Pasangan Palsu

Myesha membuktikan ucapannya pada Rafa. Sore itu, Faran datang menjemput Myesha di rumah sakit. Dengan semangat 45 Myesha mendatangi Rafa dan mengajaknya keluar. Dengan begini Rafa akan percaya bahwa Myesha sudah benar-benar melupakannya. Pria itu berharap ini hanyalah sandiwara Myesha, karena di dalam hatinya cinta untuk Myesha tetaplah ada. Seberapa jauh Rafa pernah meninggalkan, bahkan pernah menjalin kasih dengan yang lain, tetap saja Myesha selalu mendominasi hatinya yang sepi. Senyumnya, tawanya, manjanya tidak pernah hilang dalam ingatan Rafa. Berulang kali ia menguatkan diri, tapi berkali-kali juga ia gagal. Gagal melupakan Myesha, begitu juga sebaliknya.

"Dokter Rafa sudah siap ketemu calon suami saya?" Tanyanya mengejek.

"Nggak usah sandiwara."

"Anda pikir saya lagi sandiwara? Anda kira saya nggak bisa ngelupain Anda? Anda salah besar." Ingin sekali Myesha mengumpatnya dengan sebutan lo, gue. Tapi berhubung masih di dalam rumah sakit, tidak mungkin Myesha melakukannya.

"Mye." Rafa tiba-tiba mengenggam tangan Myesha, menatap wanitanya teramat dalam, berusaha mencari kebohongan di mata indahnya.

"Maaf, maksud saya Dokter Myesha. Bisa 'kan, Anda jujur sama perasaan Anda sendiri. Untuk apa begini? mau balas dendam sama saya?"

Rafa menarik Myesha menuju lorong yang sedikit sepi, tak banyak orang lalu lalang di sana hingga mereka bisa sedikit bebas bicara. Ditatapnya Myesha begitu dalam, gadis itu hanya diam membisu, kehabisan kata-kata. Demi apa saja, Myesha sudah tidak mengharapkan ini terjadi. Tapi hatinya selalu bertolak belakang bagai saling perang di dalam.

"Lo masih cinta 'kan sama gue? jawab yang jujur."

"Gue udah nggak cinta lagi sama lo, itu fakta," dustanya.

"Lo bohong. Mulut sama mata lo beda, Mye. Lo pikir gue bego, hah?"

"Terus lo ngerasa pintar hingga menyimpulkan kalau gue masih cinta sama lo. Lo yang minta lupain semuanya, dan gue udah ngelakuin itu, terus gue salah?"

"Hash. Lo sangat pintar beralibi, gue tetap nggak percaya."

"Terserah, itu hak lo." Mati-matian Myesha menekan perasaanya. Kalau saja Rafa dulu tidak memintanya, mungkin hari ini Myesha akan jujur dan mengakhir ingkar hatinya.

"Kenalin gue sama calon suami lo. Gue mau tahu seberapa besar lo mencintai dia?" Kalau saja Rafa tahu, sedikitpun Myesha tidak mencintai Faran, maka ia akan terbang di atas angin.

"Ayo, dia udah nunggu di luar."

Myesha berjalan mendahului Rafa. Dokter tampan itu menghela napas, mempersiapkan diri menerima sesuatu yang tidak ia inginkan. Andai Myesha tahu alasannya meninggalkan, mungkin gadis itu akan menangis. Andai Rafa bisa memutar waktu, ia tidak akan melakukan itu dan bisa sedikit lebih dewasa mencari solusi. Tetapi saat itu dia tidak punya daya, ia rapuh dalam bebannya sendiri. Mana mungkin ia mengatakan kebenaran yang akan menjungkir balikkan hidup mereka.

"Hai Sayang.  Maaf ya buat kamu lama nunggu." Sontak kening Faran berkerut. Ada angin puting beliung kah yang menubruk hati Myesha hingga memanggilnya semesra itu.

"Sa--" Myesha langsung mencengkram lengan Faran kuat, saat Faran ingin menyangkal sebutan itu dihadapan Rafa.

"Kenalin Sayang. Ini Dokter Rafa dari departemen bedah syaraf." Faran manggut-manggut. Kini ia mengerti kenapa sikap Myesha berubah dratis. Selama setahun, banyak yang Myesha ceritakan pada Faran termasuk mantan kekasihnya yang bernama Rafa.

"Faran." Dengan hati yang dongkol, Faran menjabat tangan Rafa yang juga terulur menyambut.

"Rafa, mantan kekasih Myesha." Entah kenapa, Rafa ingin memperjelas statusnya yang punya masa lalu dengan Myesha. Menanggapi itu Faran tersenyum samar.

"Saya tahu kok. Tidak perlu diperjelas, Myesha cerita sama saya."

"Nggak usah formal, manggil lo, gue juga nggak papa." Rafa benar-benar merasa tersudut. Ini hari pertamanya berkerja dan disambut dengan berita buruk kalau mantan kekasih yang masih ia cintai sudah memiliki calon suami. Di luar dugaan, bahkan Rafa tidak pernah membayangkan ini terjadi. Walau hati kecilnya masih menyakini, Myesha tidak benar-benar jatuh cinta dengan calon suaminya.

"Mau ikut ngopi bareng kita nggak?" Tawar Myesha licik. Sengaja memanas-manasi, padahal dalam hatinya juga terluka.

"Nggak, gue masih ada pasien yang harus diperiksa."

"Oke kalau gitu kita duluan ya."

"Duluan, Fa." Pamit Faran berusaha ramah.

***

Di kafe, Faran banyak diam. Entah marah, entah kecewa yang jelas ia tidak habis pikir dengan Myesha. Perempuan itu tega menjadikannya pasangan palsu dihadapan mantan kekasihnya. Kalau Rafa tahu, mungkin Faran yang akan malu. Apalagi di antara mereka, hanya Faran yang mencintai sedangkan Myesha tidak. Ini selalu menjadi keuntungan bagi Myesha. Faran tidak bisa menolak hal konyol ini, karena ia tidak ingin orang yang ia cintai terluka.

"Maafin gue. Lo pasti kecewa." Matanya sudah berkaca. Pura-pura mengaduk minuman.

"Lo tahu 'kan gue cinta sama lo. Kenapa lo tega jadiin gue pasangan palsu lo? gue bisa gila kayak gini."

"Gue nggak punya pilihan. Dia yang ninggalin gue, masa gue harus tetap terlihat mencintai dia. Itu namanya nggak adil!"

"Terus yang lo lakuin ke gue itu adil?"

"Ran, gue minta maaf."

"Gue juga bisa sakit hati Mye. Jadi lo nggak bisa seenaknya bikin gue kayak boneka." Kejam memang cinta yang Faran rasa. Cinta yang tak berbalas, dan sekarang ia harus ikut terseret dalam drama palsu ini. Sungguh, Faran ingin berteriak.

"Maafin gue. Gue memang nggak tahu diri. Gue salah, gue minta maaf." Akhirnya Myesha terisak-isak sambil mengaduk minumannya. Ia menyesal tidak memikirkan perasaan Faran sebelumnya. Ia akui dirinya egois. Hanya karena gengsi lalu orang lain yang jadi sasarannya.

"Udah ya, jangan nangis." Faran menyusut air mata Myesha yang berlinangan. Dia adalah orang yang paling tidak tega melihat gadis yang ia cintai menangis, apalagi masih ada sangkut paut dengan dirinya.

"Iya deh, gue mau sandiwara jadi pasangan palsu lo. Udah lo kalau nangis jelek." Bukannya berhenti menangis, justru tangisnya makin menjadi. Kalau sudah begini, Faran tidak akan berdiam diri. Ia memutari meja lalu berjongkok, memeluk Myesha.

"Kenapa gue nggak bisa jatuh cinta sama lo Faran?"

"Karena cinta nggak bisa dipaksa. Dan lo nggak bisa milih, jatuh cinta sama siapa. Dan sayangnya, cuma gue yang dipanah, lo nya nggak."

"Lo terlalu baik sama gue. Apa lo nggak sedih, nggak kecewa, nggak marah. Bahkan lo nggak pernah memaki gue, walaupun gue kadang jahat sama lo." Masih dalam pelukan Faran, Myesha mengeluarkan uneg-uneg yang kadang ia pendam.

"Apa kalau gue maki lo, lo bakal cinta sama gue? nggak 'kan? yang ada lo justru benci sama gue. Dan gue nggak mau itu terjadi Mye. Cukup kayak gini. Setidaknya gue masih bisa jadi sahabat yang melindungi lo."

Dibalik kaca bening yang transparan, diam-diam Rafa mengintip. Adegan pelukan antara Faran dan Myesha tertangkap mata Rafa. Dan entah mengapa kenyakinan Rafa terhadap argumennya bahwa Myesha masih mencintainya seketika hancur. Apa yang ia lihat seperti membuktikan kalau Myesha sudah benar-benar melupakannya. Meski ia tak tahu, pelukan itu terjadi karena dirinya. Myesha menangis karenanya, dan Rafa belum tahu soal itu. Apa yang Faran dan Myesha bicarakan pun, Rafa hanya menduga-duga, sebatas mata memandang, tetapi telinga tidak mendengar.

"Gue cinta sama lo, dibalas ataupun nggak. Lo nggak perlu jawab apa-apa." Pengakuan Faran membuat Myesha mengeratkan pelukkannya. Bagai berdosa atas apa yang telah Faran ucapkan. Ia ingin sekali memilik rasa itu, tapi sayang rasa itu tidak berpihak padanya.

***

"Gue langsung pulang ya, capek nih," ujar Faran sesampainya di kediaman Myesha.

"Lo sakit?"

"Nggak. Cuma capek aja."

"Pulang gih, istirahat." Biar bagaimana pun Myesha tetap memperhatikan Faran sebagai sahabatnya. Anggap saja itu penebusan dosa atas cinta Faran yang tidak bisa ia balas.

"Andai aja lo pacar gue Mye, gue pasti bahagia." Gumamnya tanpa sadar.

"Faran, lo bilang apa tadi?"

"Ah ... nggak, nggak. Gue nggak bilang apa-apa."

Harapan hanya tinggal harapan. Faran cukup tahu diri, hanya ia yang mencintai dan tak mungkin memaksa Myesha menghadirkan rasa itu. Rasa yang sangat Faran harapkan. Apalagi Rafa kembali datang dalam hidup Myesha, bisa jadi kedua orang yang pernah menjalin kasih itu akan kembali bersama meski Myesha menghindarinya. Tapi siapa yang tahu, takdir membawa hidup ke arah mana. Biarpun Myesha menjauh, jika Rafa jodohnya maka ia akan selalu dekat dan harapan Faran akan cinta Myesha semakin menjauh.

"Gue turun ya. Sampai ketemu lagi."

"Cium tangan dulu, gue lebih tua ya dari lo. Nggak sopan. Udah gue antarin pulang juga." Itu hanyalah alibi Faran agar Myesha memegang tangannya. Dan tanpa berpikiran buruk, Myesha dengan senang hati melakukannya. Toh hanya cium tangan bukan cium yang lain.

"Makasih ya Ran."

"Kembali kasih. Udah sana, lo liatin gue terus. Gue emang cakep sih." Myesha berjengit geli mendengar ucapan Faran. Bisa-bisanya ia berkata demikian.

"Cakep mata lo picak."

"Haish. Begini nih kalau cewek nggak cinta. Cowok cakep dibilang jelek. Coba aja cinta, pasti yang jelek dibilang cakep. Yang matanya picak siapa jadinya, lo apa gue?"

"Mpok Minah," ujar Myesha asal seraya menutup pintu mobil Faran.

Faran hanya bisa terkikik di dalam mobil. Myesha selalu saja asal berucap. Sekehendaknya jika sudah kalah argumen dengan Faran. Ia akan mencari jawaban yang membuat Faran ketawa hingga tak lagi bisa berkata-kata.

"Habis pergi sama Faran?"
Papa Arfan tiba-tiba menyalakan lampu kamar seiring tangan Myesha yang membuka pintu.

"Seperti yang Papa liat."

"Bagus. Kapan mau nentuin tanggal pernikahan kalian?" Myesha yang baru saja melempar tasnya ke ranjang langsung berbalik, menatap tajam ke arah Papanya yang selalu mengungkit perihal tak penting baginya.

"Bisa nggak Papa nggak usah bahas itu."

"Kenapa? apa karena pria bodoh itu sekarang kerja di rumah sakit yang sama dengan kamu."

Myesha menyungging senyumnya. Arfan Lubis mirip seorang dektetif yang terkadang ingin tahu semua tentang putrinya, termasuk soal Rafa. Pasti ada yang memberitahunya kalau mantan kekasih Myesha itu berkerja di rumah sakit Aksa Bumi.

"Papa mirip dektetif ya."

"Kamu pikir Papa nggak tahu. Apa mungkin dia sengaja ke rumah sakit Aska, biar bisa ketemu sama kamu. Licik."

"Dia juga kaget, jadi nggak mungkin dia tahu."

"Positif sekali pikiranmu. Kenapa, kamu senang?"

"Myesha mau istirahat."

"Kamu ngusir Papa?"

"Menurut Papa?"

Pertanyaan Arfan bagi Myesha adalah jebakan. Ia tidak mungkin menjawab. Membahas Rafa malam hari seperti ini tidak akan ada habisnya. Arfan akan berusaha membuat Myesha terpojok. Yang ia inginkan putrinya bersanding dengan Faran, bukan Rafa yang ia anggap sebagai pria bodoh. Apalagi semenjak kepergian Mama Myesha, ia harus membesarkan anak-anak seorang diri. Ia merasa Faran-lah yang pantas menjadi pendamping Myesha. Tetapi keyakinan Arfan harus patah seiring penolakkan Myesha yang berujung perkelahian.

"Papa cuma mau kamu bahagia." Ditepuknya pundak Myesha pelan sebelum meninggalkan kamar putrinya itu.

Myesha menutup wajahnya dengan kedua belah tangan. Ia menghela napas, frustasi. Myesha sudah mencoba menghadirkan rasa untuk Faran selama setahun ini, tapi nyatanya ia gagal. Selalu saja Rafa memenangkan perang batinnya. Dan sekarang laki-laki itu ada di dekatnya, lalu apa yang harus ia lakukan. Jika jauh saja cinta itu masih hadir, apalagi dekat seperti sekarang. Myesha tidak bisa berjanji banyak akan menghindari Rafa terus menerus. Bisa saja sikap tegasnya akan hilang karena kekuatan cinta antara mereka yang benar-benar teguh.

Di tengah lamunannya, ponsel Myesha yang berada di atas nakas bergetar. Satu panggilan dari nomor tak dikenal tertera di layar. Ragu, Myesha mengangkatnya.

"Halo."

"Mye."

Jantung Myesha berdebar, suara itu tak asing ditelinganya. Suara yang antara ia harapkan dan tidak. Sekitar beberapa detik, Myesha tak menyahut. Sampai akhirnya suara itu kembali menyapanya.

"Lo nggak akan nanya ini siapa 'kan? lo tahu pasti, ini siapa."

"Rafa."

"Lo masih hafal ya suara gue."

"Kenapa lo nelpon?" Myesha tak ingin berbasa-basi. Semakin panjang mereka ngobrol, maka Myesha akan semakin runtuh pertahanannya.

"Gue kangen Mye."

"Aish ... bisa-bisanya lo bilang kayak gitu, setelah lo pergi ninggalin gue."

"Apa kangen sama mantan kekasih itu dilarang?" Oh, Rafa, dia nyaris menbuat Myesha frustasi akut. Kangen dia bilang. Apa dia tidak tahu, bahwa Myesha juga merindukannya diam-diam.

"Gue udah bilang, kalau gue punya calon suami. Bisa nggak jangan ganggu gue lagi?" Perkataan terkutuk meluncur begitu saja dari bibir mungilnya. Sama sekali tak ada maksud, tapi semua saling bertolak belakang. Hati dan pikiran Myesha tak sejalan. Sehabis mengucapnya yang tersisa hanyalah sebuah penyesalan.

"Setidaknya kita bisa jadi sahabat 'kan? apa yang namanya mantan itu harus jadi musuh? Ingat kita adalah dua orang yang pernah saling mencintai. Jadi apa salah, kita bersahabat?"

"Gue cuma nggak mau Faran salah paham." Seketika nada bicara Myesha melembut. Mungkinkah kata-kata Rafa barusan berhasil membisunya. Entahlah.

"Gue janji, gue nggak akan ganggu hubungan kalian. Gimana?"

"Apa janji lo bisa dipegang?" Pertanyaan itu lebih tepatnya untuk Myesha. Bisakah ia berjanji untuk tidak menganggu hubungan persahabatan mereka nanti. Jika Rafa saja berjanji, berarti Myesha juga harus.

"Janji."

Helaan napasnya terdengar amat panjang. Sebenarnya hubungan macam apa ini. Mantan jadi sahabat. Janji yang diikrarkan Rafa memang cukup berat. Tapi dia sudah memikirkan dengan matang. Jika ia tidak bisa memiliki Myesha seperti dulu, setidaknya ijinkan dia menjadi sahabat yang bisa melindungi tanpa harus ada cinta yang berperan.

###

Haii... maaf baru publish, kuotanya baru ada hihihi... makasih yang masih setia baca dan meninggalkan jejak" petualangnya hehehe. . .

Salam sayang selalu

Mpi

Samarinda, 11 Oktober 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top