Piece #9: Keluhan Kita = Harapan Orang Lain

Minggu pagi Barina dibangunkan oleh pesan dari grup Noisy. Dia meraba meja kecil di samping tempat tidur dengan mata masih tertutup. Pelukan Doni membuat gadis itu sulit bergerak. Mau tak mau Barina membuka matanya dan memindahkan tangan Doni sehingga badannya bebas.

---------
Alexa: Gue ke Inggris di undur. Ketemuan yuk hari ini di kafe gue. Kangen, nih. Gue bakal lama di Inggris, sekitar sebulan.
---------

Begitu pesan Alexa yang dibaca Barina pada grup gengnya. Barina mengucek matanya sebentar karena pandangannya terasa buram. Dia menoleh seketika ke suaminya yang masih terlelap lalu mengetik pesan balasan.

---------
Barina: Gue masih di rumah mertua, sih. Gue usahain, Lex. Semoga suami gue kasih izin.
---------

Tak lama satu persatu kelima sahabatnya membalas. Barina melirik jam dinding yang masih menunjukkan jam lima pagi. "Ibu-ibu ini udah pada bangun jam segini. Luar biasa," lirih Barina disertai gelengan pelan.

---------
Kelima dari mereka menyanggupi ajakan Alexa tanpa berpikir panjang sehingga membuat Barina berpikir, apakah mereka tidak meminta izin terlebih dahulu dari suami masing-masing. Barina memandang suaminya lama. Tangannya membelai kepala lelaki itu sehingga membuat suaminya menggeliat berganti posisi menjadi terlentang.

---------
Mili: Pengantin baru apa-apa izin, ya. Kalau udah lama juga nanti terserah masing-masing aja.
---------

Komentar Mili berhasil membuat Barina mengerutkan kening. Dia tidak mengerti maksud Mili berkata seperti itu. "Masa iya, sih?" lirihnya lagi. Ketika Barina hendak merespon komentar itu, dia merasa ada yang melilit pinggang.

"Kamu udah bangun?" Doni menenggelamkan wajahnya di pangkuan istrinya sambil melingkarkan lengan di pinggang wanita itu.

"Kak, aku boleh ketemu sama sahabatku nggak?" tanyanya tanpa berbasa-basi.

"Di mana?" tanya Doni balik dengan suara parau.

"Di kafenya Alexa. Dia kan mau ke Inggris sebulan. Kita mau lepas rindu aja." Barina berusaha menjelaskan agar Doni mengerti.

"Alexa kan belum berangkat, kok, udah rindu aja?"

"Maksudnya sebeluk berangkat. Kalau enggak nanti aku bisa rindu banget sama dia." Barina membelai kepala Doni, berharap diberi izin.

"Iya, boleh. Tapi, aku antar, ya."

Barina mengangguk. "Oke, Bos!"

Doni tersenyum. "Aku ke mana, ya?"

Barina berpikir sejenak.

"Aku nunggu aja di sana, ya, sambil ngerjain kerjaan."

"Iya, boleh." Barina tersenyum. Dia bahagia karena semudah itu mendapatkan izin suaminya.

"Tapi aku mau manja manja dulu sekarang," ucap lelaki itu sambil bergelayut manja di pangkuan istrinya.

Hari Sabtu yang rasanya ingin bermalas-malasan membuat merek malas beranjak dari atas tempat tidur. Merek berpelukan mesra saling memberikan kehangatan. Pendingin ruangan membuat mereka semakin rapat dan enggan keluar dari balutan selimut.

"Kita harus segera buat visa, loh, Sayang."

"Oh, iya. Kapan, ya? Aku nggak ngerti buatnya," ujar Barina.

"Aku tau. Aku, kan, pernah ke Jerman."

"Memangnya sama?"

"Sama. Negara yang masuk ke area Schengen, visanya sama," jelas Doni.

"Apa itu area Schengen?"

"Negara Jerman, Swiss, Prancis, dan Belanda."

Barina mengangguk. Banyak hal baru yang dia dapatkan semenjak menikah dengan lelaki dari keluarga golongan atas. Ke luar negeri sudah menjadi sesuatu yang lumrah bagi keluarga itu. Sedangkan Barina baru beberapa kali saja, itupun masih Asia Tenggara. Sekalinya jauh ke Amerika waktu Alexa menikah dan segala perizinan dan transport diurus oleh Pamela, tantenya Alexa. (Baca Ladybird)

"Aku mules," perkataan Doni tiba-tiba membuat Barina mengerutkan kening. Untuk apa suaminya bilang seperti itu?

"Mules ke toilet sana!" Barina memasang ekspresi geli.

"Itu dia masalahnya. Males beranjak dari sini. Pelukan kamu nyaman banget." Doni semakin menenggelamkan wajahnya.

"Terus Kak Doni mau keluarin di sini? Pakai pempers, ya," gurau Barina.

"Enak aja. Emang aku cowok apaan?" Doni beranjak dari tempat tidur dengan malas. Dia mengecup istrinya terlebih dahulu sebelum berlari ke toilet.

"Dasar aneh!" Barina terkekeh geli melihat suaminya yang tidak ada rasa gengsi sama sekali.

Wanita itu berpikir lama menimbang dan memikirkan pernikahannya. Meskipun terlihat baik-baik saja, ada rasa takut yang menggerayangi pikirannya. Dia tidak ingin mengatakannya kepada Doni, takut-takut malah salah paham. Pikirannya itu semakin menghantui saat mendengar keluhan temannya di pertemuan mereka.

Nurulia mengeluhkan suaminya yang masih belum peka. Mili mengeluhkan lingkungan pekerjaan suaminya. Nare mengeluhkan mertuanya yang terlalu ambil peran dalam mengasuh cucunya. Karmila pun ikut mengeluhkan tentang suaminya yang tidak romantis. Bahkan, Ranita yang lebih dulu menikah pun masih mengeluhkan tentang rumah tangganya. Masalah pernikahan memang tidak bisa dipungkuri. Setiap pernikahan ada saja lika-likunya. Bahkan, pernikahan yang terlihat baik-baik pun tetap ada masalahnya. Itu yang dirasakan Barina.

"Pernikahan lo kenapa, Bar?" tanya Karmila sambil mengelus perutnya yang kian membesar.

Barina diam sejenak, menimbang-nimbang untuk diceritakan atau tidak. Sebab, dia pun malu harus menceritakan kegelisahannya ini. Enam pasang mata mengarah padanya dan menunggu jawaban yang membuat mereka penasaran. Pasalnya, pernikahan Barina masih seumur jagung. Mereka berpikir kecil kemungkinan ada permasalahan di dalamnya.

Barina memandang wajah mereka satu persatu untuk meyakinkan dirinya untuk mengatakan keluhan ini.

"Suami lo mulai keluar sifat buruknya, ya?" tanya Mili dengan mata membesar.

Barina menggeleng. "Justru dia romantis banget sama gue. Bahkan di depan orangtuanya aja tetap romantis."

Mereka melepas napas kesal mendengar jawaban wanita itu. "Kenapa?"

"Gue takut, lama-kelamaan gue bosan sama keromantisannya. Setiap saat sikapnya romantis. Lama-kelamaan malah jadi biasa aja. Itu yang gue takutin." Barina memandang enam pasang mata yang mengarah padanya.

Sesaat hening tanpa respon dari mereka. Keenam wanita itu berusaha mencerna maksud Barina. Pasalnya baru kali ini mereka mendengar orang mengeluhkan diromantiskan.

"Kalau lo, Lex?" tanya Mili mencoba mengalihkan pembicaraan.

Alexa meneguk minumannya. "Nggak ada yang gue keluhkqn dari pernikahan gue sama Marcus. Dia mau menikahi gue aja, udah bersyukur banget." Alexa melempar senyuman kepada mereka. "Lo tau sendiri masa lalu gue seperti apa. Di saat kalian menikmati masa muda, gue udah diterjang masalah bertubi-tubi. Ketika Marcus melamar gue, bersyukur banget. Kalau dia nggak lamar gue, nggak tau gue jadi apa sekarang dengan anak satu. Bisa jadi gue udah tinggal di Jerman." Alexa mengenang masa lalunya.

Mereka terdiam mendengar ucapan Alexa.

"Nggak ada yang salah dengan punya masalah. Yang salah itu kalau disengaja cari masalah dan mengeluhkan yang kita buat sendiri. Bisa jadi apa yang kita keluhkan itu adalah mimpi orang lain. Seperti Barina mengeluhkan suaminya terlalu romantis, di sisi lain itu yang diharapkan Karmila dari suaminya. Begitu pun masalah kalian yang lain. Kalian mengeluhkan soal pernikahan kalian, di luar sana banyak wanita yang menunggu untuk dilamar dan dinikahi." Alexa melanjutkan ucapannya

Mereka masih terdiam. Barina tertunduk malu. Dia teringat dirinya dulu. Benar juga dengan ucapan Alexa. Ketakutan Barina bukanlah masalah tapi buat-buatannya saja.

"Nanti kalian pulang, peluk suami kalian. Mereka kerja buat kita. Selama mereka nggak selingkuh, seharusnya nggak ada masalah." Alexa menoleh ke arah Doni yang duduk agak jauh dari mereka sambil memainkan laptop-nya. "Bar, suami lo orang baik. Keluarganya juga. Jangan pernah meragukan kebaikan orang." Alexa memindahkan  matanya ke Barina lalu berpindah ke yang lain. "Masalah itu mendewasakan pribadi kita. Cara kita melewati dan mengatasinya, can make what do you want to be." Alexa meraih tangan mereka. "Gue sayang sama kalian semua. Gue mau kalian bahagia dengan pernikahan kalian. Gue nggak mau nasib pernikahan kalian seperti orangtua gue." Alexa menatap keenam sahabatnya lekat. Dia mengharapkan yang terbaik untuk mereka. Ada perasaan sedih karena dia akan pergi ke Inggris dalam waktu yang cukup lama. Sebulan tidak bertemu mereka, sangat menyiksa untuk Alexa. Keenam sahabatnya sudah seperti keluarganya sendiri. Hanya mereka teman yang setia kepadanya.

"Orang mau ke Inggris jadi galau, ya." Mili mencairkan suasana dengan melontarkan lelucon tidak lucunya itu.

Barina menoleh ke arah suaminya. Dia merasa bersalah sudah berpikir yang tidak-tidak tentang lelaki itu. Seharusnya kegelisahannya ini dibicarakan di antara mereka berdua saja, bukan dengan orang lain. Barina merasa malu kepada dirinya sendiri.

-----
Semoga kita menjadi orang yang bersyukur, ya.

Terima kasih sudah membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top