[16]:Rolling Stone Sticker:
KISAH INI FIKSI SEMATA.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.
NAMUN, TIDAK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.
***
"Agak bego sih rencananya...." Rendra mengejek sambil memasukan ponselnya ke saku seragam. Sama sekali tidak takut terhadap rencana yang mengancam nyawanya. "Terlalu penuh aksi. Nggak ada rencana yang lebih pakai otak aja?" tanyanya yang jelas tertuju pada Petra.
Petra mendengus, dengan tidak sopannya dia menaikan satu kakinya di jok mobil mewah Rendra. "Apa yang lo harapin dari sekumpulan orang bodoh? Satu-satunya cara yang mereka bisa lakuin ya bertindak anarkis. Berpikir aja mereka nggak mampu. Jelas mereka cuma bisa pakai cara bikin kerusuhan," balas Petra di kursi belakang.
"Nope! Hei, mahasiswa itu bukan orang-orang bodoh. Tapi kalau tuntutan mereka nggak dipenuhi, apa yang mereka bisa lakuin selain cari perhatian pemerintah pakai cara anarkis?" protes Diana tidak terima dengan opini Petra. "Aksi anarkis itu enggak selalu identik dengan orang-orang bodoh," tegasnya di akhir argumen.
"Oke, jadi gue ke sini buat berdebat sama anak presiden atau diskusi soal rencana selanjutnya?" ucap Petra yang secara tidak langsung menyerah, ia tidak dapat membalas argumen Diana.
Terlalu terbawa emosi, Diana sampai melenceng meladeni opini Petra yang seharusnya tidak harus ia balas. Ia mengutuk dirinya bisa-bisanya melawan sekutunya, bagaimana jika Petra dendam dengan Diana dan tidak mau lagi menjadi agen ganda untuknya?
Diana mengginggit bibir bawahnya cemas. "Kita harus gagalin rencana penembakan itu."
"Caranya?" tanya Rendra.
Tetapi bukan ide-ide cermelang, justru yang Rendra dapatkan adalah pandangan bingung dari Diana. "Apa yang bisa gue lakuin?" tanya Diana yang kini melimpahkan jawaban kepada Petra.
"Lo udah mau nekat lagi? Bosen hidup banget jadi orang." Rendra berdecak, ia pusing dengan sikap Diana yang terkadang terlalu berani. "Biar aja Petra yang urus semuanya. Dia pasti punya kenalan kriminal lain yang bisa bantu. Iya kan?" Kini Rendra pun beralih, seratus persen ia taruh perhatiannya pada Petra. "Ajak temen-temen kriminal lo yang lain buat gagalin rencana penembakan minggu depan. Gue bakal bayar lebih."
Kembali, uang merupakan kunci segala pelik. Petra yang mulanya menaikan satu kakinya ke atas jok, kini menurunkan kakinya setelah mendengar kata bayaran lebih. Seperti tunduk oleh kertas-kertas berwarna tersebut. Diana tidak habis pikir, selogan uang dapat membeli apa pun benar-benar nyata. Jika tidak, berarti jumlah uangnya kurang banyak.
"Gue bakal update rencana mereka. Kalau rencana udah siap, gue bakal kasih tahu semua detailnya, mulai dari siapa aja orang yang bertugas, sampai posisi penembakan," tutur Petra.
"Kapan?" tagih Rendra.
"Secepatnya." Petra mengenakan topi lalu membuka pintu mobil. "Gue pergi dulu." Selama beberapa detik, Diana dan Rendra mengamati Petra yang keluar dari mobil hingga pemuda itu menghilang dalam keramaian para murid yang baru saja pulang dari sekolah.
"Rendra," panggil Diana pelan.
Yang dipanggil pun membalas malas. "Apa?"
"Gue bakal pastiin Pak Gio selamat." Gadis itu menatap Rendra serius. Tapi justru Rendra tertawa tipis, tak percaya dengan keseriusan tatapan Diana. "Gue harus nyelametin Pak Gio, supaya bapak lo bisa kalahin bapak gue di pemilu." Untuk meyakinkan Rendra, Diana pun melanjutkan.
Diana sampai lupa kapan terakhir kali ia dapat berbelanja bebas di mall tanpa ada satu pun orang yang mengikutinya. Oh, tentu Diana tidak lupa momen bersama Rendra ketika berada di mall. Namun, tetap saja Diana tetap diikuti.
"Bapak gue aman, nggak usah lo pkirin," Bukannya mendukung Diana yang berniat menyelamatkan nyawa ayahnya, Rendra justru sebaliknya. "Keluarga gue punya bodyguard yang terlatih. Mereka diambil dari lulusan terbaik kepolisian dan intelgen. Kancung-kancung kayak Petra harusnya nggak seberapa."
Diana juga ingin memamerkan bahwa dia juga punya bodyguard perempuan yang merupakan lulusan terbaik Sekolah Intelgen Negara dan bisa mengangkat pria dua kali lipat dari berat badannya. Tetapi ia mengurungkan niatnya kala mengingat sesuatu. "Gue pinjem HP lo lagi," pintanya sambil mengulurkan tangan.
Rendra menyipitkan matanya. "Buat apa?" Tetapi tetap saja pemuda itu menyerahkan ponselnya kepada Diana.
Diana membuka tas ranselnya dan merogoh seluruh bagian, hingga bagian terdalam. Ia mengeluarkan plastik kecil berisi kumpulan stiker. Diana mengambil satu stiker kecil dari sana dan menempelkannya pada bagian ponsel Rendra yang retak.
Diana mengembalikan ponsel Rendra dengan bangga setelah menempelkan stiker Rolling Stone yang membuat garis-garis retak pada ponsel Rendra tak terlihat. "Done. Ini logo Rolling Stone. Lo tahu kan lagu-lagu mereka?"
Rendra menggeleng. Sebenarnya ia tahu band lawas tersebut. Tetapi tidak ada satu pun lagu dari Rolling Stone yang Rendra ketahui.
"Anybody seen my baby. Anybody seen her around. Love has gone and made me blind?" senandung Diana yang mencoba mengingatkan Rendra pada salah satu hitz Rolling Stone tersebut tetapi Rendra kembali menggeleng bingung.
"Lo nyanyi apa sih? Gue nggak tahu," akunya.
"So bored," ejek Diana. Padahal Diana tahu bahwa dirinya berbeda dari anak muda seusianya yang mendengarkan lagu dari musisi muda. Tapi ini Rolling Stone! Legenda! Dan Diana tidak tahan untuk tidak mengeluarkan ponsel dan memutar lagu Rolling Stone yang berjudul Anybody Seen My Baby.
"Coba dengerin," paksa Diana.
Rendra tidak mau ambil pusing. Ia menyalakan mesin mobil dan mulai melaju. Tetapi baru saja lagu tersebut menyelesaikan reff pertamanya, Rendra mematikan secara satu pihak. Itu jelas membuat Diana kesal karena setelah itu adalah bagian kesukaan Diana.
"Kenapa dimatiin?" teriak Diana kesal. Jika dikaji ulang, Diana yang memulai tetapi mengapa ia sendiri yang marah?
"Gue nggak suka lagunya." Rendra menyerahkan ponsel Diana yang sudah ia kunci itu. "By the way, nyambung soal video tadi, bukan gue orang dibalik teror ini, semuanya tuduhan," ucap Rendra tiba-tiba. "Gue memang suka buang-buang uang tapi gue nggak mungkin jadi sponsor kelompok terorisme. Apalagi sampai nyuruh orang nyulik dan nyakitin cewek. Atau... bunuh bokap sendiri."
"Ya," Diana mengangguk, mencoba meyakinkan dirinya. "Gue percaya, karena gue juga pernah benci sama bokap gue, tapi gue nggak mau dia sampai kenapa-kenapa. Mix feeling."
"Untung lo bisa ngerti," balas Rendra sembari membuka sedikit kaca mobilnya ketika memasuki istana negara.
"Thanks udah nganterin gue," ucap Diana sembari membuka sabuk pengaman.
Sebelum Diana membuka mobil, Rendra segera menghentikannya. "Diana."
"Yap?"
Rendra diam, mengambil jeda. "Lo nggak perlu lakuin apa-apa buat bapak gue. Pikirin diri lo juga dan keluarga lo. Biar gue yang suruh Petra buat gagalin penembakan itu."
Alis Diana bertaut. "Ren—"
"Tolong pikirin diri lo sendiri. Selama ini lo selalu mikirin orang lain, mulai dari nyelametin Eva sampai nerjang aja bahaya tanpa pikir panjang," tekannya yang membuat Diana berhenti berbicara. "Jadi egois sesekali. Bisa?"
"Nggak bisa," balas Diana yang tersenyum miring. "Bye. Gue dulan," pamitnya setelah membuka pintu mobil.
Rendra ingin mengatakan bahwa luka tembaknya belum sepenuhnya pulih. Apa Diana tidak belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa turun langsung dapat membuat mereka terluka? Tetapi Rendra tidak dapat menghalangi jiwa muda Diana yang rela berkorban.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi, ada beberapa pesan masuk dari teman-teman kelasnya. Tetapi bukannya membalas pesan, Rendra justru melihat stiker Rolling Stone yang Diana tempel di ponselnya. Tanpa sadar ia tersenyum. "Lucu juga," gumamnya nyaris tak terdengar.
Sementara itu, Diana yang sudah tiba di kamarnya segera melepaskan baju dan membuat panggilan dengan loudspeaker yang dinyalakan. "Rik!" sapa Diana begitu panggilan teleponnya diangkat. Sungguh keberuntungan, teleponnya diangkat di panggilan pertama.
"Eh, kenapa lo?" tanya Erik di seberang sana. Entah apa yang dilakukan pemuda yang baru saja lulus dari Sekolah Intelgen Negara itu sekarang. Menjinakan bom atau mengawasi teroris dengan menyamar menjadi tukang bakso. Atau sedang menjadi bodyguard pejabat lainnya sama seperti Pohan.
"Bantu gue nyelametin Pak Gio," pinta Diana.
"Lha, random banget ini anak. Siang bolong panas gini enaknya minum es kelapa. Malah tiba-tiba suruh minta nyelametin Gio." Diana mengira Erik pasti sedang berada di situasi yang sangat santai, sehingga ia bisa berbicang dengannya seramah ini. "Gio siapa? Tukang pijit langganan bapak lo bukan sih? Yang kalau mijit sakit banget itu? Pas bapak lo teriak sakit, malah tenaganya makin dikencengin. Bapak lo habis dipijiet bukan sembuh malah lemes."
"Gio. Soegio Tanjung," tekan Diana. "Nama tukang pijitnya Nino. Bukan Gio."
Jika Rendra menolak rencananya untuk bekerja sama menyelamatkan Gio sekeluarga, maka tidak ada pilihan lain. Diana tidak mungkin melaporkan kejadian ini pada aparat lain dan tentu akan memerlukan waktu serta proses yang lama. Salah satu keuntungan mempunyai sahabat mata-mata adalah bisa melaporkan kasus tanpa perlu memerlukan proses formalitas yang memakan waktu.
***
Diana: Gimana? Lo udah dapet detail rencana penembakan dari Petra?
Tarendra: Lo gak perlu tau itu
Tarendra: Serahin semua sama gue
Diana: Seenggaknya lo bs kasih gue bukti, video rekaman dari Petra atau apa pun
Diana: Lo kemana sih?!!
Diana: Ren, chat gue belum lo bales dari lusa kemarin
Diana: REN ANGKAT TELEPON GUE
Diana: Ren HP lo kenapa nggak aktif? Lo gak apa-apa?
Diana sudah siap mengenakan blazzer hitam yang ia padankan dengan kemeja berwarna serupa. Untuk celana, Diana memilih model pensil yang ia akhiri dengan sepatu bot. Julia sempat tidak setuju dengan pakaian Diana malam ini, tetapi Diana bersi keras dan akhirnya terjadi sebuah kesepakatan. Rambut Diana harus dikepang satu, dan Diana benci rambut yang dikepang.
Seharusnya Diana bisa berangkat lebih cepat hari ini untuk menemani ayahnya mengambil nomor urut presiden. Tetapi kini dirinya mengurung diri di dalam toilet kamarnya sembari menatap pesan-pesan terakhirnya dengan Rendra. Belasan kali Diana mencoba menghubungi pemuda itu, tetapi hasilnya nihil.
Diana sempat terlonjak kaget sewaktu pintu toilet yang ia huni diketuk keras-keras dari luar. "Heh! Lo makan apa sih semalem? Lama banget lo bokernya. Lo yang lama gue yang diamuk sama emak lo." Itu suara Pohan, bodyguard-nya yang tak hanya dibayar untuk menjaganya, juga dibayar untuk memarahinya.
"Aduh... aduh. Perutku mules banget nih," keluh Diana dengan suara sakit yang dibuat-buat. "Bisa bilangin ke Mama nggak, aku berangkatnya nyusul aja?"
***
Mahntap kan?
Semoga cepet selesai ya ini novel.
See u next chapter!
Think genius and stay safe!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top