Love Or Hate
Myesha ingin lenyap dari bumi saat itu juga. Ia keluar dari ruang penyambutan secepat kilat. Disusul Tama setelahnya. Mereka saling berkejaran, Myesha mempercepat langkahnya menuju ruangan. Jengah, Tama menarik tangan Myesha untuk segera berhenti lalu menolehnya dengan wajah yang cemas.
"Dokter mau ke mana? kita masih ada pasien habis ini." Tama mengingatkan.
"Bisa nggak, lo aja yang urus. Gue lagi kacau nih." Myesha terus memijat-mijat kepalanya yang terasa pening.
"Yang nggak papa, paling Dokter Mye yang kena semprot sama Direktur Rian." Bukannya menenangkan, Tama malah menambah masalah. Bisa-bisanya dia berucap seperti itu saat Myesha terlihat gelisah.
"Lo bisanya cuma ngancam gue, Tam. Laporin sana, gue nggak takut." Myesha pergi begitu saja, ada yang lebih dia takutkan dari sekadar dimarahi oleh Direktur Rian, yaitu Rafa. Bertemu dengan Rafa sama saja mengorek luka lama.
Di dalam ruangan, Myesha mondar-mandir tak jelas. Sesekali ia mengigit ujung jarinya cemas. Haruskan ia mengurung diri di dalam ruangan seharian ini, sementara ia punya tugas terhadap pasien? Myesha dilema. Ia takut berpapasan dengan Rafa. Baginya Rafa telah mati dalam wujud fisik, tapi tidak untuk hatinya. Diam-diam Myesha menyimpan rasa itu di hati kecilnya, meski dia selalu mengingkari dan berkata dia telah bangkit.
"Dokter Mye." Suara ketukkan pintu itu membuat Myesha lemas. Ia tahu Sherla akan datang memanggilnya.
"Gue sakit perut, Sher," dustanya.
"Tapi Dokter ditunggu untuk operasi sekarang juga. Kita kan sudah menjadwalkan pasien operasi hari ini jam 10, apa Dokter lupa?"
Sumpah demi apa saja, Myesha tidak mungkin melupakan itu. Tapi sekali saja dia keluar, kemungkinan bertemu dengan Rafa akan lebih besar. Dan ia tidak ingin itu terjadi.
"Serius, Sher, gue lagi sakit perut. Bagaimana bisa dokter mengoperasi pasien, padahal dokternya sendiri sedang sakit?" Masih saja Myesha bernegoisasi, sementara Sherla di depan ruangan bingung sendiri. Apa yang harus ia lakukan?
"Apa Dokter datang bulan? saya belikan obat dulu ya." Ingin rasanya Myesha mengutuk Sherla jadi kodok agar berhenti bertanya dan mencari solusi agar ia mau keluar dari ruangan.
"Nggak usah. Lo duluan aja, nanti gue nyusul." Myesha menyerah. Seribu alasannya tak akan meluluhkan siapapun. Ia harus berani menerima kenyataan, bahwa dirinya akan bertemu Rafa kembali cepat atau lambat.
Dibukanya pintu ruangan dengan mata yang was-was. Diliriknya kirin dan kanan, waspada akan Rafa. Berjalan ke ruang ganti pakaian pun Myesha harus lari terbirit-birit seperti dikejar hantu. Ia memakai seragam operasi berwarna biru dengan masker dan topi penutup kepala, lengkap. Tak ada pilihan, selain menghadapi situasi.
Sebelum operasi Myesha harus steril dengan mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum masuk ruang operasi. Tujuannya agar mengangkat tanah, kotoran, minyak, lotion dan mikroorganisme dari tangan dan lengan. Ia mulai membuka air kran dan membiarkan tangannya terbasuh di bawah aliran air, kemudian dibersihkannya bawah kuku jari secara teliti. Setelahnya Myesha menyingkat tangannya kurang lebih dua menit. Usai semua dilakukan, Myesha masuk ke dalam ruang operasi dengan perasaan tak tenang, tetapi ia harus profesional terhadap tugasnya sebagai dokter.
Myesha menutup matanya rapat, berdoa. Semoga operasi orthopaedi/bedah tulang kali ini berjalan lancar. Ia bisa melakukan tugas sebagaimana mestinya, tanpa harus mencampuradukkan hati dan urusan kerjaan.
***
Usai melakukan operasi, Myesha keluar dengan hati yang lega. Operasinya berlancar sukses. Syukurlah, Myesha bisa mengatasi masalah hati yang sempat membelitnya. Walaupun ia tahu, cepat atau lambat ia akan bertemu dengan Rafa karena berkerja di rumah sakit yang sama.
"Dokter Myesha." Direktur Rian memanggil. Myesha sudah tak takut lagi jika si Dirut memakinya karena sedikit terlambat datang ke ruang operasi.
"Iya Pak. Maaf tadi saya datang terlambat." Dengan kesadaran diri penuh, Myesha duluan meminta maaf sebelum kena semprot.
"Bukan itu yang mau saya sampaikan."
"Iya, ada apa Pak?" Tanyanya masih gugup.
"Dokter Rafa mengajak departemen bedah umum untuk ikut makan siang karena sudah menyambutnya tadi pagi." Cepat Myesha menelan ludahnya. Tak bisakah ia menghindar dari Rafa barang sebentar saja? Jujur, Myesha belum siap bertatap muka dengan mata yang ia rindukan.
"Tapi saya ada janji keluar sama teman, Pak" Kali ini Myesha tidak berbohong, ia memang ada janji dengan Faran, meski dia belum tahu bisa datang atau tidak.
"Sekali ini saja Dokter Mye. Tak ada salahnya kan? toh biar kita semakin akrab dengan dokter yang baru bertugas di sini." Rasanya itu tidak perlu Myesha lakukan, karena ia sudah mengenal Rafa melebihi yang lainnya. Tetapi karena menghormati Direktur Rian sebagai kepala rumah sakit, jadilah Myesha mengangguk meski itu terpaksa.
Disela perjalanan menuju restoran tempat Rafa mengundang, ponsel Myesha berdering. Nama Faran muncul di layar yang kedap-kedip karena bergetar. Ditolehnya Direktur Rian yang duduk bersebelahan dengannya di kursi belakang. Kebetulan, Myesha dan Direktur datang bersama. Awalnya Myesha menolak, tak nyaman dengan rekannya yang lain. Tapi atas permintaan si Dirut, akhirnya Myesha setuju. Kapan lagi ia bisa semobil dengan orang yang paling dihormati di rumah sakit tempatnya berkerja.
"Hallo, Ran." Sahutnya tak enak.
"Di mana Bu Dokter? lo serius lagi sibuk?"
"Maaf ya, Ran. Gue nggak bisa datang."
"Apa ada yang lebih penting dari sekadar ketemu gue, Dokter Mye?"
Myesha terdiam. Jika sudah begitu pasti Faran kecewa. Yang herannya cowok itu tak pernah marah, mengumpat Myesha pun tak pernah. Paling marahnya hanya bercanda selebihnya selalu senyum. Andai Myesha disuruh memilih, mungkin ia akan memilih jatuh cinta pada Faran ketimbang Rafa yang sulit bersatu dengannya.
"Gue minta maaf, Ran. Lo jangan salah paham."
"Kapan gue salah paham? bahkan gue selalu memahami lo, Mye."
"Maaf," ujarnya lirih.
"Heh, Dokter cantik dilarang nangis. Lo bawa mobil tadi. Pulang kerja gue jemput ya."
"Gue nggak nangis. Buat apa nangisin lo."
"Ya, gue tahu. Gue nggak penting buat lo. Udahlah, nanti sore gue jemput. Lo nggak tugas malam kan?"
"Nggak, jemput aja."
"Baiklah, Nona. Udah ya, gue mau cuci mata, siapa tahu ketemu cewek seksi di sini kan lumanyan."
"Orang gila." Faran hanya tertawa tidak menanggapi, dimatikannya telepon yang terhubung dengan Myesha lalu ia menunduk sedih seraya mengaduk minumannya.
Sampai di restoran, Myesha bersembunyi dibalik badan Direktur Rian. Jujur saja jika ada jurus menghilang, maka Myesha sudah melakukannya agar tak bertemu dengan Rafa.
"Pak, siapa yang ada dibelakang Anda?" Tegur Rafa penasaran.
"Dokter Mye, jangan sembunyi dibelakang. Silakan perkenalkan diri." Myesha menggeser posisinya menjadi bersebelahan dengan Direktur Rian. Diangkatnya wajah panik itu menatap tamu yang hadir disana termasuk pemilik acara, Dokter Rafa.
"Selamat siang, Dokter Rafa," ujarnya dengan nada yang gemetar.
"Perkenalkan ... saya Dokter Myesha Karindra dari departemen bedah umum. Senang bertemu dengan Anda." Ia hanya berusaha profesional. Tidak mungkin ia akan menambah kata 'Lagi' diakhir kalimat. Semua mata bisa tertuju padanya dan menanyakan maksud ucapan Myesha, biarlah itu menjadi urusan pribadi mereka.
Gelas yang ada di tangan Rafa jatuh begitu saja ke lantai. Semua yang ada di sana tersentak kaget. Ada apa dengan Rafa sebegitu terkejutnya melihat Myesha? apakah dia juga baru tahu bahwa tempatnya berkerja ada Dokter mantan pengisi hatinya?
"Dokter Rafa, Anda baik-baik saja 'kan?" Tanya salah satu rekan mereka.
"Sepertinya Dokter satu ini, terpesona melihat kecantikan Dokter Myesha." Oh, Sherla. Apa yang dia katakan membuat keduanya malu. Bahkan Myesha menatap tajam ke arah Sherla yang langsung menunduk, menghindari.
Kalau boleh jujur, Myesha benci melihat wajah Rafa lagi. Tapi hatinya berkata lain. Lalu mana yang lebih mendominasi di antara keduanya, Love Or Hate? Yang jelas, Myesha tak bisa membedakan. Kedua rasa itu tercampur jadi satu. Rafa yang meminta untuk melupakan semuanya, tapi kenapa ia yang datang lagi mengusik, itulah yang Myesha benci.
"Ah, saya baik-baik saja. Silakan duduk Dokter Myesha."
Selama makan siang berlangsung, baik Rafa atau Myesha yang duduk berhadapan, malas-malasan menyentuh piring nasinya. Tidak ada yang berani mendongak, keduanya sama menunduk. Rafa dengan pikirannya sendiri, begitu juga Myesha.
"Dokter Rafa, Dokter sudah punya pacar belum?" Pertanyaan Sherla yang ingin tahu itu membuat Myesha jengah. Berharap Rafa tidak mengatakan hal apapun yang akan berdampak padanya.
"Belum."
Jawaban itu sontak melegakan hati Myesha. Tetapi di sisi yang lain, benci juga menyelimutinya. Kegenitan Sherla yang mengelayuti Rafa membuat Myesha benar-benar ingin mengutuknya jadi kodok. Semoga saja Rafa tidak tergoda oleh rayuannya. Lagi pula Sherla bukan saingan yang tepat untuknya. Meski cantik, Sherla sedikit lemot. Dan dia bukanlah tipe Rafa.
"Tapi mantan punya 'kan, Dok?"
Ya Tuhan, Sherla. Andai saja di sini tidak orang, pasti Myesha sudah menyeretnya jauh-jauh dari hadapan Rafa, agar mulutnya itu berhenti berkicau.
"Punyalah. Masa orang sekeren saya nggak punya mantan." Cih, ingin Myesha berludah saat mendengar Rafa mengagungkan dirinya sendiri. Ya, walaupun kenyataannya Rafa itu keren. Jika disandingkan dengan artis korea, mungkin sama keren dengan Lee Jong Suk.
"Dokter Mye jomblo loh Dok."
"Sherla!" Myesha melototkan matanya ke arah Sherla yang tingkat kelemotannya overdosis. Apa maksudnya menyebut Myesha di depan mantan kekasihnya seperti itu? Andai Myesha juga bukan mantan Rafa, ia tak ingin dipromosikan dengan cara yang murahan seperti itu. Memalukan.
"Kenyataannya kan begitu Dok. Oh, iya tadi Dokter bilang sakit perut, apa sudah minum obat?" Sontak arah pandang Rafa beralih ke Myesha. Kedua mata itu akhirnya bertemu dan sama-sama canggung.
"Saya nggak papa Sherla." Kalau di luar atau sedang bersama dokter lain, Myesha tidak mungkin memanggil dengan sebutan lo, gue, itu sama saja tidak sopan.
"Syukurlah, Dok." Myesha hanya bisa senyum-senyum mengutuk pada Sherla yang sama sekali tidak merasa bersalah.
Usai acara makan-makan, Direktur Rian pamit tidak bisa mengantar Myesha kembali ke rumah sakit karena ada urusan mendadak. Jadilah ia kelimpungan sendiri di depan restoran. Direktur Rian tidak mengatakan dari awal, jika saja Myesha tahu lebih dulu pasti dia sudah menumpang Sherla tadi. Sekarang, semua sudah balik ke rumah sakit dan hanya tersisa si mantan yang tak ingin Myesha ajak bicara.
Keluar dari restoran setelah membayar, langkah Rafa terhenti melihat Myesha yang masih betah berdiri di sana. Ia ragu, harus mendekat atau berpura tak melihat. Jika Myesha tak ingin terlibat komunikasi di antara mereka, itu juga yang Rafa inginkan. Tetapi dalam keadaan seperti ini, Rafa harus mengesampingkan ego. Bagaimana pun Myesha sedang butuh bantuan, meski ia tahu kemungkinan buruk terjadi.
"Belum balik?" Myesha melirik sekilas lalu kembali pada pemandangan jalan. Di saat genting seperti ini, ia malah berharap Faran yang datang bukan Rafa.
"Belum."
"Ikut mobil gue aja." Tawarnya ramah.
"Setelah lo suruh gue lupain semuanya, sekarang dengan gampang lo suruh gue ikut satu mobil sama lo. Otak lo di mana?" Myesha meledak-ledak, dihadapan Rafa emosinya tak terkontrol.
"Gue nggak ngajak lo ribut. Kalau lo masih mau di sini silakan." Myesha menghentakkan kakiknya kesal. Kenapa harus Rafa, kenapa bukan yang lain yang mengajaknya? kalau sudah begini Myesha takkan punya pilihan.
"Gue ikut," putusnya.
"Ayo."
Di dalam mobil, mereka tidak saling bersuara. Rafa memilih fokus pada kemudinya dan Myesha sibuk meneliti jalan. Rasa canggung di antara mereka memang wajar, bertahun lamanya tak bertemu dan sekarang kembali bertatap muka dengan status yang berbeda, meski keduanya sama-sama menjomblo.
"Mye."
"Hmmm."
"Lo nggak mau nanya kabar gue?"
"Buat apa? buat apa gue nanya kabar lo, memangnya lo nanya kabar gue, nggak 'kan?"
"Apa kabar Mye? gue harap lo sehat."
"Gue sehat Rafa, gue baik-baik aja," ujar Myesha tegas.
"Mata lo nggak bisa bohong, lo masih natap gue pakai cinta."
"Gue udah punya calon suami, dan kalau pun harus ada yang gue tatap dengan cinta, itu bukan lo orangnya!"
Apa yang sudah Myesha katakan, itu hanyalah dalih agar Rafa tidak terlalu percaya diri kalau Myesha masih punya cinta untuknya. Myesha tidak ingin Rafa tahu, dan membuat mereka kembali terjerat. Lagi-lagi Faran harus terseret dalam masalah ini, jika lelaki itu tahu dia pasti kecewa. Myesha sudah membuat alibi atas dirinya tanpa ijin. Sejak kapan Myesha mau mengakui kalau Faran adalah calon suaminya. Bahkan ketika dibahas soal pernikahan, Myesha selalu beralasan.
"Sherla bilang lo jomblo, sekarang lo bilang punya calon suami, sekarang gue harus percaya siapa?"
"Percaya pada yang harus dipercaya."
"Lo bohong."
"Nanti sore gue kenalin kalau lo nggak percaya. Dia lebih tampan dari lo."
"Sampai hari, gue masih yakin. Myesha Karindra masih cinta sama gue." Percaya diri Rafa memang patut diacungin jempol. Tebaknya tepat sasaran.
"Percaya diri lo memang tingkat dewa."
"Karena mata lo gk bisa bohong. Mulut lo boleh aja bilang begitu. Tapi hati lo, siapa yang tahu?"
Setibanya di parkiran rumah sakit, Myesha segera turun tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Hei, di mana letak kesopanan Anda Dokter Myesha?" Masih dari dalam mobil, Rafa berteriak pada Myesha yang belum jauh melangkah.
"Terima kasih, Dokter Rafa atas tumpangannya. Puas lo?"
Rafa tidak menjawab. Gadis yang ia cintai memang banyak berubah. Dulu Myesha tipe orang yang sedikit-sedikit menangis jika ada masalah. Dan sepertinya Myesha mengingat betul pesan Rafa untuk jadi perempuan yang tahan banting. Sekarang masalahanya, gadis itu berada di antara cinta dan benci lalu siapakah yang lebih mendominasi hatinya? Love Or Hate?
###
Terima kasih buat yang udah baca dan voment...
Next Chapter bakal sedikit lama karena kuota authornya habis hahahaha... Kalau ada yang nunggu harap sabar yaa
Samarinda, 30 September 2016
Salam sayang
Mpi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top