Sick
Myesha terlihat kurang sehat di ruangannya. Hari ini sudah dua kali ia melakukan operasi hanya berselang dua jam. Operasi terakhir memakan cukup waktu, kurang lebih sejam lebih tiga puluh menit. Ia memijat-mijat kepalanya yang terasa pening. Sesekali mencium minyak kayu putih yang ada di sudut mejanya. Beberapa kali Faran menelepon, namun tak diangkatnya. Bukan karena sengaja, tapi Myesha akan semakin pusing jika terlalu banyak berkomunikasi. Dan juga ia tak ingin menambah khawatir di diri Faran akan dirinya yang sama sekali tak pantas diperhatikan.
"Mye." Ada ketukan pintu di ruangannya. Myesha sudah tak bisa lagi berdiri, ia memilih membaringkan tubuhnya di sofa ruangan sambil meringkuk kedinginan.
"Masuk." Dengan suara lemah, Myesha coba menyahut. Tak lama, muncul-lah Rafa dengan mimik wajah khawatir.
"Lo kenapa? lo sakit?" Rafa menempelkan dinding tangannya ke dahi Myesha, panas. Merasakan hal itu, Rafa bertambah khawatir. Ditujunya dispenser yang memang ada di dalam ruangan, menekan air dingin yang mengalir ke gelas yang ia pegang, lalu dengan sigap membantu Myesha meminumnya sambil menyanggah bahu Myesha yang setengah duduk.
"Gue antar pulang ya." Entah mengapa, Myesha tak punya kata penolakkan. Ia hanya bisa mengangguk pasrah.
"Lo masih kuat jalan?"
"Kepala gue pusing."
"Lo kurang istirahat sih." Sempat-sempatnya Rafa mengelus pipi Myesha secara lembut. Seperti menarik mundur waktu saat dulu mereka bersama.
"Gue gendong nggak papa?"
"Gue berat, Raf." Bukan itu alasan Myesha. Ia hanya malu akan jadi pusat perhatian. Berjalan di koridor rumah sakit dalam gendongan Rafa, apa pikir orang nanti. Mereka jalan bersebelahan saja, orang-orang menggosip apalagi ini di gendong, mau taruh di mana mukanya.
"Berat badan lo masih sama kayak dulu. Gue sering gendong lo, apa lo lupa?" Seulas senyum ringan tercetak di bibir Myesha. Mana mungkin ia lupa, bahkan semua kenangan indah itu terbungkus rapi dalam ingatannya.
Tanpa banyak tanya lagi, Rafa menggendong Myesha tanpa perduli tanggapan orang-orang. Terserah, apa saja kata mereka. Toh, Rafa hidup bukan dari sesuap nasi yang mereka berikan. Biar sajalah, sesuka hati mereka mengunjing, dosa ditanggung masing-masing.
Dibukanya pintu ruangan Myesha dengan susah payah. Ia tendang pintu ruangan Myesha cukup keras. Setelah berhasil, dengan mantap Rafa menggendong Myesha. Berjalan menyusuri koridor diiringi tatapan aneh orang-orang sekitar, termasuk para dokter dan suster lain yang sedang lalu lalang.
Klisik-klisik, suara mereka mengumamkan dua nama dokter terkenal dari departemen yang berbeda. Mereka mulai berpikiran aneh-aneh. Menyimpulkan opini tanpa mengumpulkan fakta terlebih dahulu, itu namanya fitnah. Meskipun keduanya sepasang mantan kekasih, tetapi belum ada kata 'kembali' di antara keduanya. Bahkan mereka sepakat menamai hubungan ini dengan kata 'sahabat'. Walau tak bisa dipungkiri, kosa kata itu bisa berubah kapan saja, tergantung situasi dan kondisi.
***
Entah sudah berapa panggilan tak terjawab dari Faran di ponsel Myesha. Si dokter tampan Rafa juga mengabaikan panggilan itu. Ia sibuk merebahkan tubuh Myesha di kamarnya. Menyelimuti tubuh sang mantan sampai sebatas dada. Duduk di pinggir kasur sambil menimang wajah Myesha yang ia rindukan. Berharap ia dapat menyentuh lagi wajah sang mantan dengan jeraminya sebagai pasangan yang saling mencinta. Mungkinkah harapan konyol dari Rafa itu akan terwujud? ini bukan masalah pertentangan saja, tapi lebih rumit dari itu. Ia teringat pesan Pak Arfan beberapa tahun yang lalu, dan ini bagai bumerang untuknya yang masih mencintai Myesha.
Jengah mendengar ponsel Myesha yang terus bergetar. Diraihnya tas Myesha lalu ia obrak-abriknya isinya sampai menemukan ponsel yang tak henti berdering. Melihat nama Faran di layar, Rafa membuang napasnya. Sekhawatir itukah calon suami Myesha? jelas saja, Faran akan cemas. Ia mencintai Myesha layaknya kekasih, jadi tak mungkin bila sang dokter kesayangan tak ada kabarnya ia akan baik-baik saja. Sudah pasti, cemas menyergap seluruh hatinya.
"Halo."
Mendengar suara Rafa, Faran ingin mengumpat, namun urung ia lakukan. Di mana etikanya sebagai seorang CEO jika berteriak memaki-maki. Lagi pula itu bukanlah sikap Faran, yang terkenal dengan kesabarannya. Seluruh karyawan merindukan marahnya, tapi tak pernah ia tunjukkan. Kecuali sikap tegas, selain itu ia akan senyum dan menasihati seperlunya bila ada karyawan yang salah. Bagi Faran, marah-marah hanya akan membuat urat syarafnya banyak yang putus.
"Mana Myesha?" tanyanya, malas berbasa-basi.
"Di rumahnya. Tadi gue antar pulang. Dia demam, kayaknya sakit. Dia juga mengigil, tapi udah gue kompres biar demamnya turun."
"Gue ke sana sekarang."
Mendengar kata 'sakit' Faran segera menyambar kunci mobilnya yang ada di atas meja. Rapat siang ini sejenak ia musnahkan dalam otak. Biarpun Tari, sekretarisnya mengingatkan, bahkan mencegat Faran. Ia tetap berjalan tanpa mau menengok lagi. Yang terpenting sekarang adalah Myesha, bukan yang lain.
Setibanya di kediaman Myesha, Faran buru-buru masuk setelah dibukakan pintu oleh pembantu rumah tangga. Ia berjalan tergesa menaiki anak tangga menuju kamar Myesha yang ada di lantai 2. Pintu yang sedikit terbuka, menampakkan sosok Rafa yang sedang menyisih anak rambut Myesha yang berantakkan. Ditatapnya sang mantan penuh rasa cinta dan penyesalan. Faran yang ingin mengetuk pintu jadi urung. Apalagi derap suara sepatu terdengar di hentakkan per ujung tangga. Arfan Lubis berdiri di sana. Tersenyum sebentar lalu menepuk pundak Faran yang ia anggap sebagai menantu idaman.
"Kenapa tidak masuk, Nak?" Arah matanya beralih ke dalam kamar, menatap Rafa yang sedang memegang jerami Myesha penuh kasih. Kini, ia mengerti kenapa Faran tak jadi masuk.
"Biar saya yang urus."
Arfan membuka pintu kamar putrinya hingga suara deritan terdengar dan membuat Rafa menoleh. Takut-takut ia melepas genggamannya pada Myesha, berdiri cepat dengan wajah panik. Melihat Arfan bagai melihat hantu yang siap memakannya. Ia sangat yakin Arfan akan memarahinya dan menuntut dirinya melupakan Myesha yang sama sekali tak bisa ia lakukan. Janji beberapa tahun lalu ia ingkari tanpa sengaja. Bahkan ia tak menduga akan satu kantor dengan sang mantan kekasih, itu di luar kemauannya. Tapi bagaimana pun nasi sudah jadi bubur. Tak ada yang kebetulan, mungkin takdir yang membawa mereka kembali bertemu.
"Saya sudah peringatkan kamu untuk menjauhi Myesha. Kenapa masih mendekatinya, Hah?" Faran yang tak tahu apa-apa hanya bisa menguping di ujung pintu, tanpa mau ikut campur urusan mereka.
"Saya minta maaf, Om."
"Cuma kata maaf yang bisa kamu katakan. Ingat apa yang sudah saya sampaikan dengan kamu beberapa tahun lalu. Jangan salahkan saya kalau itu sampai terjadi. Bodoh! mempersulit diri sendiri." Cercaan Arfan takkan mematikan cinta Rafa pada putrinya. Tidak ada yang bisa mematikan cinta itu kecuali sang maha esa. Sekalipun Arfan tidak akan bisa menghalangi cinta keduanya yang memang sudah terpupuk dalam hati.
"Maaf, Om. Tapi saya mencintai Myesha."
"Dasar bodoh!!!" Umpatnya sangat geram. Ia berusaha melindungi Rafa, tapi nyatanya Rafa menjerumuskan diri sendiri dalam kubangan hitam. Pantas saja Arfan mengumpat seperti itu. Cinta membutakan segalanya. Membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.
"Saya melindungi kamu, tapi kamu tidak mau saya lindungi, apa itu namanya bukan bodoh!"
"Kalau begitu Om harus beri tahu dia yang sebenarnya!" Dahi Faran berkerut. Banyak tanda tanya di otaknya. Ada apa dengan dua orang ini, rahasia apa yang mereka sembunyikan. Bahkan Arfan mengatakan sedang melindungi Rafa, apa yang ia lindungi? bukankah Arfan melarang Myesha merajut kasih dengan Rafa. Sungguh, Faran tidak mengerti dan terlihat seperti orang bodoh yang sedang menduga-duga.
"Kamu gila. Kalau dia tahu, kamu sudah siap dengan konsekuensinya?" Kedua orang itu masih bersitegang. Tidak bisakah membicarakan ini di luar kamar Myesha yang sedang butuh istirahat.
"Ehemmm ... maaf saya menganggu. Bisa 'kan Om sama Rafa bicaranya di luar. Kasian Myesha kalau mendengar kalian bertengkar." Persis, keduanya sama-sama mengangguk. Keluar dengan raut wajah yang sulit diartikan.
Sepeninggal Arfan dan Rafa, Faran duduk di sisi ranjang, memandangi Myesha yang berwajah pucat pasi. Kasian, gadis itu pasti kelelahan akhir-akhir ini. Beberapa hari lalu ia sempat mengeluh pada Faran bahwa kepalanya sakit. Seperti biasa, Faran selalu memberinya perhatian. Tapi tetaplah Myesha tak begitu senang. Ia mengharapkan itu dari Rafa, tapi nyatanya lelaki yang ia tunggu begitu tak acuh padanya.
"Fa ... ran." Suara seraknya terdengar seiring matanya yang mengerjap-ngerjap. Mungkin suara bising Arfan dan Rafa tadi telah membangunkan Myesha.
"Iya, gue di sini."
"Mana Rafa?" Bodohnya Faran, tentu saja Myesha berharap orang yang ia lihat pertama kali itu adalah Rafa bukan dirinya yang hanya dianggap sebutir debu tak berarti.
"Ada di luar, sama Om Arfan."
"Hah?" Mendengar itu, Myesha menyingkap selimutnya yang masih membelit kaki. Ia berusaha bangun dari tempat tidur, tapi dicegah oleh Faran. Ia menggeleng lalu menyuruh Myesha kembali berbaring mengingat kondisi tubuhnya yang masih belum sehat.
"Faran gue mau keluar. Gue nggak mau Papa sampai menghajar Rafa kayak dulu."
"Lo butuh istirahat. Mereka baik-baik aja di luar."
"Nggak, gue mau keluar. Lepasin gue Faran!"
"Mye bisa nggak sekali aja lo dengar kata-kata gue!" Untuk pertama kalinya suara keras itu diperdengarkan Faran. Ia tidak pernah bicara sekeras itu meski dengan musuhnya sekalipun. Mungkin ia sedang berada di titik jenuh. Cintanya yang tak berbalas membuatnya sedikit frustasi.
"Lo? lo bentak gue?"
"Maaf. Maaf ya. Bukan gitu maksud gue."
"Lo jahat. Gue 'kan lagi sakit." Jika sudah begini runtuhlah pertahanan Faran. Air mata Myesha bagai jimat sakti peluluh hatinya yang karam.
"Cengeng banget sih. Udah tahu gue bisa marahnya segitu aja. Mana mungkin gue marahin dokter cantik yang gue sayang. Dodol." Tanpa protes Myesha menerima pelukkan Faran. Meski tak cinta, wangi tubuh Faran selalu ia rindukan. Faran orang yang sangat ia butuhkan untuk tempat bersandar. Egois memang, tapi itulah nyatanya. Myesha tak bisa tanpa Faran. Mungkin jika Faran menikah dengan wanita lain ia akan cemburu berat. Bukan karena cinta, tapi ia tak rela berbagi perhatian dengan wanita itu. Oh, otaknya Myesha sudah rusak sepertinya. Egois sekali.
"Faran, makasih."
"Untuk apa?"
"Karena lo udah mau jadi tempat gue bersandar." Sontak Faran melongo. Hanya itukah perannya di mata Myesha. Jika orang-orang tahu mungkin ia akan dijuluki pria terbodoh yang ada di dunia.
"Miris banget hidup gue."
"Hah?"
"Hah ... hoh ... hah ... hoh. Mau makan apa gue buatin?"
"Gue nggak laper. Kepala gue sakit, badan gue pegal semua. Badan gue demam. Ah lengkap banget penderitaan gue." Masih sempat-sempatnya Myesha mengoceh ketika sakit. Mungkin jika ia sehat, Faran sudah menyumpal mulutnya yang cerewet dengan selembar tisu.
"Sekarang baring!"
"Lo mau ngapain. Lo macam-macam gue teriak." Ya kali, Faran ingin memperkosanya di rumah yang banyak penghuni. Kalau pun ia melakukan itu, pasti tempat sepi sudah ia pilih sebagai pelampiasan hasratnya. Dan sekali lagi, Faran bukan laki-laki bejat seperti yang Myesha pikirkan saat ini. Cinta tak dibalas, bukan berarti dukun akan bertindak. Itu tidak ada dalam kamus Faran.
"Oh, Sayang. Aku sudah tak tahan ingin menyelamimu." Faran tertawa sebentar lalu menatap Myesha tajam. "Lo kira gue bego apa. Gue masih waras. Mana mungkin gue perkosa lo di sini. Malu sama Allah, dia liat kita kali. Coba aja lo cinta, pasti gue udah bawa lo ke penghulu, baru deh gue lakuin itu."
"Lo mabuk atau habis salah minum obat?"
"Lebih tepatnya salah mencintai orang." Kata-kata yang menusuk hati bagi Myesha. Lagi pula ia tidak pernah menyuruh Faran mencintainya, tapi Faran juga tak bisa disalahkan. Ia mencintai Myesha karena cinta itu hadir sendiri, bukan karena ia minta.
"Maafin gue yang nggak bisa balas cinta lo."
"Jadi siapa yang lo cintai, Dokter Myesha?" Hah, sial. Rupanya Rafa mendengar obrolan mereka. Dan kini ia tahu Myesha tak mencintai Faran sebagaimana akting mereka selama ini. Habis sudah riwayatnya. Kebohongan bisa terbongkar sebegitu cepat.
"Gue ... ya, gue cinta sama Faran-lah." Masih saja ia mengelak dan berusaha menutup-nutupi.
"Lo cinta sama Faran. Terus tadi lo bilang apa, lo bilang maaf lo nggak bisa balas cintanya dia. Telinga gue masih berfungsi dengan baik Myesha." Kalah telak. Myesha hanya bisa menunduk, merutuki kebodohannya. Andai saja ia tidak bicara sekeras itu, pasti Rafa tidak akan tahu.
"Dia memang cinta sama lo."
"Faran!"
"Udahlah, Mye. Gue capek harus akting kayak gini. Kalau lo bisa jujur kenapa lo milih bohong."
"Faran lo apa-apaan sih."
"Jadi lo masih cinta 'kan sama gue?" Rafa mendekati Myesha, membelai rambut gadisnya sangat lembut. Tatapannya penuh cinta dan pengharapan.
"Bukan gue yang bilang."
"Tapi gue percaya sama yang Faran bilang."
"Ya itu terserah lo. Udah sana gue mau tidur."
Myesha menarik selimutnya sampai menutup kepala. Ia tak peduli dengan Rafa dan Faran. Yang terpenting ia bisa kabur dari pertanyaan Rafa yang selalu menjebaknya. Ia akui dalam hati, ia masih mencintai Rafa. Tapi telinganya yang tak tuli juga menangkap sinyal jelek dari percakapan papanya dan Rafa. Mungkin selanjutnya ia akan menyelidiki apa yang dua pria itu sembunyikan darinya. Cepat atau lambat, Myesha berjanji akan mengetahuinya.
***
Jarum jam baru mengarah ke angka tujuh, tapi Arfan sudah melayang sepagi ini ke kantornya. Myesha yang masih kurang sehat memilih ijin dari pekerjaannya untuk sehari. Di dalam kamar ia sedang melamunkan perkataan Papanya dan Rafa. Meski saat itu mereka tahu Myesha sedang sakit dan tertidur. Tetapi dibalik itu, Myesha mendengar semuanya. Ia pura-pura seperti orang tidur, tapi semua otak dan telinganya menyerap kata-kata mereka. Ia terus bertanya-tanya, apa yang mereka sembunyikan? ucapan Papanya benar-benar ambigu, sulit untuk ditebak. Bahkan Rafa memilih untuk menutup mulut, dan membiarkan Papanya untuk memberitahu kebenaran. Disitulah permasalahannya. Kebenaran apa yang perlu Myesha ketahui dan resiko apa yang Rafa dapat jika Myesha tahu? semuanya masih tanda tanya.
"Apa yang sebenarnya mereka sembunyikan? gimana caranya gue bisa tahu soal itu. Hah ... sial. Coba aja gue punya kemampuan, gue bisa tahu apa yang mereka bicarakan beberapa tahun yang lalu," gumamnya dalam hati.
Ia terus memikirkan semua kejadian di masa lampau. Siapa tahu ia menemukan titik terang, apa saja yang belum ia ketahui tentang masa lalunya. Walau Myesha tak yakin, ia bisa menemukan semudah itu.
"Pagi, Dokter Myesha." Faran muncul dibalik pintu yang terbuka. Ditangannya ada bunga mawar dan parcel buah-buahan yang sengaja ia bawa untuk menjenguk Myesha.
"Bunga mawar buat lo."
"Makasih, Faran," ujarnya sangat tulus.
Sebelum duduk di sisi kasur Myesha, Faran menaruh parcel buah-buahan di atas nakas, persis di sebelah kasur Myesha. Tak lupa, ia menyajikan roti isi selai dan susu rasa vanila untuk si dokter cantik kesayangan. Tadi pagi-pagi, pembantu rumah tangga sudah menyediakannya untuk Myesha. Tetapi gadis itu belum menyentuh sama sekali. Bahkan roti dan selai masih terpisah, belum dioleskan. Jadi-lah, Faran yang perhatian mengoleskan roti itu dengan selai nanas, kesukaan Myesha.
"Faran duduk sini deh." Myesha menepuk-nepuk ujung kasurnya.
"Sebentar, gue masih bikin roti selai nih. Lo harus makan biar cepat sembuh. Masa dokter sakit, terus pasiennya gimana ntar kalau dokternya nggak bisa ngobatin." Mulut sang dokter maju beberapa senti, alias manyun-manyun kesal. Si Faran sudah mirip ibu-ibu bukan lagi CEO muda.
"Dasar cerewet. Lo harusnya jadi cewek jangan cowok."
"Kalau gue lahir jadi cewek, bisa-bisa gue abnormal. Karena gue suka sama lo. Itulah kenapa gue lahir jadi cowok, biar gue bisa melindungi lo. Paham?" Mulut Myesha yang semula terkantup, tiba-tiba menganga. Melindungi katanya. Ratusan kali Myesha mengatakan bahwa Faran laki-laki terbaik yang pernah ia temui dan sayang dia adalah perempuan yang sangat merugi karena tak bisa mencintainya.
"Awas mulut lo dimasukin lalat. Kenapa gue mengagumkan ya? banyak yang bilang sih. Banyak juga yang naksir dan ngejar-ngejar gue. Tapi gue heran kenapa gue malah cintainya sama lo. Lo cinta juga nggak sama gue. Kadang kalau gue pikir nih ya, lucu. Serius."
"Maaf Faran. Maaf." Demi apa saja, Myesha tak tega ketika Faran berkisah dengan nada yang cukup menyayat hatinya.
"Lo nggak perlu minta maaf. Yang penting lo tetap jadi sahabat gue. Gue udah senang kok. Nanti juga kalau ada cewek yang tepat buat gue, gue bakal lupain lo. Gue janji." Diacaknya rambut Myesha dengan perasaan sayang. Mata sang dokter berkaca-kaca, tanpa bisa mengucap sepatah katapun. Faran terlalu sempurna menjadi mahluk berjenis kelamin laki-laki.
"Faran."
"Iya."
"Kemaren, waktu Papa sama Rafa lagi ngomong serius ... gue dengar semuanya. Gue dengar apa yang mereka bilang. Lo ngerasa ada yang aneh nggak? kira-kira apa yang mereka sembunyikan, Faran?" Bukan hanya Myesha yang penasaran, sebenarnya Faran pun juga. Tapi ia tidak memilik hak apapun atas itu. Namun, berbeda ketika Myesha telah mengetahuinya. Ia merasa berhak untuk mencari tahu kebenaran. Entah bagaimana caranya.
"Memang ada yang aneh. Tapi gue belum tahu itu apa. Yang jelas ada yang mereka sembunyikan. Dan ini kayaknya ada sangkut paut sama kejadian di mana Rafa milih ninggalin lo daripada bertahan. Lo mau cari tahu apa yang mereka sembunyikan?" Myesha mengangguk.
"Kita bakal cari tahu sama-sama. Tapi jangan terlalu ngebet, santai aja. Dan jangan buat mereka curiga."
"Tapi gimana caranya? kita aja nggak tahu, apa yang harus kita cari tahu Faran?" Benar, mereka tidak tahu. Ibaratnya sedang berjalan, tapi tidak tahu arah tujuan dan tempat untuk singgah. Mereka harus menyusuri jalan agar tak tersesat hingga membawa mereka pada sebuah tujuan.
"Ingat. Barang busuk itu akan tercium, meskipun disembunyikan rapat-rapat. Kalau lo percaya itu, cepat atau lambat kita pasti akan tahu." Digenggamnya tak Myesha untuk menyakinkan, bahwa ia tidak sendirian. Ada Faran yang berada disisinya yang selalu melindungi dan siap kapan saja untuk membantu. Jadi Myesha tak perlu ragu untuk melangkah, kalau pun salah, ada Faran yang akan menuntunnya bersama untuk pulang.
"Gue percaya kok. Sangat percaya." Betapa romantisnya mereka saat ini. Bergenggaman tangan, dengan kepala Myesha yang diusap-usap Faran lembut sembari tersenyum-senyum bahagia. Andai saja panah asmara berpihak pada keduanya, mungkin cinta di hidup Myesha akan indah.
"Sekarang lo makan dulu. Roti selai nanas ala chef Faran." Myesha tertawa melihat kelakuan Faran yang konyol. Bisa-bisanya ia membuat roti seperti pesawat, layaknya anak kecil yang sedang ia suapi. Konyol memang, tapi begitulah cara Faran untuk menyenangkan orang yang ia cintai.
"Kayaknya gue ganggu." Tanpa mereka sadari, Rafa sudah berdiri di sisi pintu. Menyaksikan keromantisan mereka yang sama sekali jauh dari kata saling mencintai.
"Eh, Raf. Masuk sini. Katanya Myesha pengen disuapin lo." Sebelum menoleh Rafa, dengan jahil, Faran mengedipkan mata genitnya sebagai kode pada Myesha. Sepertinya Faran ingin menjadi Sherla yang ingin Myesha kutuk menjadi kodok.
"Kebetulan, gue bawain bubur ayam nih. Roti selai nggak bikin kenyang. Myesha harus makan yang banyak." Rafa tak mau kalah perhatian dari Faran. Bagaimanapun ia harus menjadi unggul agar Myesha mau kembali padanya. Tetapi Rafa tidak akan melakukan cara licik, ia secara sehat membuka persaingan pada Faran. Meski ia sangat yakin, bahwa dirinya-lah yang akan memenangkan hati Myesha.
"Kasian, mukanya masih pucat. Besok kalau capek di kantor, istirhat ya. Jangan sampai sakit kayak gini lagi. Karena akan ada dua pria yang khawatir sama lo. Lo harus jaga hati mereka supaya tetap tenang." Dua pria yang Rafa maksud adalah dirinya dan Faran. Semenjak kejadian tadi malam, Rafa jadi tahu bahwa hanya Faran yang mencintai Myesha, tapi sebaliknya tidak. Bahkan mereka juga mengakui, hubungan mereka hanya sebatas sahabat. Kalau soal calon suami itu benar adanya, karena orang tua mereka yang menjodohkan. Dan mereka hanya menurut, meski lebih banyak membangkang.
"Iya. Ternyata kalian sama-sama cerewet." Rafa dan Faran saling lirik-lirikkan lalu tertawa kecil mendengar Myesha berceletuk cerewet.
"Buka mulutnya, gue suapin bubur ayam. Mumpung masih hangat." Faran yang berdiri di depan nakas hanya bisa menatap cemburu. Ia tahu, dirinya kalah. Faran harus siap menerima kenyataan pahit, bahwa Myesha tidak akan memilih cintanya. Mungkin dengan senyum keadaan bisa terlihat baik-baik saja.
"Enak nggak?"
"Enak. Dulu kalau gue sakit, lo selalu beliin bubur. Dan sekarang lo bawain lagi. Lo emang nggak berubah Raf. Makasih ya."
"Gue sayang sama lo, Mye. Dari dulu sampai sekarang masih sama. Jadi apapun yang dulu pernah gue lakuin, gue bakal lakukan lagi di masa depan, kayak sekarang." Disekanya ujung bibir Myesha yang ada sisa bubur menyangkut di sana. Sontak kedua mata itu saling bertemu dengan jarak yang cukup dekat. Setelah bertahun-tahun kehilangan tatapan rindu itu, akhirnya mata rindu dapat kembali bertemu.
Sungguh, Faran benar-benar cemburu. Ia bagai menyaksikan adegan romantis suatu film secara langsung. Bisa terlihat jelas, tatapan mata Myesha jauh berbeda. Ketika menatap Faran ia tidak akan berbinar seperti ia menatap Rafa. Bahkan keduanya seakan terbisu bertatapan. Tak ada yang bersuara, tak ada yang bergerak, bahkan berkedip pun tidak. Dalam beberapa detik mereka sama-sama terhipnotis satu sama lain. Mengembalikan gelenjar cinta yang sempat menjauh dari hati.
------------------------------------------------------
Terima kasih buat yang sudah meninggalkan jejak"nya di cerita ini... Satu bintang dari kalian jadi semangat untuk aku...
Salam sayang
Mpi
Samarinda, 18 Oktober 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top