[14]:Suprise:

KISAH INI FIKSI SEMATA.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.

NAMUN, TIDAK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.

***

Langit yang semula biru dengan terik matahari, kini memudar menjadi jingga dengan cahaya mentari yang melembut. Diana menolak tawaran Rendra untuk makan. Rasanya, perut Diana penuh dan tidak berselera sama sekali untuk makan apa pun. Mereka memustukan kembali ke sekolah Rendra untuk mengambil mobil Rendra yang masih terparkir di sana.

Lengan Rendra cedera, tapi Rendra memaksa mengantar Diana. Gadis itu sudah menolak berkali-kali tapi paksaan Rendra menang. Melihat raut datar di wajah Rendra, Diana tak bisa membaca apakah Rendra benar-benar tidak merasa kesakitan atau, Rendra sebisa mungkin menahan rasa sakit di depannya?

Selama di perjalanan kembali ke Bogor, Diana sedari tadi tak banyak bicara. Ia memandang ke luar kaca mobil yang dikendarai Rendra sembari membayangkan banyak hal. Tentang komunitas pendukung ayahnya yang membuat aksi anarkis, tentang surat yang ditulis oleh Farid, dan tentang dirinya sendiri yang belum bisa fokus untuk belajar menjelang ujian nasional yang tinggal menghitung bulan.

"Kenapa lo nggak percaya nyerahin semua ini sama pihak polisi? Pasti lama kelamaan, kedok Petra sama kelompoknya bakal kebongkar. Meskipun prosesnya lama dan bertele-tele. Tapi gue sanggup kasih mereka uang pelicin biar kerja lebih cepet." Lama terdiam, Rendra pun akhirnya mengalah membuka suara.

"Gue belum bisa percaya aparat buat saat ini," balas Diana. Dan melihat reaksi kebingungan dari Rendra, Diana pun mencoba menjelaskan alasannya. "Sebenernya, gue nggak sendirian waktu nyelametin Eva dari penculikan. Gue dibantu sama Erik." Pandangan Diana berpindah, tak lagi menyaksikan lalu lalang kendaraan yang menyalip atau pun disalip mobil yang ia tumpangi, melainkan ke depan.

"Erik?" ulang Rendra sekaligus bertanya tidak langsung.

"Temen gue. Anaknya Kapolda Wijaya. Lo pasti tahu Kapolda Wijaya." Diana menunggu Rendra menyelesaikan anggukannya sebelum kembali melanjutkan. "Setelah gue nyelametin Eva, gue diminta Kalpolda Wijaya untuk jadi saksi. Waktu gue dateng ke kantor polisi buat jadi saksi, gue nggak sengaja lihat di depan kantor polisi ada laki-laki botak yang lagi ngobrol salah satu polisi. Laki-laki botak yang gue lihat di depan kantor, ngasih amplop ke polisi itu, gue nggak tau isi amolopnya apa." Sembari menjelaskan, Diana membayangkan kembali detail kejadian yang ia lihat. "Ternyata polisi penerima amplop itu, orang yang intrograsi gue sebagai saksi. Namanya Sugeng. Beberapa hari kemudian, gue dapet kabar dari Erik kalau laki-laki botak itu namanya Pak Saipul... pemimpin penculikan Eva. "

"Jadi lo beranggapan kalau Sugeng itu kerja sama terselubung sama pelaku penculikan Eva?" tebak Rendra yang dibalas anggukan dari Diana. "Gue masih belum begitu ngerti." Rendra memberikan dengusan dan tawa kecil. "Maksud lo nyamperin gue sampai ke sekolah itu apa?"

Diana mengangkat alis dan kedua pundaknya berbarengan. "Ajak diskusi," ujarnya. "Sekalian kalau bisa, gue mau nangkep lo."

"Kalau beneran gue yang nyulik Eva, apa lo nggak kepikiran kalau gue bisa nyelakain lo?" balas Rendra yang tak habis pikir dengan aksi nekat Diana.

"Gue udah nggak takut mati sejak ayah gue diangkat jadi presiden." Gadis itu tersenyum, ia sudah terbiasa dengan orang-orang yang berusaha mencelakai dirinya dan keluarganya. "Mungkin gue agak drama, tapi gue percaya setiap orang bisa berubah hanya karena ucapan. Makanya gue mau ajak lo diskusi."

"Kata-kata nggak bakal cukup buat ngerubah seseorang." Rendra yang membenci drama menolak pendapat Diana.

Diana masih tidak mau kalah mempertahankan pendapatnya. "Kata-kata cukup itu lebih dari cukup untuk membentuk keyakinan seseorang." Mereka kini tengah berhenti di lampu merah, membuat Rendra dapat seratus persen terfokus pada Diana. "Kita ada di zaman omongan itu senjata utama. Bahkan bokap gue bisa jadi presiden karena omongannya. Bukan karena dia orang terkuat di arena gladiator. Kalau gue laporin lo ke polisi, lo ditangkep, lo bakal benci gue. Selesai. Tapi kalau kita diskusi, siapa tau ada jalan tengah."

Rendra mendengus. "Jadi lo nggak mau gue benci sama lo?"

"Nggak, bukan gitu." Diana mengalihkan pandangan. Sepertinya ia salah berbicara jadi ia menegaskan. "Gue anak politikus, gak boleh takut dibenci orang."

Lampu berubah menjadi warna kuning dan kemudian hijau. Rendra kembali melajukan mobilnya tanpa ada niat membuat argumen lain yang bisa saja mematahkan pendapat Diana. Mereka melalui hari-hari yang panjang dan sibuk. Tidak ingin menutup hari ini dengan argument yang tidak berujung.

Hari sudah mulai gelap ketika mobil Rendra sampai di sekolah Diana. Masih terlihat beberapa murid berpakaian seragam futsal serta basket yang sedang bercanda di depan gerbang. Diana melepaskan sabuk pengamannya dan bersiap untuk turun.

"Makasih udah nyelametin nyawa gue," ucapnya sungguh-sungguh. Ia tahu bagaimana Rendra berusaha melindunginya hari ini.

"Serius lo nggak mau gue anter sampai Istana Presiden?" tanya Rendra memastikan.

"Enggak, makasih. Gue masih ada kegiatan di sekolah." Tentu saja Diana berbohong. Diana tidak mungkin mengatakan pada Rendra jika ia kabur dan meninggalkan barang bawaannya di sekolah.

"Kegiatan apa jam segini?"

Diana memutar bola matanya malas seraya membuka pintu mobil. "Ya... apa aja. Persiapan uji nyali kek, atau gantiin shift satpam. Oke, gue duluan."

"Tunggu." Rendra meraih pergelangan tangan kurus Diana. "Minta kontak lo." Secepat mungkin Rendra melepaskan genggaman tangannya dari Diana setelah Diana berhenti membuka pintu mobilnya.

Setelah Diana mengetikan nomor teleponnya di handphone Rendra, pemuda itu langsung menekan tombol panggil. Rendra meneliti seluruh tubuh Diana dari atas sampai bawah, dan tidak menemukan tanda-tanda Diana menerima panggilannya.

"Handphone lo ke mana?"

"Gue tinggalin di dalem tas." Diana memamerkan cengiran yang langsung membuat Rendra menutup teleponnya.

"Bisa-bisanya." Melihat murid-murid berpakaian basket dan futsal sudah beranjak dari depan gerbang sekolah, Rendra pun menekan tombol agar kaca mobilnya dapat terbuka otomatis. "Gue tungguin sampai lo masuk sekolah."

Diana mendengus. "Itu nggak perlu, mereka nggak bakal ngikutin kita lagi-" Tatapan penuh intimidasi Rendra memotong ucapan Diana. Semakin lama Diana menatap kedua mata Rendra, rasanya jarak mereka semakin dekat. "Terserah."

Akhirnya Diana turun dari mobil dengan pengawasan penuh Rendra. Diana merasa terbiasa dengan ancaman sejak dirinya menyandang putri presiden. Namun, hingga detik ini Diana masih belum terbiasa dengan tatapan serta perhatian seluruh orang yang tertuju padanya, terutama jika ia diperhatikan oleh anak dari rival ayahnya.

Diana masih tidak dapat mempercayai Rendra, tetapi hati kecilnya merasakan bahwa Rendra tidak berbahaya. Pemuda itu hanya bertingkah seenaknya karena Rendra selalu mendapatkan apa yang ia inginkan sejak kecil tanpa berusaha. Setelah langkah Diana mencapai gerbang sekolah, Rendra kembali menutup kaca mobilnya dan melaju pergi.

Walau tidak mendapatkan kebenaran, tapi Diana mendapatkan Petra. Orang non blok yang bisa membantunya menghentikan semua kerusuhan ini.

"Wah, gimana latihan panahnya? Rame ya?" bisikan di telinga Diana secara tiba-tiba membuat Diana refleks berkelit. "Ternyata tadi latihan memanah hati orang." Ternyata itu Pohan, lengkap dengan seragam paspampresnya. Padahal Diana sudah mengatakan untuk menjemputnya pada pukul tujuh malam. Ini masih pukul setengah tujuh, tetapi Pohan sudah datang.

"Ih apaan sih, Tante Pohan!" balas Diana salah tingkah yang disambut tawa keras dari Pohan.

***

"Tadi ngapain aja di sekolah?" Seperti biasa, jam makan malam keluarga Diana dihabiskan dengan saling bertukar cerita tentang kegiatan masing-masing. David hari ini menghabiskan waktunya di kantor, berkutat dengan tumpukan berkas. Sementara Julia mendapatkan waktu senggangnya hari ini. Dirasa tidak ada hal menarik yang dapat diceritakan, suami dan istri tersebut pun menyerahkan sesi bercerita kepada Diana.

"Tadi aku kabur dari sekolah, lho. Habis itu main kejar-kejaran berujung mampir di kantor polisi. Waktu kejar-kejaran, Rendra ketembak dan kita naik mobil orang yang nggak dikenal. Luar binasa!" Dalam hati, Diana meracau sendiri. Tetapi yang jutsru ia katakana adalah, "Biasa, belajar terus... pulangnya aku latihan memanah." Sebisa mungkin Diana tidak terlihat gugup.

"Latihan memanah hati orang." Pohan masih belum ingin berhenti menggoda Diana. Ia ikut masuk ke dalam obrolan ketika mengambil minum di ruang makan. "Diana habis jalan sama cowok."

"Oh...." Julia memberikan tanggapan seperti memaklumi bahwa putrinya sudah dewasa.

"Siapa?" Berbanding terbalik dengan sang ayah yang seperti belum bisa menerima bahwa Diana menghabiskan harinya dengan laki-laki.

"Temen," ujar Diana singkat.

"Ayah tanyanya siapa, bukan hubungan kamu sama dia apa."

Kaki Diana mengetuk-ngetuk lantai. "Tarendra." Diana langsung menyuap satu sendok penuh nasi ke dalam mulutnya setelah menyebutkan nama laki-laki yang sudah menghabiskan hari dengannya.

"Anaknya Gio?" David secara tidak sadar meninggikan suaranya.

"Iya, tapi kita enggak nge-date." Diana melotot ke arah Pohan.

"Nge-date juga enggak apa-apa," celeuk Pohan yang mendapatkan lemparan satu buah apel dari Diana. Beruntungnya buah apel tersebut berhasil ditangkap Pohan dengan mulus.

"Diana." Julia memperingati agar menghentikan aksinya sebelum kembali melempar buah-buahan yang ada di depannya.

"Oh, Ayah mau bilang sama kamu, minggu depan jam delapan malam bisa temenin Ayah buat ambil nomor urut presiden?" Biasanya David akan antusias terhadap cerita Diana, bahkan menanyakan hingga detail. Tetapi laki-laki itu tampak berbeda, terlihat sekali ingin menyudahi pembicaraan bahwa putri satu-satunya ini berkencan.

"Oke, aku kosongin jadwal," balas Diana.

"Penerbangan untuk besok, diundur pukul 10 pagi. Menurut prediksi cuaca, bakal ada badai dari arah Selatan Australia, Pak." Pohan menunjukan sesuatu di ponselnya kepada David.

"Oke, makasih informasinya. Kamu cepat segera istirahat," perintah David.

Pohan mengangguk, ia menundukan sedikit badannya untuk berpamitan. "Baik. Saya izin pamit."

Untung saja makan malam ini tidak berlanjut menjadi acara intrograsi Diana. Beralasan ingin segera tidur, Diana pun cepat-cepat memasuki kamarnya. Biarlah untuk sementara keluarganya beranggapan bahwa ia dan Rendra sedang dekat. Penyamarannya untuk menguak kasus harus terlihat natural.

Ponsel Diana bergetar, terdapat satu pesan masuk. Diana meraih ponsel yang ia letakan di atas nakas. Sembari meluruskan badan di atas kasur, ia menyalakan TV.

08139X-XXXX-XX
Ini gua Rendra. Update terbaru dari Petra. Kita harus ketemu. Besok bisa?

Bertepatan setelah ia membaca pesan Rendra, suara televisi yang menyiarkan berita mengalihkan fokus Diana pada pesan Rendra. "....S yang diduga otak dari aksi kriminal ini, masih menjadi buronan polisi. Diketahui bahwa para tersangka yang ditangkap dari kasus penculikan Eva, merupakan pendukung fanatik dari David."

"Holly... shhh."

***

See u next chapter!
Think genius and keep punk

And dont forget to streaming our QUEEN!

https://youtu.be/An0B0vvqcmY

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top