3
Angkasa menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri secara berulang. Sudah hampir empat jam sejak dia selesai mandi dan memutuskan untuk tidur, tapi tak kunjung dirinya tertidur. Padahal dia sudah memejamkan mata, berharap mimpi akan menyambut.
Bayangan wanita yang katanya bernama Artemis selalu hadir di dalam benaknya. Angkasa meyerah, dia membuka mata, meraih guling yang tergeletak di sampingnya, lalu mengangkat guling itu tepat di atas wajahnya.
"Kenapa sih, lo tuh harus ada digolongan spesies kelelawar? Beraktivitas saat malam hari..." Angkasa mendaratkan pukulan kecil pada guling dengan motif monokrom itu. "Cih, mana ada manusia yang beraktivitas seperti itu? Kamu tuh titisan vampire? Pantas aja kamu mampu mempesona di atas ranjang, karena ya, aku nonton breaking down pas bagian honeymoon. Terus si Edward tuh hot di atas ranjang... mungkin kamu itu adiknya yang terhilang." Angkasa membawa guling itu semakin dekat dengan wajahnya, bersiap untuk mendaratkan ciuman di sana. Angkasa benar-benar kehilangan akal, dia tidak kuasa mengeyahkan setiap bayangan wanita yang tak sengaja berhubungan dengannya dalam satu malam itu.
Nyaris bibir Angkasa menyentuh guling, tiba-tiba terdengar suara cekikikan keras yang berasal dari arah pintu kamarnya.
Angkasa menggeser guling dari sekitar wajahnya, menatap nyalang si empunya tawa.
"Ngapain lo? Ganggu kebahagian orang aja!" seru Angkasa kesal.
"Lo kehabisan stock cewek? Gila, guling aja diembat," kata Langit diselingi suara tawa. "Mau gue buatin lobang nggak di sana? Biar sensasinya lebih aduhai..."
Angkasa memosisikan tubuhnya duduk lalu melemparkan guling ke arah Langit, tentu saja tidak akan sanggup mengenai Langit. Jarak keduanya saja terlalu jauh.
Langit semakin terbahak, entah kenapa sudah dua minggu ini sikap si Kakak sungguh lucu. Bagaikan Langit tengah menyaksikan stand up comedy, rangkaian kata Angkasa, tingkah lakunya, mimik wajahnya. Semua itu berhasil membuat Langit tertawa sangat lepas.
"Turun! Mami manggil, makanan udah siap. Mami takut lo tiba-tiba ditemukan nggak sadarkan diri di kamar. Karena lupa makan dan keasyikan menggauli guling yang nggak berdosa."
"Sumpah! Nih bocah ngajak ribut! Sini berantem, jangan beraninya di ujung pintu!" Angkasa bersiap untuk bangun dari ranjang, tapi Langit lebih dulu kabur. Pria itu berlari keluar dari kamar dengan tawa yang semakin membuat Angkasa kesal.
Keadaan kamar kembali hening, suara Langit tak lagi terdengar. Angkasa duduk di tepi ranjang, meraih ponsel yang ada di nakas. Dia langsung menghela napas putus asa saat melihat layar ponsel yang menampilkan deretan nomor yang masuk di saat yang bersamaan dengan nomor Bellva, ya, tidak benar-benar bersamaan hanya beda beberapa detik saja. Dan itu membuat Angkasa tidak tahu yang mana nomor Bellva.
"Ck! Kenapa gue nggak masukin WhatsAap atau line aja? Kenapa harus nomor? Kenapa Angkasa? KENAPA?!" Angkasa benar-benar frustrasi, karena jalan untuk bertemu dengan Artemis terganjal. Memang bisa saja dia menelpon satu persatu nomor itu untuk memastikan nomor Bellva, tapi kalau dia menggunakan cara itu. Dia akan berpotensi diganggu oleh wanita yang tidak diinginkannya, dia hanya ingin bertemu dengan Artemis, mengulang semua yang terjadi di Bali. "ARGHHHH!!!" Angkasa tiba-tiba berdiri dan berteriak secara bersamaan.
Angkasa berjalan menuju lemari bajunya, mengganti baju rumah dengan baju pergi. Angkasa memilih memakai kemeja biru lengan panjang yang digulung hingga sebatas siku, dipadu dengan jins ripped berwarna senada. Setelah merasa siap dengan penampilannya, Angkasa mengambil dompet, ponsel dan kunci mobilnya. Lalu keluar dari kamar dan menuruni tangga.
"Tuh, Mi. Mas Angkasa udah turun," kata Langit saat melihat Angkasa melintas di depan ruang makan.
"ANGKASA!!!" Mau tidak mau Angkasa menghentikan langkahnya saat teriakan dari sang Mami menggelegar.
Angkasa berjalan mundur hingga melewati tembok pembatas antara ruang makan dan ruang keluarga, dia berdiri dengan wajah polos.
"Makan dulu," perintah Mami.
"Mau sih, Mi. Tapi, aku ada janji sama teman. Mami simpen di kulkas aja ya, nanti tengah malam aku minta Bi Jum angetin," jawab Angkasa.
"Kok gue nggak yakin ya, kalau lo pulang tengah malam. Setahu gue pulang lo tuh pagi." Langit ikut-ikutan berbicara, tanpa melihat ke arah Angkasa.
Angkasa menggeleng. "Jangan percaya, Mi." Langit tuh sesat!" Angkasa berjalan mengahampiri sang Mami, begitu sampai, Angkasa cepat-cepat merangkul pundak Mamanya lalu mendaratkan kecupan pada pipi wanita dengan paras cantik walaupun usianya sudah melewati setengah abad. "Aku pergi dulu ya, Mi. Janji nggak pulang subuh, apa lagi pagi."
Mami menatap Angkasa lekat-lekat lalu dengan berat hati beliau membiarkan Angkasa pergi dari rumah. Sebelum keluar dari ruang makan, Angkasa sengaja mendaratkan tonjokan ringan pada lengan Langit. Anggap saja pembalasan atas ucapannya, batin Angkasa.
Angkasa tidak ke mana tujuannya, dia hanya asal menyebutkan alasan tadi. Ini masih terlalu siang untuk singgah di club, jam masih mengarah di angka tujuh. Di tengah kebingungan, Angkasa memutuskan untuk mengarahkan mobilnya ke arah sebuah mal besar di daerah Senayan. Angkasa tidak berniat untuk mencari makan, dia hanya ingin mengalihkan pikirannya dengan menonton di bioskop.
Tidak menghabiskan waktu yang lama, Angkasa sudah tiba di mal yang dia tuju. Tanpa sedikit pun tergoda untuk memasuki toko-toko atau pun restoran, Angkasa melangkah mantap menuju bioskop, bahkan dia tanpa pikir panjang dia langsung ke arah bagian pemesan tiket premier. Bioskop dengan tempat duduk sofa yang empuk dan selimut.
Saat Angkasa tiba, masih ada seorang pengunjung wanita yang terlihat sibuk memesan tiket. Awalnya, Angkasa tidak terlalu memperhatikan. Tapi, saat si pengunjung wanita selesai membeli tiket, bangun dari kursi, dan memutar posisi tubuhnya. Mendadak Angkasa memusatkan seluruh perhatiannya pada si pengunjung, Angkasa mematung untuk beberapa detik, begitu pun si pengunjung. Dia mulai bertingkah canggung saat menyadari kehadiran Angkasa, mau tidak mau, wanita itu tersenyum. Dan senyumnya berhasil membuat seluruh saraf yang ada pada tubuh Angkasa, berhenti berfungsi.
"Ka-kamu..." Angkasa maju ke arah si wanita, meraih tangan si wanita tanpa mempedulikan apa pun. "Tunggu! Jangan coba-coba pergi lagi, saya mau beli tiket." Angkasa memaksa si wanita untuk kembali menuju ke meja tempat membeli tiket dan Angkasa memilih untuk duduk di sebelah si wanita. Beruntung, studio premier ini tidak terlalu ramai pengunjung.
Setelah membeli tiket, Angkasa memaksa si wanita untuk ikut dengannya.
"Wait..," pinta si wanita. Dia mulai kewalahan mengimbangi langkah kaki Angkasa yang terlalu cepat. Selain itu, cengkraman tangan Angkasa pun terasa semakin menyakiti pergelangan tangannya. "WAIT!!!" Si wanita berteriak sekencang mungkin, membuat separuh dari pengunjung menoleh serentak ke arah adegan tarik menarik itu. "Kamu, bisa nggak sih lembut dikit sama wanita," protes si wanita. Dia menyingkirkan tangan Angkasa, mengusap-usap pergelangan tangannya, lalu memandang Angkasa dari balik bulu matanya yang lentik. Si wanita memajukan bibirnya sedikit dan melanjutkan protesnya pada Angkasa, "Sakit..."
Angkasa membuka bibirnya sedikit, sebelumnya dia sangat benci mendengar seorang wanita mengeluh dengan suara manja dibuat-buat. Tapi, khusus hari ini. Angkasa menyukainya.
Angkasa menyugar rambut hitam kecokelatan miliknya, sebelum akhirnya berjalan mendekati si wanita. Dengan gerakan lemah lembut Angkasa meraih kembali tangan si wanita, menggerakan ibu jarinya ke kanan dan ke kiri di atas kulit pergelangan tangan si wanita.
"Sakit? Saya terlalu kuat ya?" tanya Angkasa tanpa menatap mata si wanita. Dia sibuk mengembuskan sedikit udara dari mulutnya ke arah pergelangan tangan si wanita, seakan cara itu akan meredakan sakit si wanita. "Maaf, ya..." Angkasa mengangkat wajahnya. Seketika dada Angkasa bergetar saat pandangan matanya bertubrukan dengan pandangan mata si wanita dan Angkasa berani bersumpah wanita di depannya memiliki bola mata cokelat terjernih yang pernah dia lihat sepanjang hidupnya. "Lagian kamu punya hobby kabur, jadi saya takut kalau kamu kabur lagi dari saya. Dua minggu yang lalu saja, kamu pergi tanpa pamit. Pake ninggalin uang lagi, memang saya terlihat seperti gigolo? Kalau pun saya gigolo, pasti bayaran saya minimal sepuluh juta. Produk import!"
Si wanita terkikik lalu menggunakan satu tanganya yang lain untuk mendaratkan sebuah pukulan pelan pada dada Angkasa.
"Ya ampun, kamu lucu banget. Jadi gini, aku tuh nggak maksud buat ninggalin kami gitu aja. Tapi, aku punya acara yang mengharuskan aku nggak boleh datang telat. Terus, aku tuh nggak tahu berapa harga kamar yang kamu sewa. Jadi, ya, aku keluarin uang yang ada di dompet aku aja." Si wanita menjelaskan panjang kali lebar, secara perlahan dia menarik mundur kedua tangannya dari Angkasa. Dia merasa mulai risih dengan pandangan pengunjung yang memperhatikan interaksi antara mereka berdua. "Aku bukan artis, jadi nggak suka dilihatin banyak orang. Pindah ke mana gitu yuk, ngobrol, sekalian munggu film kita." Si wanita menggoyang-goyangkan tiket bioskop di depan wajah Angkasa.
Tidak menunggu jawaban Angkasa, si wanita berjalan melewati Angkasa.
Angkasa memperhatikan cara wanita itu berjalan, si wanita itu memiliki lekuk tubuh yang menggiurkan. Buktinya hanya dengan melihat dia memakai kaus putih polos dan jeans, mampu membuat setan kecil dalam diri Angkasa meminta izin untuk keluar.
Dan melihat si wanita sekarang membuat Angkasa yakin, jika perkataan Bellva tadi siang bukan lah sebuah bualan belakang. Mereka sangat berbeda, bagaikan air dan api.
Angkasa tersenyum puas lalu memanggil nama si wanita kuat-kuat, "Artemis!"
Artemis berhenti melangkah, wanita itu menyibakkan rambut hitam panjangnya lalu menoleh ke arah Angkasa.
"Kok kamu tahu nama aku sih? Kayaknya kita belum tukeran nama deh, cuman pernah berbagi ranjang aja."
Angkasa tersenyum jenakan mendengar perkataan Artemis. Dia berjalan menghampiri Artemis.
"Aku dapat info nama kamu dari kamu yang lain..." Angkasa merubah kosa kata saya-kamu, jadi aku-kamu. Artemis yang memulai dan Angkasa hanya mengikuti.
"Oh, Bellva. Eh, kok bisa?"
"Mungkin Tuhan emang niat menjodohkan aku sama kamu, karena dari itu setelah dua minggu aku bisa ketemu lagi sama kamu."
Artemis menaikan satu alisnya. Dia mengangguk kecil, berpikir sebentar, lalu kembali mendaratkan tanganya pada lengan berotot Angkasa.
"Jangan bawa-bawa Tuhan, Ah. Berat! Pertemuan kita aja udah melanggar perintah dari Tuhan." Artemis mengucapkan kata demi kata tanpa beban, mengedipkan satu matanya pada Angkasa. Setelah selesai berbicara Artemis kembali melanjutkan langkahnya keluar dari wilayah bioskop.
Angkasa melipat kedua tangannya di depan dada, senyum lebar terbentuk di wajah tampannya.
"Ah, dia pasti wanita yang menyenangkan," desah Angkasa. "Gokil, dia bahkan nggak tanya nama gue. Tapi, bersikap seakan-akan gue ini mantan pacar yang nggak sengaja dia temui."
Di saat Angkasa tengah berbicara pada dirinya sendiri, Artemis sudah lebih dulu keluar dan berdiri di depan pintu kaca bioskop. Wanita itu memutar posisi tubuhnya menghadap Angkasa, mengangkat jari telunjuk, memberi kode untuk Angkasa segera keluar.
Angkasa menahan napas melihat cara Artemis memanggilnya, menggoda!
Sori, Mi! Kayaknya anak Mami yang paling kece ini nggak akan pulang tengah malam apa lagi subuh, mungkin aku pulang siang! batin Angkasa.
Angkasa berjalan menghampiri Artemis, untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia merasa bersyukur bertemu kembali dengan wanita satu malamnya.
Sudah up"!!
Maaf telat...
Jangan lupa vote dan comment yang menggunung...
Love. Fla
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top