. Suasana sekolah terbilang cukup sepi. Diana melirik jam tangannya yang menunjukan waktu lima sore. Pantas tidak ada siswa yang duduk di sembarang tempat hanya untuk mengobrol.
Diana: Tante Poh, aku hari ini pulang lewat gerbang belakang. Sori ya bikin repot harus muterin mobil
Diana mengetik pesan singkat pada salah satu paspampres David yang sering dialih tugaskan menjadi bodyguard Diana. Semua kegiatan Diana terjadwal rapih dalam ingatan Pohan. Meskipun pada awalnya, Diana merasa sangat tidak nyaman akan kehadiran Pohan disetiap aktifitasnya keluar Istana Negara, tetapi Pohan pun berusaha membaur agar tidak terkesan kaku.
Pohan: Kalau gak dibikin repot sama kamu, aku nggak dibayar
Pohan: Lagian, hari ini mungkin ada yang bakal handle tugasku
Diana bertanya-tanya sendiri maksud dari pesan singkat yang dibalas Pohan. Tapi ia tidak berniat bertanya dan memasukan handphone-nya ke dalam saku.
Begitu ia membuka gerbang belakang yang tidak sebesar gerbang depan sekolahnya, puluhan lensa kamera langsung menyorot wajahnya yang penuh peluh.
"Prank!" umpat Diana sambil menutupi matanya.
Ia ingin sekali kembali ke dalam sekolah, menutup pintu gerbang dan mendengarkan Karin mengejeknya. Tapi semuanya terlambat. Belasan mig disodorkan untuknya tanpa ia meminta. Dan pertanyaan-pertanyaan berlomba-lomba dijawab olehnya.
"Diana? Diana? Maaf mengganggu waktunya sebentar," ucap seorang wartawan seraya mengeluarkan alat perekam dari saku jaketnya.
"Ya, sangat mengganggu." Diana cepat-cepat menutup mulutnya. Ia tidak ingin wartawan memberikan citra yang aneh terhadap dirinya.
"Bagaimana reaksi Diana ketika Pak David dicalonkan kembali di partai politik—"
"Kesibukan apa saja kamu saat ini? Apakah masih suka menemani Pak David melakukan kunjungan atau lebih fokus menghadapi UN?"
"Apa Diana mendukung keputusan Pak David mencalonkan presiden kembali?"
Ingin sekali Diana menutup telinganya rapat-rapat. Ia pusing sendiri. Mungkin wartawan sengaja melampiaskan rasa penasaran mereka setelah menunggu Diana selama berjam-jam di sekolah. Ini bukan kali pertama Diana dihadang wartawan di sekolahnya, tapi entah kenapa, walau Diana terus belajar dari kegagalannya menghindari wartawan, para pemburu berita itu selalu dapat menemukannya.
Tiba-tiba dari belakang, Diana merasakan tubuhnya dirangkul erat. Dia ingin menusuk dengan anak panah siapa saja yang merangkulnya seenaknya. Tapi ia mengurungkan niatnya ketika tahu siapa pelakunya.
"Tolong beri jarak. Saya nggak mau Diana sesak." Tangan pemuda itu mencoba menjauhkan belasan mig yang mengerubungi Diana bagai mereka adalah semut dan Diana gulanya.
"Kenapa lo bisa ada di sini?" bisik Diana heran.
"Selamat siang, Diana," sapa seorang lelaki yang tengah berdiri di samping pemuda itu.
"S-Siang, Om Yaya," balas Diana terbata. Ia baru menyadari kehadiran seseorang yang ia panggil Om Yaya itu.
Lelaki bernama asli Wijaya tersebut melangkah keluar dari gerbang belakang dan meminta wartawan memberi jalan untuk Diana dan pemuda itu untuk lewat. Para wartawan yang semula berlomba-lomba ingin mewawancari Diana, sekarang pun berpindah haluan. Antara mewawancarai Diana atau Kapolri yang sulit sekali ditemui akhir-akhir ini dikala banyak kasus kriminal beredar luas.
Wijaya adalah Kapolri yang aktif sampai tahun depan. Laki-laki berbadan tegap dan bermata tajam itu juga dikenal sahabat karib presiden. Mereka berdua telah menjalin pertemanan semenjak Wijaya masih menempuh pendidikan sementara David masih berkuliah di jurusan Ilmu Politik.
Kedekatan mereka terus berjalin dan tanpa diduga mengalir pada anak mereka. Pertemanan Diana dan Erik dimulai sejak Diana memberikan cacing sebagai hadiah ulang tahun Erik yang keempat—dan membuat Erik menangis—sampai saat ini. Walau semenjak kejadian di Moskow, mereka sudah tidak pernah berkomunikasi lagi.
Erik melindungi Diana dari serangan wartawan yang seolah ingin mengikat Diana di sebuah kursi dan tidak akan melepaskan Diana sebelum ia menjawab semua pertanyaan yang mereka ajukan. Diana dan Erik berjalan di jalan yang sebelumnya telah diatur Wijaya. Erik melindungi kepala Diana dengan cara mengapitnya diantara dada dan lengan. Serangan mig masih diluncurkan pada Diana tapi Erik tidak berhenti menepisnya.
Wartawan tidak tahu siapa Erik. Mungkin mereka mengira Erik hanya salah satu bodyguard David yang bertugas melindungi Diana. Tetapi Diana mengenal Erik dengan baik. Namun, sejauh ia mengenali Erik, Diana tidak pernah tahu bahwa lengan Erik semakin besar, bahunya semakin lebar dan Erik bertambah tinggi semenjak terakhir mereka bertemu.
Kubu wartawan terbagi dua. Ada yang mewawancarai Wijaya juga ada yang menyusul langkah Diana. Erik membawa Diana menuju beberapa kawanan polisi. Dua anak muda itu melewati kawanan polisi tersebut dan meninggalkan beberapa wartawan yang dihadang polisi tanpa memberikan sedikit saja celah untuk wartawan mengambil wajah Diana. Mereka berbelok pada sebuah gang kecil dekat sekolah Diana dan mendapati motor Erik terparkir di sana.
Dua remaja yang berbeda satu tahun itu mengambil napas sejenak sebelum memasang helm di kepala mereka masing-masing.
"Ngapain lo ke sekolah gue?" tanya Diana. "Maksudnya, lo lagi ambil cuti kerja atau kabur dari tugas? Bisa-bisanya lo balik. Gue kira lo nggak bakal nemuin gue lagi."
Lima tahun tidak bertemu, dan itu adalah sambutan Diana untuk Erik. Antara bingung, senang dan bersalah. Diana tidak tahu harus mengatakan apa. Kata maaf karena pernah membuatnya menjadi pembunuh tidak sanggup mengubah masa lalu. Terima kasih pun bahkan tak cukup. Jadi ia hanya mencercanya dengan banyak pertanyaan.
"Gue udah lulus dari sekolah mata-mata," ucap Erik dan Diana sama sekali tidak mengenali suara temannya itu. Suara Erik berubah, lebih tegas, lebih besar dan serak. "Gue udah kuat sekarang!" pamernya sambil tersenyum. Dan hal yang masih Diana kenali dari Erik adalah senyumannya.
Akan aneh jika dua orang teman yang dahulu sering bertengkar karena hal sepele menjadi saling canggung, jadi Diana mencoba mencairkan suasana. Walau kejadian Moskow masih melintas di ingatannya. "Aneh," ucapnya.
Erik mengambil kunci di saku celananya lalu mulai menyalakan motornya. "Heran banget ya lihat gue dateng. Jadi tadi gue nemenin bapak gue ke polres buat update beberapa kasus. Terus akhirnya setelah sekian lama dan susah payah, gue bisa nelpon Tante Juli, katanya lo masih di sekolah."
"Kenapa nggak nelpon ke gue aja? Kok malah ke ibu gue?"
"Pengin banget gue telpon?" goda Erik yang memamerkan senyuman usil. Jebakannya berhasil.
Diana memukul kepala Erik yang disambut erangan laki-laki tersebut. Gadis penggila eyeliner itu pun naik di jok penumpang sambil mendengus malas. "Nggak jadi gue seneng lihat lo balik. Cepet jalan!" titahnya.
Mereka meninggalkan lokasi sekitar sekolah Diana yang dipenuhi banyak wartawan. Erik mengambil jalan alternatif agar mereka tidak terjebak lagi oleh para wartawan yang mungkin masih mencari keberadaan Diana.
"Lo nggak laper, Di?" tanya Erik. Suaranya teredam karena kaca helmnya yang ia tutup.
"Laperlah!" ucap Diana.
"Mau gue temenin makan?"
"Lebih tepatnya, lo ngajakin gue makan." Skak mat dari Diana membuat Erik tertawa terbahak. "Ibu gue di rumah udah masak. Gue nggak enak sama ibu gue udah capek-capek masak, tapi gue milih makan di luar."
Erik terdiam. Ia fokus menyetir hingga tiba di lampu merah yang sedang menghitung mundur dari 53 detik. "Gue ngerasa jadi cowok brengsek cuma gara-gara ngajakin lo makan. Padahal gue nggak ngajakin lo pergi clubing," katanya seraya sedikit menoleh ke belakang.
Diana melipat kedua tangannya di dada. "Bagus deh kalau lo sadar."
Begitulah pertemanan Erik dan Diana. Mereka memang tidak ditakdirkan menjalani ikatan pertemanan saling sungkan satu sama lain. Ejekan adalah makanan sehari-hari mereka jika bertemu.
Diana mengusap mata kirinya yang terkena debu. Ia sengaja tidak menutup kaca helmnya karena kaca helm Erik kotor. Pandangannya pun menjadi terganggu beberapa saat. Pada disituasi itulah ia melihat gadis dengan rambut pendek sebahu yang diikat setengah. Ia merasa familiar akan warna rambut dan jepit yang digunakan gadis itu.
Detik berikutya Diana sadar itu adalah Eva. Seragam SMA yang membalut tubuhnya hari ini tidak mengeluarkan sisi anggun Eva seperti malam di mana keluarga mereka mengadakan acara makan malam bersama. Diana mengumpulkan suara terkerasnya untuk memanggil Eva yang sedang menunggu sesuatu di seberang. Namun, ia harus menelan teriakannya begitu sebuah mobil van hitam menghalangi pandangannya. Diana mengira itu jemputan Eva. Tetapi saat dua orang berpakaian preman keluar dari mobil itu, ia merasa sesuatu tidak beres.
"Eh, eh! Berhenti! Berhenti!" Diana menepuk-nepuk keras pundak Erik.
"Buset, dikata gue nyetir bajay apa, ngomong berhenti sambil nepuk pundak." Erik menghiraukan tepukan Diana dan tetap menyeimbangi kemudi.
Dugaan Diana benar terjadi. Dua orang berpakaian preman itu menyeret paksa Eva masuk ke dalam mobil. Mereka sangat rapih. Tidak menimbulkan perhatian orang yang sedang berkendara. Gerakan mereka cepat dan terarah, seperti sudah ahli melakukannya.
Seperti saat ia diikat dan nyaris diculik di Moskow.
"Gue mau nyelametin Eva!" paksa Diana yang sekarang tidak hanya menepuk tapi menggoyang-goyangkan pundak Erik.
Motor Erik perlahan-lahan menepi. Erik seorang anak polisi dan ia tidak ingin mengganggu lalu lintas kemudian terpaksa berurusan lagi dengan polisi selain ayahnya. "Eva siapa sih?"
Diana tidak menjawab pertanyaan Erik. Mobil van yang mengangkut Eva mulai berputar arah. Nalurinya sangat kuat. Berhasil atau tidak, yang ia inginkan sekarang cuma menyelamatkan Eva. Ia tidak ingin lagi menangis menunggu bantuan datang. Lima tahun lalu, Diana beruntung mempunyai Erik, Pohan dan Sandi di sisinya. Sekarang, ia akan menjadi keberuntungan Eva.
"Ikutin mobil van yang itu!" perintah Diana tegas.
"Hah?" Erik menggelengkan kepalanya, menolak tidak kalah tegas. "Gue curiga lo pasti suka aneh-aneh, nggak bakal gue terima. Udah hapal gue tabiat lo, mending lo kasih gue alasan kenapa harus ngejar itu mobil, biar gue yang bilang ke temen-temen bapak gue buat nanganin semuanya."
"Erik!" Diana memekik. Mobil van yang Eva naiki mulai terlihat menjauh. Diana yang kebingungan, menggeluarkan akal nekatnya. Ia mengambil sebuah pistol yang terdapat di ikat pinggang Erik.
"Woi! Lo mau ngapain?" Diana menjawab perintah Erik dengan menembak van tersebut dari jarak jauh. Sebanyak tiga kali Diana menembak. Dua peluru meleset mengenai knalpot mobil, dan satu peluru berhasil membuat ban belakang sebelah kiri van kempes.
Erik ternganga. Lima tahun tidak berjumpa, Diana sudah bisa memakai pistol. Tanpa gemetar, tanpa ragu menembak sasaran.
Diana sudah lama tidak berlatih menembak. Selain karena ia tidak menyukai suara senapan yang sakit di telinganya, Diana lebih menyukai memanah. Tetapi kali ini, Diana menggunakan ketajaman matanya dalam memanah untuk menembak target.
Erik menepikan motornya dan merebut pistol yang Diana pinjam. "Harusnya kita ikutin mereka diem-diem. Ayah gue sama anak buahnya deket dari sini, kita bisa lapor sama mereka kalau udah dapet lokasinya."
"Hah? Diem-diem? Laporan dulu? Kalau mereka udah ngapa-ngapain Eva sebelum bantuan dateng gimana?" sergah Diana tidak terima.
Van tersebut berjalan tanpa arah. Suara decitan bannya terdengar ke segala arah. Kendaraan yang melintasi van tersebut memberikan klakson keras-keras. Hampir saja van itu menabrak seorang pengendara motor, namun untunglah pengendara motor tersebut dengan lihai berkelit dan menghindar ke samping. Akhirnya, dengan suara rem yang keras, van tersebut berhenti di tengah jalan raya yang ramai.
Suasana semakin kacau. Orang-orang mulai mengerubungi van. Terpaksa Erik mengambil walkie talkie yang juga berada di ikat pinggangnya dan menekan satu tombol di sana. "BABEH! Tolongin gue! Masalahnya ada Diana, bahaya kalau dia kenapa-kenapa. Gue udah aktifin lokasi. Kirim semuanya ke sini."
Suara dari walkie talkie membalas serak. "Bantuan datang dalam sepuluh menit."
Erik mengumpat. Sepuluh menit terlalu lama baginya sedangkan Diana enggan berdiam diri di jok penumpang. "Eh, tunggu di sini!" larang Erik ketika Diana hendak menyusul Erik menuju van tersebut. Erik segera memakai masker hitam yang selalu tersedia di saku jaketnya.
"Semuanya, menghindar dari mobil! Saya polisi! Sekali lagi, semuanya diharap menghindari mobil!" seru Erik lantang sambil mengangkat tinggi-tinggi lencananya. Lencana palsu yang sudah mendapatkan izin dari negara. Seruannya sukses membuat masyarakat setempat yang hendak menolong, menjauh seketika.
Diana yang tidak ingin berdiam diri pun berlari menyusul langkah Erik. "Kayaknya kita berhasil," kata Diana bangga seraya mengepalkan tinjunya di udara.
"Bisa jadi," balas Erik sesabar mungkin akan sikap Diana yang terus membangkang. "Bisa jadi habis ini bakal ada berita: Anak Presiden dan Anak Kapolri yang Gagal Makan Siang Barsama Ditemukan Tewas Di Tengah Jalan."
Sepertinya Erik mencoba menghibur Diana di detik-detik terakhirnya tapi gagal. Jantung Diana berpacu cepat. Supir van keluar dengan raut wajah penuh amarah. Sebuah senjata api berlaras panjang disampirkan di lengannya. Diana baru menyadari bahwa ia baru saja mengajak temannya bunuh diri.
***
[1] quiver = tabung atau tempat untuk menyimpan anak panah
Sumber gambar: Amazon.com
See u next chapter!
Think genius and keep punk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top