Janji Yang Terikrar

Berat. Itu yang Myesha rasakan. Menerima persahabatan dengan Rafa entah mengapa melukai hatinya. Kata sahabat tidak nyaman terdengar di telinganya. Dan masa-masa lampau kembali terpatri dipikirannya. Bisakah Myesha hanya sekadar bersahabat dengan Rafa. Atau bahkan ia yang akan duluan menabrak janji yang telah terikrar. Ah-- Myesha bisa gila jika terus memikirkan hal yang akan menguasai sebagian otaknya.

Pagi sekali ia sudah melayang ke rumah sakit karena ada panggilan darurat. Ada pasien yang harus sesegera mungkin ia operasi. Hasil Rontgen menunjukkan bahwa pasien mengalami cidera di bagian bahu kiri hingga menyebabkan patah tulang. Biasanya kasus seperti ini akan diambil tindakkan operasi yang biasa disebut ORIF (Open Reducation Internal Fixation) tujuannya untuk pengembalian tulang yang patah ke tempat semula dan pemasangan pen.

"Dokter Mye."

Sherla lari tergopoh-gopoh mengejar Myesha yang sedang berjalan menuju ruangannya. Sontak, dokter cantik itu menoleh ke asal suara yang terdengar dari arah belakang. Didapatinya Sherla dengan wajah kusut sambil berlari ke arahnya sedikit lebih cepat. Sudah tabiatnya menganggu Myesha setiap hari. Tidak heran, mengingat Sherla satu departemen dengan Myesha sebagai dokter bedah umum, meskipun Sherla masih junior dan hanya menjadi asisten saat operasi berlangsung.

"Dok, soal pasien." Myesha mempersilakan Sherla melanjutkan laporannya dengan anggukkan kepala.

"Selain cidera patah tulang, pasien juga mengalami pendarahan otak. Kita harus bekerja sama dengan departemen bedah syaraf, Dok." Mendengar itu, Myesha menghela napas. Apa hidupnya harus selalu berkaitan dengan Rafa. Bahkan soal pasien saja mereka harus berkerja sama.

"Hubungi mereka. Kita perlu diskusi sebentar untuk menentukan siapa yang akan melakukan operasi duluan."

"Yang akan memimpin operasi Dokter Rafa, Dok. Saya sudah bilang tadi, jadi Dokter ditunggu di ruangannya."

"Sepertinya bicara kita hari ini formal sekali Sherla."

"Lagi tegang Dok."

"Tegang kenapa?"

"Coba aja saya di departemen bedah syaraf. Ah, saya pasti sudah jadi asisten Dokter Rafa. Bisa dibayangin Dok. Selama operasi bukannya jenuh, malah betah liat ketampannya." Tatapan Myesha ke Sherla bagai orang yang ingin memakan manusia bukan lagi mengutuknya jadi kodok. Bisanya ia berkata seperti itu. Hanya karena dokter tampan, Sherla seperti menyesal berada di departemen bedah umum. Keterlaluan.

"Kalau gitu lo jadi asistennya Rafa aja sana. Atau lo kuliah ulang biar bisa jadi asisten dia. Dasar genit."

"Ah ... Dokter."

Myesha sudah tidak menghiraukan ocehan Sherla lagi. Ia berjalan menuju ruangan Rafa. Ini adalah hari kedua Rafa bekerja dan dia mendapat keistimewaan memimpin operasi, sungguh luar biasa. Sepagi ini, Myesha sudah harus melihat wajah yang antara diharapkan dan tidak. Kalau saja ini bukan soal pekerjaan, Myesha pasti sudah menghindar lagi. Myesha tidak ingin jatuh ke lubang yang sama. Dengan mencintai Rafa lagi, ia takut kembali terluka. Trauma masa lalu terus membayang dalam benaknya. Ia benci ditinggalkan.

"Selamat pagi, Dokter Rafa." Wajah tampannya terlihat begitu segar pagi ini. Tatapannya membius bak arjuna pencuri cinta. Myesha tak bisa berkutik ketika Rafa menatapnya seperti itu. Bahkan matanya tak mampu berkedip, ia hanya bisa melongo layaknya orang bodoh.

"Dokter Myesha. Apa anda sebegitu terpesona dengan ketampanan saya hingga tidak bisa berkedip?"

Buru-buru Myesha berpaling ke arah lain, salah tingkah. Kejadian barusan seakan mempermalukan dirinya sendiri. Lihatlah Rafa tersenyum licik seolah penuh kemenangan. Myesha tak menapik, ia kembali terpesona dengan Rafa versi dewasa. Penampilannya yang lebih rapi, dan gayanya yang banyak berubah tak ayal membuatnya terbius. Bodohnya Myesha tak bisa mengontrol diri saat berada di depannya. Seharusnya, Rafa-lah yang terpesona dengan kecantikkannya. Jangan sampai sebaliknya. Myesha akan merasa kalah, walau tak pernah ada lomba sebelumnya.

"Tolong jangan bawa urusan pribadi dalam konteks pekerjaan. Saya datang ke sini cuma mau tanya. Siapa yang akan melakukan operasi duluan?"

"Pasien mengalami pendarahan otak. Sebaiknya departemen kami yang lebih dulu. Setelahnya baru departemen kalian. Patah tulangnya tidak terlalu serius, jadi lo bisa istirhat dulu."

"Kalau begitu, saya permisi."

"Mye. Lo udah janji kita jadi sahabat. Kenapa sikap lo masih kayak mau musuhan gitu?"

Myesha tidak tahu harus bersikap seperti apa. Ia hanya mengikuti apa yang dia mau. Bermanis-manis kata pada Rafa hanya akan memicu cinta lama semakin kembali bersemai. Semua yang Myesha lakukan tidak akan ada gunanya selama mereka masih bertemu bahkan bertatap muka seperti sekarang. Butuh waktu bagi Myesha untuk menyesuaikan diri sebagai sahabat Rafa. Ini tidak mudah untuknya, setelah bertahun-tahun tak jumpa sekali bertemu harus merubah posisi dari mantan menjadi sahabat. Secara akal sehat saja yang namanya mantan pasti pernah mencintai dan tak bisa dipungkiri jika sisa cinta akan timbul jika intens bertemu.

"Terus lo mau gue bersikap gimana?"

"Jangan jutek. Kita memang mantan, tapi perpisahan nggak boleh buat kita saling benci."

"Gue nggak benci sama lo."

"Jadi cinta?"

"Gue juga nggak cinta sama lo." Jawaban Myesha ambigu. Semakin membuat Rafa tidak mengerti dengan yang ia rasakan.

"Terus?"

"Biasa aja. Nggak ada yang spesial."

"Lo pikir nasi goreng pakai spesial segala. Udah deh, siap-siap operasi aja. Pusing gue sama lo."

"Minum bodrex kalau pusing." Dibantingnya pintu ruangan Rafa cukup keras. Melampiaskan marahnya pada benda tak bersalah itu. Bukan hanya Rafa yang pusing, jika terus begini rumah sakit jiwa harus siap menampungnya.

***

Di dalam ruangan, Myesha meletakkan tasnya di sudut kursi. Duduk sebentar di sana sambil mengusap-ngusap wajahnya. Dia menyesal, kenapa harus berkerja di sini. Coba saja ia memilih rumah sakit lain, pasti ia takkan bertemu Rafa. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Myesha harus berterima kasih atau mengumpat atas nasibnya yang seperti ini. Cinta dan benci masih saja menguasai dirinya yang bimbang. Myesha membenci Rafa dalam cintanya, lalu apa yang harus ia lakukan dalam ikrar persahabatan yang sudah mereka janjikan. Apa jika sikap Myesha berubah baik, semua keadaan akan mengikuti. Myesha hanya takut ia kembali terjebak dalam cinta yang nyaris hanya sisa. Dia tak ingin kembali masuk terlalu dalam ke sana apabila hanya menyakiti hati lebih baik tak usah sama sekali.

Sebelum Myesha beranjak ke ruang ganti baju operasi, ponselnya berdering. Nama Faran jelas tertera di muka layar. Sepagi ini, lelaki itu sudah menelepon. Bisa dibilang Faran jauh lebih perhatian pada Myesha dibanding Rafa saat masih pacaran. Rafa terbilang cuek, memberi kabar seingatnya saja. Ia lebih suka bertemu secara langsung, soal komunikasi ia terbilang minus di mata Myesha dan Faran-lah pemenangnya. Tapi sayang, lelaki baik itu tidak seberuntung Rafa yang mendapatkan cintanya.

"Halo," sahutnya malas-malasan.

"Kenapa tuh suara kayak gitu?" Telinga Faran diakui Myesha lebih tajam dari pisau dapur. Ia penebak yang sangat jitu. Dari mulai nada suara, raut wajah sampai cara berjalan, Faran akan tahu bahwa Myesha sedang dalam keadaan tidak baik.

"Lagi kesel. Masa pagi-pagi udah ketemu sama Rafa."

"Kesel apa senang?"

"Kesel." Myesha menekan ucapannya membuat Faran terkekeh di ujung telepon.

"Masih pagi, Bu Dokter. Jangan kesal-kesal nanti menyesal."

"Faran, kita nikah aja yuk."

"Hah? lo gila apa kerasukan setan?"

"Iya gue gila, puas lo!"

Faran ketawa terpingkal-pingkal dalam ruangan besarnya yang kedap suara. Di kursi besarnya Faran tertawa sambil memegangi perutnya. Dua orang tak waras bertemu di pagi hari membuat suasana yang tegang tiba-tiba mencair.

"Ah ... Faran, lo ketawa mulu."

"Yang habis lo ngajakin gue nikah, kan lucu."

"Kalau gue serius gimana?"

"Gue nggak mau nikah sama orang yang nggak cinta sama gue, walaupun gue cinta sama dia." Ya, Faran benar. Mana ada orang yang mau menikah dengan orang yang tidak mencintainya, jika adapun orang itu adalah orang yang egois. Memikirkan perasaannya sendiri, tanpa peduli pada hati pasangannya. Membangun rumah tangga harus-lah dilandasi cinta. Jika hanya satu yang mencintai, pondasi itu takkan kuat.

"Ran, gue malas ketemu dia." Rengeknya di telepon.

"Lo tutup aja mata lo."

"Faran gue serius." Bentaknya tak suka.

Apa yang mau Faran tanggapi. Solusi saja ia tak punya. Bahkan saran itu hanya akan mencipta luka di hatinya. Tidak ada cara yang dapat Myesha lakukan selain menghadapi Rafa layaknya seorang sahabat.

"Lo hadapi dia. Percuma lo nghindar. Lo nyungsep di bawah ketiak gue juga dia bakal tetap tahu. Bersikaplah biasa aja. Kalau lo kayak gitu, lo malah ketahuan masih cinta sama dia."

"Iya deh. Doain operasi gue lancar ya Ran."

"Siap Bu Dokter. Lo udah sarapan?" Perhatian-perhatian kecil dari Faran tak pernah lepas meski sekali saja. Apapun perasaan Myesha ia tak peduli. Baginya Myesha adalah sosok wanita yang harus ia lindungi entah sebagai apa.

"Belum. Gue harus ke ruang operasi sebentar lagi. Nunggu Rafa nyelesain operasinya dulu." Meski tak cinta, Myesha suka bermanja-manja pada Faran. Dan Faran sendiri juga tidak merasa keberatan, justru sikap Myesha itu membuat ia merasa kalau dokter bedah umum itu adalah kekasihnya.

"Lo nggak laper?"

"Laper sih. Lo nggak bawain gue makan. Lo kan pinter masak."

"Alah ... bilang aja lo mau gue masakin." Spontan Myesha cengar-cengir saat alibinya bisa ditebak Faran. Jika saja mereka sepasang kekasih, pasti sudah menjadi pasangan yang ideal.

"CEO lo suruh masak-masak. Emang kurang dihajar lo Mye." Tawa Myesha makin meledak. Omelan Faran sudah mirip ibu-ibu yang memarahi anaknya, cerewet.

"Kapan lagi gue dimasakin sama seorang CEO muda, tampan dan kaya raya," ujarnya bangga.

"Idih ... untung cinta. Kalau nggak, udah gue buang ke mulutnya harimau."

"Walaupun gue nggak cinta sama lo. Tapi gue sayang sama lo Ran sebagai sahabat gue. Jangan pernah pergi, karena gue butuh lo buat bersandar."

"Ogah gue."

"Farannn!"

Tawa mereka sama-sama memecah ruangan di tengah sunyi. Trik jitu Faran saat merasa kecewa ialah bercanda dengan Myesha. Ia tak ingin lemah dengan menangis di depannya. Padahal diam-diam dalam shalatnya, Faran mengadu pada Allah. Biar begitu Faran lumanyan rajin melaksanakan salat. Meski di lain waktu juga lalai mengerjakan, sebagai manusia yang suka khilaf itu tak bisa dibenarkan. Tapi kembali lagi, dosa ditanggung masing-masing.

"Lo lama operasinya?"

"Kurang lebih 45 menit. Kenapa?"

"Gue masak dulu ke apartemen. Nanti gue bawain ke sana. Makan di mana kita?"

"Tempat biasa. Di kantinnya Bik Sarti buat pesan minum doang. Kan makanannya udah ada."

"Pinter. Udah sana siap-siap operasi. Kelamaan nelepon lo pulsa gue habis."

"Sialan lo. CEO macam apa yang takut pulsanya habis."

"CEO hemat kayak gue lah."

"Prettt."

"Ya udah, sampai ketemu Sayang," ujar Faran jahil.

"Sayang mata lo peyang."

Begitulah keduanya. Kalau orang awam melihat pasti dikira pacaran. Padahal mereka tak lebih dari seorang teman yang saling menghibur. Andai Myesha punya rasa cinta, bukan lagi pacaran, mungkin Faran akan sesegera mungkin menikahinya. Semua watak Myesha nyaris diketahui Faran begitu juga sebaliknya. Apa yang perlu orang-orang ragukan terhadap mereka jika sudah seperti itu.

***
Selesai operasi, Rafa mencegat langkah Myesha. Sontak gadis itu terkejut melihat Rafa tiba-tiba menyetop jalannya dan nyaris bertabrakkan fisik. Jantung keduanya sama berdebar. Mata mereka bertatapan penuh cinta. Lengah, Rafa menarik tangan Myesha untuk ke ruangannya. Janji yang terikrar lamban laun akan dihianati oleh perasaan cinta itu sendiri.

"Apaan sih? sakit tangan gue." Myesha berusaha menarik tangannya dari cengkraman Rafa. Sampai tiba di ruangannya Rafa menyuruh Myesha duduk.

"Gue buatin teh ya."

"Nggak usah. Gue mau makan sama calon suami gue." Siapa yang hatinya tak retak jika diintimidasi seperti itu. Rafa yang awalnya ingin menuju dispenser hanya bisa terdiam dalam posisi berdiri membelakangi Myesha.

"Apa nggak ada kesempatan buat gue?" Tanyanya lembut.

"Lo udah janji semalam."

"Mye, dengarin gue." Rafa berlutut dihadapannya sambil memegangi kedua jerami Myesha sangat erat.

"Lo ingat, lo bilang akan mati kalau hidup tanpa Rafa. Waktu itu pertama kalinya Papa lo ngelarang kita buat pacaran."

"Ingat." Jawab Myesha seadanya. Tangan yang terulur bertautan erat dengan tangan Rafa membuat Myesha gugup. Seperti dilanda jatuh cinta pertama kali.

"Lo bilang, Rafa adalah napas lo. Bagaimana sekarang lo bisa bernapas dengan nyaman, kalau lo menghianati hati lo sendiri."

"Lo masih ingat 'kan semua janji yang pernah lo ikrarkan dulu. Gue ninggalin lo karena gue punya alasan Mye. Bukan karena kemauan gue."

Myesha sudah tak tahan membendung air yang tergenang di sudut matanya, ia menangis. Enggan menatap sorot mata Rafa hingga ia hanya bisa menunduk. Meratapi kejadian yang sudah-sudah. Myesha memang tak pernah tahu apa alasan Rafa. Apapun itu yang jelas Myesha sakit hati ditinggalkannya.

"Sekarang lo nangis. Lo jangan bohong. Masih sayang 'kan sama gue, masih cinta 'kan?" Pelan, Rafa mengangkat dagu Myesha untuk menatapnya. Ia hapus perlahan air mata yang berjatuhan di pipi Myesha.

"Apa alasan lo ninggalin gue?" Masih dalam isakkan, Myesha berusaha mencari tahu penyebab Rafa meninggalkannya.

"Gue nggak bisa ngasih tahu lo." Tiba-tiba Rafa melepas tangan mereka yang saling bertautan. Mimik wajahnya berubah drastis.

"Apa yang lo sembunyiin dari gue Rafa?"

"Bahkan lo nggak jawab pertanyaan gue Mye. Lo masih cinta 'kan sama gue?"

Keduanya bersikukuh pada pertanyaan masing-masing, tak ada yang mau mengalah. Rafa penasaran soal perasaan Myesha dan Myesha ingin tahu apa yang Rafa sembunyikan darinya.

"Gue bakal kasih tahu, kalau lo bilang apa alasan lo ninggalin gue." Rafa mengacak rambutnya. Jika ia mengatakan kebenaran, apakah Myesha masih mau menatap matanya atau sekadar memanggil namanya saja mungkin Myesha akan muak.

"Gue nggak bisa kasih tahu lo sekarang."

"Terus kapan lo mau ngasih tahu gue?"

"Biar Papa lo yang jelasin."

Hal yang paling Myesha benci adalah mendengarkan penjelasan Papanya. Arfan Lubis susah diajak kompromi. Bisa-bisa Myesha akan ribut lagi dengan Papanya soal ini. Kalau ia mencari kebenaran sendiri, pasti yang ia temui hanya jalan buntu. Kunci dari persoalan ini hanya ada dua orang, Rafa dan Papanya.

"Gue kangen sama lo, Mye." Terkesiap Myesha menerima pelukan Rafa yang tiba-tiba. Betapa besar kerinduan dan rasa bersalahnya semenjak kejadian itu. Tapi semua tak bisa disesali. Memberitahu Myesha ketika itu hanya akan menabuh perang benci di antara mereka.

Dalam pelukkan mereka, Myesha tak menolak. Ia hanya terdiam, merasakan hangat pelukkan Rafa tanpa mendekap punggung sang lelaki. Kedua tangannya masih setia terjuntai di samping kakinya yang tertekuk karena duduk di sofa. Sementara Rafa semakin membenamkan wajahnya di pundak Myesha tanpa peduli wanita itu belum membalas pelukkannya.

"Kalau lo sakit hati, gue juga sakit hati Mye. Waktu itu berat banget ninggalin lo rasanya. Berbulan-bulan gue nggak enak makan, cuma mikirin lo aja."

"Bisa lepasin nggak pelukkannya. Nggak enak ini di kantor." Myesha bernapas lega, jantungnya yang nyaris melorot ke perut membuatnya ingin teriak. Untung Rafa tidak merasakan jantung Myesha yang berdebar-bedar, kalau dia tahu tamatlah riwayatnya.

"Sahabat." Rafa mengulurkan tangannya tanda ingin bersalaman.

"Sahabat." Ucapannya diulangi Myesha yang sambil berdiri menjabat tangan Rafa. Ya, mungkin sekarang lebih baik hubungan mereka diawali dengan persahabatan. Rafa juga takut kalau Myesha tahu yang sebenarnya, gadis itu akan terluka dua kali, bahkan bisa jadi lebih parah dari sebelumnya.

"Lo mau keluar?"

"Ya, mau ketemu Faran. Tadi kita janjian. Lo mau ikut?" Tawarnya mulai terbiasa bersikap sebagai sahabat.

"Boleh. Ayo."

Keluar dari ruangan Rafa, para dokter yang lain saling lirik-lirikkan ketiak Rafa dan Myesha jalan bersampingan. Bahkan tak jarang ada yang menggosip. Myesha hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan dokter dan suster yang diam-diam membisikkan namanya dari telinga ke telinga yang lain. Mata mereka menatap penuh tanya, ada apa gerangan Myesha dan Rafa hingga begitu akrab. Padahal dokter Rafa baru saja bekerja di sini. Tak peduli dengan itu Myesha tetap berjalan mantap. Apapun yang mereka katakan, Myesha akan menutup telinga rapat, berjalan tegak ke depan tanpa tengok kanan dan kiri. Hanya melihat ke bawah jika ada lubang ia bisa menghindar.

"Dokter Sherla." Panggil Rafa mengejutkan. Sherla yang baru saja melakukan kunjungan kepada pasien, menoleh cepat ketika si dokter tampan memangilnya. Cepat-cepat Sherla berjalan ke arah mereka sembari senyum-senyum kesenangan.

"Ikut kita makan yuk."

"Hah ... Dokter ngajak saya?"

"Iya." Sontak Sherla mencak-mencak kesenangan. Kedua belah telapak tangannya ia kepal lalu ujung-ujung jarinya ia gigit dengan gemas. Myesha yang melihat itu geli tertawa. Baru kali ini ia melihat dokter seperti Sherla. Sama sekali tak pantas menjadi saingannya. Kalau Rafa memilih Sherla sebagai pengganti, Myesha bukannya cemburu tapi merasa aneh.

"Dokter, apakah ini bisa saya sebut dengan kencan?" Mata Myesha seperti ingin keluar dari tempatnya mendengar pertanyaan Sherla. Kencan katanya.

"Sherla, lo ini dokter. Bisa jaga sikap sedikit nggak. Gue heran kok lo bisa lulus jadi dokter sih."

"Karena saya pintar, Dok." Sedari tadi Sherla terus menempel di sisi Myesha. Berbisik-bisik supaya Rafa tak mendengar. Nyatanya suara Myesha yang menyahut keras membuat Rafa kadang tertawa.

Sampai akhirnya mereka tiba di kantin, Faran sudah menunggu di sana. CEO muda, kaya raya dan tampan seperti Faran rela membawa rantang ke kantin demi seorang dokter bernama Myesha. Luar biasa. Sepertinya Myesha harus bertepuk tangan untuk kesungguhan cinta Faran. Patut ia acungi jempol, Faran mengesampingkan statusnya yang terpandang demi merendah di hadapannya.

"Keren. Calon suami idaman." Myesha mengedipkan mata genitnya pada Faran. Ia pikir, ini akan jadi moment berduanya dengan Myesha. Tahu-tahu ada dua obat nyamuk yang datang di antara mereka.

"Aku kira kamu sendiri, Sayang." Faran mulai memainkan perannya sebagai calon suami. Dalam hati Myesha mengumpat, geli mendengar Faran memanggilnya sayang. Padahal dibelakang Rafa mereka akan berantem unyu.

"Sayang? jadi Dokter Myesha sama cowok ini pacaran?"

"Bukan pacaran, tapi cowok ini calon suaminya Sherla." Potong Rafa cepat.

"Jadi ... Dokter Rafa sama Dokter Myesha nggak ada apa-apa kan?" Keduanya sama-sama menggeleng lemah dengan mata yang menyedih.

"Yes ... Yes ... Yes. Ah ... itu artinya saya punya kesempatan jadi pacar Dokter Rafa. Allah memang baik sama saya. Ah, senangnya."

"Sherla lo ini dokter macam apa sih. Sudah gue bilang 'kan, jaga sikap lo, jangan kayak anak kecil deh." Myesha lama-lama jengah dengan kelemotan Sherla. Ia persis anak-anak yang dibelikan permen karet oleh orang tuanya. Apa dia tidak malu dilihat orang-orang di kantin. Dia itu dokter, tidak bisakah bersikap lebih elegan sedikit.

"Maaf, Dok. Saya cuma senang aja. Maaf."

"Udah nggak papa. Lo bebas jadi diri lo sendiri. Katakan apa yang memang lo rasakan, jangan lo bohongi perasaan lo. Gue suka orang jujur kayak lo, Sher." Penyindir yang hebat. Myesha benar-benar tertohok dengan petuah Rafa barusan. Kalimat itu memang untuk Sherla, tapi bagai ditujukannya untuk Myesha.

"Makan apa kita hari ini?" Faran menatap Myesha tak berkedip. Ia merasa dirinya-lah yang sebagai obat nyamuk. Penganggu dalam hubungan Rafa dan Myesha, seharusnya Faran tidak ikut campur soal masa lalu mereka, ini malah ikut terseret dan menyaksikannya di depan mata.

"Sayangnya aku. Kok natap aku gitu banget. Aku cantik ya hari ini." Hanya senyum getir yang Faran berikan. Andai saja Myesha berkata manis seperti itu di luar konteks bertemu Rafa, pasti Faran langsung membawanya ke penghulu saat itu juga.

"Makan hati enak kayaknya, Sayang." Tak tahukah Myesha bahwa Faran sedang menyindirnya secara halus.

"Ah ... iya, makan hati emang paling enak. Itu 'kan makanan favorit kita Sayang." Myesha ketawa-ketawa. Ketawa yang dipaksa, Rafa saja yang melihatnya terheran-heran. Tapi ya sudahlah, toh Rafa berjanji tidak akan menganggu hubungan mereka.

"Pasangan yang serasi." Pujian menyindir dari Rafa tepat menusuk di ulu hati keduanya. Bukannya senang mereka malah menghentikan tawa dan sama-sama tersenyum samar, saling berpandangan.

Janji tetaplah janji yang harus ditepati. Mungkin Rafa berjanji tidak akan menganggu hubungan mereka. Tetapi berjanji untuk tidak mencinta Myesha dan melupakannya, Rafa tak pernah berjanji soal itu. Melihat keduanya saling tertawa bersuap-suapan, cukup menyakiti hati Rafa. Disebelahnya ada Sherla yang sama sekali tak mengerti keadaan. Jika ada perang, mungkin Sherla orang yang pertama kali tertembak. Bahkan kehadiran Sherla sama sekali tidak membantu Rafa. Sekadar memanas-manasi pun tak ada efeknya juga untuk Myesha, jadi dipikirnya buat apa ia melakukan hal tak berguna macam itu. Lebih baik fokus pada status sahabat yang sudah mereka bangun. Namun, Dilubuk hati terdalam, Rafa masih berharap ia dan Myesha dapat kembali bersama seperti yang telah lalu.

-----------------------------------------------------

Makasih buat yang sudah baca dan voment. . .

Salam sayang selalu

Mpi

Samarinda, 13 Oktober 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top