; the post-human

"There's a billion to one chance we're living in base reality."
- Elon Musk

[BREAKING NEWS]

ERA BARU CONNECTOME PROJECT. APAKAH MANUSIA MULAI BERMAIN SEBAGAI "TUHAN"?

Arizona, 25 Januari 2077. Setelah berhasil menggemparkan dunia berkat kesuksesannya memetakan otak manusia secara sempurna beberapa dekade lalu, hari ini, Gamma Institute kembali dengan penemuan terbesar dalam sejarah yang akan membuat manusia mempertanyakan eksistensinya.

(baca lebih lanjut ...)

***

Noah mencibir headline berita di media-media besar dunia, lalu menutup tabletnya dengan perasaan dongkol. Playing God? Ayolah, kekhawatiran itu masih terlalu jauh. Saat ini, ada hal yang jauh lebih penting dan meresahkan yang mengancam kelangsungan Connectome Project.

The next phase of life.

Seperti itulah bunyi slogan dari Connectome 2.0 yang sejak lama dikerjakan secara di dalam Gamma Institute. Slogan itu terpampang di setiap lorong yang dilewati Noah. Tepat seperti slogannya, Connectome 2.0 adalah penemuan besar yang akan membuat kematian bukanlah akhir, namun awal dari kehidupan berikutnya yang abadi.

Bukan abadi seperti vampire atau dewa dewi dalam cerita fantasi, tentunya. Keabadian yang dimaksud adalah dengan membangkitkan kembali orang-orang yang sudah mati dan menaruhnya dalam dunia realitas virtual. Tanpa tubuh fisik yang menua seiring berjalannya waktu, manusia akan hidup abadi di dalam dunia virtual.

Membingungkan?

Jadi, realitas virtual memang sudah ada sejak berabad-abad lalu, namun, tidak ada yang berhasil memindahkan kesadaran—atau katakanlah jiwa—seseorang dengan utuh ke dalam dunia virtual. Dulu, pengetahuan manusia mengenai kesadaran sangat terbatas. Padahal, kesadaran adalah ciri khas yang membedakkan setiap manusia. Batasan itulah yang berhasil dipecahkan oleh Connectome Project.

Singkatnya, setelah berhasil memetakan otak seorang yang sudah mati, pada Connectome 2.0 ini mereka berhasil mengunggahnya secara utuh ke dalam superkomputer. Hasilnya, manusia terlahir kembali dengan kesadaran utuhnya di dalam realitas virtual, menjalani kehidupan normal tanpa perlu dikendalikan oleh orang dibalik layar. Bukankah itu luar biasa?

Tetapi, hanya orang yang sudah mati yang bisa menjalani hidup abadi dalam realitas virtual, karena cara untuk memetakan otakmu adalah dengan terlebih dahulu memotongnya menjadi banyak bagian. Orang yang masih hidup hanya bisa berkunjung menggunakan headset VR seperti yang sudah umum dilakukkan sejak dulu.

Tujuan awal dari proyek ini adalah membangkitkan kembali ilmuwan-ilmuwan brilian seperti Albert Einstein dan Stephen Hawking sebagai sosok yang utuh, lengkap dengan otak cerdas mereka. Mungkin terdengar immoral, tapi, tentunya para ilmuan fisika akan mendapat partner terbaik untuk mencari rumus The Theory of Everything, gabungan teori fisika klasik dan kuantum yang akan membuat kita memandang dunia secara utuh. Dengan bantuan Connectome 2.0, akselerasi ilmu pengetahuan menjadi tidak terbatas.

Masalahnya, teknologi yang satu ini bisa-bisa membuat peradaban manusia punah!

"Apapun alasannya, proyek ini harus ditangguhkan," tegas Noah Anderson di tengah rapat final sebelum proyek ini diluncurkan pada dunia. Pria itu adalah kepala pimpinan departemen neuroscience & neuroenginering di Gamma Institute, dia pula yang bertanggung jawab atas Connectome Project.

Dibandingkan menanti peluncuran, Noah saat ini geram karena para investor dan elit dengan nekat membocorkan hasil penelitian secara sepihak, membuat publik mendesak mereka untuk mengkomersilkannya. "Connectome 2.0 telah merenggut terlalu banyak nyawa." Bersamaan dengan perkataannya, sebuah statistik kematian terpampang pada layar besar di ruang rapat. "Penemuan ini tidak boleh digunakan sembarangan!"

Statistik itu menampilkan sisi gelap dari Connectome 2.0 yang mereka garap. Selama satu tahun terakhir, tercatat ada 1789 subjek yang bunuh diri satu bulan setelah melakukan uji coba. Polanya sama, mereka semua memutuskan bunuh diri setelah menandatangani kesepakatan yang meminta agar kesadaran mereka diunggah ke dalam realitas virtual Connectome 2.0.

"Ayolah, saat ini, bunuh diri adalah hal yang umum terjadi di dunia. Itulah alasan kita menghadirkan Connectome 2.0." Seorang dewan yang duduk di barisan kaum elit tampak bersikap optimis dengan logika yang diluar nalar.

"Data itu menunjukkan 70% dari keseluruhan subjek yang ikut proyek ini memilih mengakhiri hidup! Apakah menurut Anda masuk akal untuk menyebarluaskannya tanpa penelitian lebih lanjut?" Noah berdehem, mencoba mengontrol emosinya. Meskipun manusiawi, menunjukkan emosi berlebih adalah perbuatan paling fatal sebagai pemimpin. "Eksistensi manusia akan jadi ancamannya."

"Sir Anderson benar. Sebelum diluncurkan, kita perlu mengatasi permasalahan mental yang dialami oleh partisipan karena terlalu lama bersama dengan kerabat atau keluarganya yang sudah mati dan mendadak hidup kembali dalam realitas virtual," ujar kepala bidang neuroscientist yang berada di bawah pimpinan Noah. "Proyek ini terlalu ringkih."

Uji coba proyek ini memang memanfaatkan partisipan dengan kerabat atau keluarga yang sudah meninggal. Satu-satunya cara optimal untuk menguji apakah sosok dihidupkan kembali dalam realitas virtual itu sama persis dengan sosoknya di kehidupan nyata adalah dengan mengandalkan ingatan yang dimiliki orang terdekat.

Alih menjadi motivasi para partisipan yang masih hidup, membangkitkan kembali orang terkasih nyatanya membuat partisipan diselubungi kehampaan yang menyiksa. Terlebih disaat perkembangan teknologi membuat garis antara dunia nyata dan dunia virtual semakin samar.

"Sudah terlambat untuk menangguhkannya. Kita bisa melakukan perbaikan moral, psikologis, atau apapun itu seiring berjalannya waktu," ungkap dewan pimpinan lainnya. "Saat ini, Connectome 2.0 sudah mengundang animo dari seluruh dunia. Membangkitkan orang-orang yang sudah mati dan dapat hidup kembali sebagaimana dirinya yang asli adalah penemuan yang brilian."

"Partner bisnis yang terkait dengan virtual reality juga mendesak kita untuk segera meluncurkannya."

Pada akhirnya, lebih dari separuh dewan dan ilmuwan yang hadir di dalam rapat final setuju untuk merilis Connectome 2.0, terlepas dari statistik dan peringatan yang diberikan oleh Noah, penanggung jawab utama dari proyek ini. Dalam rapat-rapat besar, keputusan mutlak berada dalam genggaman pemegang suara terbanyak.

"Mr. Anderson ... Apakah Anda sudah lupa?" Seorang dewan bertubuh tambun merangkul pundak Noah dan berbicara menggunakan nada yang lembut namun syarat akan penekanan. "Sejak awal, kami elit global tidak mendanai Connectome 2.0 secara besar-besaran hanya untuk membangkitkan kembali orang-orang penting ataupun terkasih di realitas virtual."

Noah mengepalkan tangannya dengan kuat, berusaha untuk tidak menonjok meja mahoni di hadapannya. Luapan emosi menjalar di tubuhnya.

Dia adalah pion. Sampai kapanpun, ilmuwan adalah pion dari para petinggi yang berkuasa. Penemuan-penemuan cerdas para ilmuwan adalah berkah sekaligus kutukan bagi peradaban. Sejarah sudah pernah mencatatnya pada saat Perang Dunia II.

"Connectome 2.0 adalah solusi praktis untuk depopulasi dunia. Sudah waktunya kita menghemat ruang dan memindahkan sebagian besar populasi ke dalam realitas virtual." Mata pria tambun itu dipenuhi ketenangan, layaknya psikopat yang sudah tidak memiliki hati nurani.

"Relax. Kita tidak membunuh mereka, Mr. Anderson. Seperti hipotesa, kita hanya memindahkan kesadaran mereka ke dalam realitas lain."

***

Noah memandang sebuah layar besar superkomputer di dalam labolatorium layaknya menonton televisi. Layaknya alur cerita distopia, akhirnya, kecanggihan teknologi benar-benar membuat manusia punah.

Di dalam sana, ada sebuah dunia virtual yang persis seperti Bumi yang dikenalnya. Ada pula jutaan manusia yang kini tidak lagi tersusun dari sel-sel biologis, melainkan algoritma matematis. Para post human itu menjalani hidup dengan kesadaran penuh, berbahagia di dimensi yang  lain.

Seperti efek domino, Connectome 2.0 membawa satu per satu manusia ke dalam realitas virtual, hingga akhirnya tidak ada lagi yang tersisa.

Oh, para petinggi dan semua orang-orang jahat lainnya pun pada akhirnya ikut masuk ke dalam sana. Mereka tidak bisa berperan menjadi orang jahat tanpa keberadaan manusia lain.

Jadi, ini rasanya bermain sebagai tuhan? Gumam pria yang perlahan-lahan berubah menjadi seorang kakek tua yang dipenuhi janggut putih itu terkekeh hambar. Sepi sekali.

Noah adalah manusia terakhir di muka bumi. Diberkahi umur panjang sudah seperti kutukan yang harus ditanggungnya.

Rasa tanggung jawab adalah satu-satunya yang menahan Noah untuk mengakhiri hidupnya. Dia yang menciptakan, dia juga yang harus memastikan mereka tidak mengalami malfungsi. Sebentar lagi, realitas virtual akan dipantau oleh robot-robot cerdas yang telah menguasai dunia nyata. Benar kata orang-orang di zaman dulu, dunia akan dikuasai oleh robot.

Terkadang, dalam layar besar itu Noah melihat orang-orang yang pernah ditemuinya di dunia nyata. Pesan terakhir dari mereka masih membekas di benaknya, tepat sebelum mereka memilih untuk memindahkan dirinya ke dalam dunia virtual.

"Untuk apa hidup di dunia yang dianggap nyata ini jika saya bisa ikut hidup dengan orang yang disayangi di dalam sana?"

"Mr. Anderson, seberapa persen keyakinanmu bahwa saat ini kita tidak hidup dalam dunia simulasi? Apa bedanya disini dengan di dalam sana?"

"Saya ingat filsafat Descartes, 'I think therefore I am' (aku berpikir ada, maka aku ada). Jadi, tidak perduli dalam realitas manapun kesadaran kita ditempatkan, selama kita meyakininya, maka itu adalah diri kita yang nyata."

Mungkin, memang seperti inilah masa depan peradaban. Alih menjelajah alam semesta yang tidak terhingga, semua orang berbondong-bondong masuk ke dalam realitas lain yang bernama dunia virtual dan tinggal di dalamnya. Mengharap kebahagiaan dan kehidupan yang lebih baik dibandingkan dunia yang berantakan ini. Jika kenyatannya seperti itu, maka manusia tanpa sadar akan terus menerus membuat dunia simulasi di atas dunia nyata yang dikenalnya, mencari pelarian.

Sebagai pengembang utama Connectome 2.0, Noah tahu persis bagaimana rasanya ketika batas antara dunia nyata dan dunia virtual perlahan berubah samar. Jauh sebelum semua orang mencobanya, Noah adalah orang pertama yang menggunakannya. Ilmuan jenius ini selalu terobsesi untuk bertemu kembali istrinya, dalam wujud apapun.

Noah memperbesar tampilan layar pada sebuah rumah kecil di pinggiran pantai Florida. Rumah yang berada di dunia virtual itu persis sama seperti rumah yang ditinggali Noah dan istrinya.

Senyum Noah merekah melihat istrinya yang ada di balik layar. Wanita yang memiliki paras teduh itu sedang membaca buku di ruang keluarga, menunggu kedatangan Noah tanpa pernah tahu bahwa mereka tidak hanya dipisahkan jarak, tetapi dipisahkan juga oleh dimensi.

Di tengah lamunannya, Noah teringat percakapannya dengan sang istri bertahun-tahun silam.

"Tetapi, Noah, apa makna terlahir kembali jika hanya jiwa kita yang tersisa?" tanya Anne sembari berbaring di atas pangkuannya. "Jiwa dan raga adalah sebuah kesatuan. Tanpa salah satu diantaranya, kamu tidak akan bisa menjadi 'kamu' yang sekarang. Have you heard about mind-body theory?"

Di dalam dunia virtual pun, Anne masih seorang filsuf yang memandang dunia dengan segala makna yang tersirat, sedangkan Noah adalah ilmuwan sejati yang hanya mempercayai penglihatannya.

Noah mengulum senyumnya, membelai pipi wanita muda itu dengan sayang. Seandainya Anne tahu bahwa fakta dirinya berbaring dalam pangkuan Noah, berargumen dengannya seperti Anne yang dikenalnya, adalah jawaban dari pertanyaan tersebut. "Tubuh hanyalah perantara, My Dear. Yang membuatmu jadi eksklusif ada di dalam sini," tutur Noah sembari membelai kepala Anne. "Your mind, your consciousness."

Pada kenyataannya, saat itu Noah sedang membentengi diri dari kemungkinan bahwa istrinya di realitas virtual hanyalah ilusi, menghibur dirinya sendiri yang sedang bahagia karena dapat mengenggam kembali Anne. Dia hanya bisa berhipotesa.

Bagaimana jika ternyata kematian adalah akhir dari segalanya? Tidak perduli bahwa kecanggihan teknologi mampu memindahkan seluruh isi pikiranmu dalam realitas virtual, semuanya berakhir bersama dengan matinya raga.

Entahlah, toh, Noah belum pernah mati.

***

Seperti akhir dari sebuah mimpi yang panjang, Noah tersentak begitu dia meregang nyawa—secara harfiah—karena usia tua. Namun, bukannya terhubung dengan kesadaran virtual yang secara otomatis tertanam dengan perantara Connectome 2.0, ataupun berada di persimpangan surga dan neraka seperti kepercayaan agama, Noah malah terbangun di sebuah ruangan minim cahaya yang dipenuhi oleh peralatan canggih yang tidak pernah dilihatnya.

Jangan bilang kalau robot-robot itu menaruhnya di tempat yang salah, alih-alih rumah Noah dan sang istri.

Suara-suara di sekitarnnya membuat telinga Noah berdenging hebat.

"Nama partisipan, Noah Anderson. Cara kematian, usia tua. Status vital, baik."

"Berapa lama?"

"Kembali setelah menghabiskan delapan jam di dalam Earth Prototype."

"Maaf— delapan jam?" Noah menginterupsi ketika mendengar keganjilan dalam pembicaraan mereka. Suaranya sangat serak dan kering, seperti tidak minum berminggu-minggu.

Seorang pria berambut merah menyala memberinya segelas air. "Ya."

"Apa maksud kalian? Umur saya hampir satu abad," tanya Noah dengan tidak nyaman. Dia seharusnya ada di realitas virtual yang sama seperti Anne, hidup abadi bersama istrinya di dalam realitas virtual sebagai seorang post human. "Dimana ini?"

"Benar, 89 tahun berdasarkan hitungan waktu di Earth Prototype. Waktu di sana berbeda dengan dunia nyata." Salah satu ilmuan dengan kacamata bulan sabit menjawab pertanyaannya dengan tenang. "Tidak apa. Sebagian besar partisipan memang kebingungan setelah menjalani hidup di dalam simulasi terlalu lama."

The heck is Earth Prototype?

Noah membatin sembari memegang kepalanya yang berdenyut hebat. Seakan sedang mengalami ledakkan sensori, saat ini, tubuhnya menjadi sangat sensitif pada sentuhan dan suara sekecil apapun. Tubuh renta Noah yang seharusnya sudah keriput kini kembali muda, dia seperti dirinya di umur tiga puluhan.

Setelah puas mengecek tubuhnya, sekelompok ilmuan itu menatapnya dengan wajah sumringah. "Jadi, bagaimana perasaanmu setelah menjalani hidup di dalam dunia virtual?"

"Virtual?"

"Yap. Pagi tadi, kamu setuju untuk setuju untuk mencoba simulasi kehidupan di dalam proyek realitas virtual bernama Earth Prototype." Ilmuan berambut oranye terang itu menjelaskan. "Siapa sangka Anda memilih menjadi ilmuan hebat yang mampu menciptakan realitas virtual lain di dalamnya. Mau mencobanya lagi?"

Lelucon bodoh macam apa ini?! Pikir Noah. "Dimana Anne?" desaknya.

Orang-orang yang mengerubunginya saling berpandangan, bingung. "Well, semua karakter yang ada di dalam Earth Prototype adalah NPC yang kami tanamkan untuk memberikan warna dalam kehidupan virtualmu," ungkapnya. "Algoritma kami tentunya sudah sangat canggih. Para NPC di desain untuk memiliki kesadaran kolektifnya sendiri."

Untuk pertama kali dalam seumur hidupnya, dia menjadi seperti orang udik yang primitif. Jadi, selama bertahun-tahun mengerjakan proyek Connectome 2.0 di Gamma Institute, sebenarnya dia sedang menciptakan dunia virtual di dalam dunia virtual lainnya?

Jika Bumi dan alam semesta yang dikenalnya hanyalah simulasi yang disebut Earth Prototype, lantas, apakah delapan puluh tahun yang dihabiskannya tidak memiliki arti apapun? Kehidupannya dari lahir, perjuangannya menjadi neuroscientist, dan pernikahannya dengan Anne, semuanya hanya lelucon?

Lalu, bagaimana dengan sosok Anne yang diperjuangkan olehnya selama ini? Anne yang pernah menjadi istrinya, Anne yang menjadi penghiburannya di tengah dunia yang kacau balau itu hanyalah sebuah Non Playable Character? Karakter tambahan yang sejak awal tidak memiliki eksistensi nyata? Mustahil.

Noah memandang sekelompok manusia yang mengerubunginya, pria itu lantas tepekur di atas kasur tempatnya terbangun. Tanpa sadar, tubuh Noah kini berguncang tidak karuan karena tawa lepas yang tidak henti-hentinya keluar dari bibir.

"Mr. Anderson, seberapa persen keyakinanmu bahwa saat ini kita tidak hidup dalam dunia simulasi? Apa bedanya disini dengan di dalam sana?"

Ucapan itu lagi-lagi terngiang di kepalanya, mencemooh Noah. Makna 'kehidupan nyata' dalam kepalanya perlahan-lahan mengabur.

Setelah semua kejadian ini, bagaimana bisa dia yakin bahwa dunia yang dia jejak saat ini bukanlah simulasi superkomputer lainnya? Terlebih, bagaimana Noah bisa yakin bahwa dia bukanlah NPC yang ditambahkan para manusia di balik layar, seperti halnya Anne.

Sungguh, mengapa manusia senang sekali bermain-main dengan kehidupan?

-Fin-

.

.

.

Words count: 2204

Aku nggak tau apakah cerita ini bingungin atau nggak dari sudut pandang beberapa dari kalian yang jarang bersinggungan sama neuroscience dan hipotesa kalo kita hidup dalam dunia simulasi. Udah gitu, pake sok-sokan berfilsafat segala wkwk. Mari overthinking di momen ulang tahun WIA.


Last but not least, makasih buat yang udah baca.

allurain, 150622.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top