Piece #7: Kehangatan Keluarga yang Sebenarnya
Meskipun Barina tidak mendapatkan bunga lili kesukaan Nita, dia tetap memberikan bunga yang lain, tulip ungu yang sudah mekar. Barina juga memberikan sebuah hadiah spesial dari gajinya sendiri. Sebuah cincin emas putih dengan batu permata merah pipih memanjang. Sedangkan, Doni memberikan tiket liburan.
Mereka disambut hangat oleh Nita yang tengah menata meja makan. Makan malam bersama saat satu keluarga ulang tahun merupakan ritual keluarga ini. Nita memang senang sekali menjamu orang. Dia merasa bahagia jika perut orang lain kenyang dan menjadi bahagia setelah menyantap hidangan yang nikmat. "Ah, kalian sudah datang," sambut Nita. Dia membuka tangannya lebar-lebar dan mengajak menantunya ke dalam pelukan. "Apa kabar menantu Mama?" Wanita itu membelai wajah Barina dengan penuh rindu.
Barina tidak pernah diperlakukan semanis ini oleh Marina. Agak kaget ketika Nita menyambutnya seolah kedatangan putri kesayangan dan tercintanya. Kehangatan Nita melengkapi kekurangan Marina, meskipun Marina tetap nomor satu di hati Barina. Setidaknya dia menyadari bahwa sikap dingin Marina menurun kepada dirinya. Dia juga tidak bisa menyalahkan siapapun. Kalau dilihat, kehangatan Nita menurun kepada anak lelakinya, Doni. Arti sendiri tidak sehangat Nita dalam menyambut orang lain, percis seperti Darma. Empat minggu menjadi menantu di keluarga ini membuat Barina belajar banyak hal.
"Kalian pasti lapar. Mari kita makan!" Nita hendak menggeser kursi untuk Barina, namun disanggah oleh Doni.
"Biar Doni aja yang siapin kursi buat Barina, Ma." Lelaki itu menggeser kursi untuk istrinya.
Nita tersenyum melihat sikap anaknya. "Kamu percis seperti Papamu. Romantis." Dia menoleh ke arah menantunya.
Kedua pipi Barina memerah malu.
"Ayo, Sayang duduk!" ajak Doni.
Nita memandang mereka berdua dengan perasaan kagum. Dia kagum kepada anaknya yang memperlakukan istri semanis mungkin. Ternyata dia berhasil mendidik anak laki-lakinya. Lalu, bola matanya berpindah kepada Barina. Dia juga bersyukur mendapatkan menantu perempuan yang mampu mengubah hidup Doni menjadi berwarna. "Mama panggil Papa dulu, ya."
"Emangnya Papa di mana?" tanya Doni.
"Biasa, di ruang kerja." Nita meninggalkan mereka berdua.
Selama sepuluh menit ditinggal berdua di ruang makan, membuat Barina kikuk sendiri. Pasalnya, suaminya tak lepas memandang disertai senyuman. Sesekali lelaki itu membelai kepalanya sambil mengatakan kalimat manis. Tangan satunya lagi tak lepas berpautan dengan tangannya.
"Kak, udah, ih. Nggak enak dilihat sama Mama Papa nanti," pinta Barina sambil melirik kiri-kanan takut-takut mertuanya datang.
"Memang kalau kelihatan sama Mama Papa kenapa? Mereka, kan, orangtua kita. Bukan orang lain."
"Nggak enak mesra-mesraan depan orangtua, Kak. Malu."
"Kenapa mesti malu? Kita, kan, udah menikah." Doni terus saja menyanggah.
"Etika, Kak." Senyum Barina redup muncul.
"Sayang, keluargaku santai. Kalau mereka lihat kita mesra, justru bagus. Jadi, mereka tahu kalau rumah tangga kita baik-baik aja. Justru mereka akan curiga kalau kita nggak mesra."
Barina berpikir. Benar juga apa yang dikatakan suaminya. Namun, sikap canggung dan tidak terbiasa wanita itu tetap merasa tidak nyaman.
"Kalau perlu, aku mau kasih tahu dunia kalau aku teramat sangat mencintai kamu."
Ekspresi canggung Barina memudar.
"Aku nggak tahu apa jadinya aku kalau nggak nikah sama kamu," lanjut Doni.
"Ya, tetap jadi Kak Doni. Masa jadi Marpuah." Barina berusaha mencairkan suasana dengan guyonan garing. Terlalu di bawah keromantisan suaminya membuat Barina tak tahan menahan rona merah wajahnya.
Kening Doni mengerut. "Siapa Marpuah?"
"Itu, tukang sayur dekat rumah," jawab Barina asal.
Doni mengangguk. "Kamu sekarang udah jadi emak-emak komplek. Sampai nama tukang sayur pun tahu." Dia menyeringai.
"Enak aja. Aku belum siap jadi emak-emak komplek. Aku belum siap pakai seragam kebesarannya." Barina ikut menyeringai.
"Seragam?"
"Iya."
"Seragam apaan?"
"Daster."
Doni tertawa terbahak. Dia mengira seragam yang dimaksud memang seragam dalam makna harfiah, ternyata di luar dugaannya. Lelucon mereka berhenti bersamaan dengan kedatangan Nita, Darma, Arti dan anaknya. Mereka memulai makan malam bersama.
Usai makan malam, mereka berkumpul di ruang tengah, di atas karpet sambil menikmati kue tiramisu sebagai makanan penutup. Sesi pemberian kado di mulai dari Arti. Dia memberikan kado berbentuk kotak dibungkus kertas biru metalik dengan motif bunga dengan ukuran tidak terlalu besar. Nita menerima dengan mata berbinar. "Apa ini, Arti?"
"Buka aja, Ma. Itu yang milihin cucu Mama ini," ujarnya sambil menunjuk anaknya.
"Waah. Dibuka, ya." Nita merobek kertas biru metalik dengan rapi. Di balik kertas kado elegan itu ada sebuah kotak coklat polos tanpa tulisan apapun. Dengan rasa penasaran, Nita membuka kotak itu. Sebuah vas bunga putih bergaya eropa yang elegan. Sekelilingnya terdapat aksen seperti manggis dan daun berwarna ungu dengan bunga keemasan. Nita memandang vas itu dengan perasaan bahagia. Dia menaruh di sampingnya lalu memeluk Arti dan cucunya. "Terima kasih, ya, Nak." Dia menciumin pipi cucunya.
Doni menyikut lengan Barina pelan memberitahu untuk memberikan hadiah. Dengan ragu Barina mendekati mama mertua dan memberikan kotak kecil berwarna merah dengan pita merah jambu yang melintang. "Sebenarnya, Barina bingung mau kasih hadiah apa. Mama punya segalanya. Barina berharap Mama suka ini."
"Apapun yang dikasih sama anak-anak Mama, pasti suka. Mama buka, ya."
Barina mengangguk.
Doni bergeser mendekati Barina. Lengannya melingkari punggung istrinya.
Nita membuka setiap lilitan pita. Dia tersenyum saat melihat ada kotak perhiasan berwarna putih di dalamnya. Dia sudah menduga isinya. Wanita itu memandang Barina dan Doni sebentar. "Wah, cantik sekali. Permata merahnya indah," ujar Nita dengan wajah semringah saat melihat sebuah cincin. Dia meraih tangan Barina. "Makasih, ya, Sayang. Mama suka banget."
Barina tersenyum mendengarnya.
"Kamu nggak kasih Mama hadiah, nih?" gurau Nita pada Doni.
"Kasih, dong." Doni meraih kota abu-abu memanjang yang sedari tadi di letakkan di belakang badannya. Dia memberikan hadiah itu kepada Nita.
"Katanya anak Mama ini tahu apa yang Mama mau. Kita lihat, benar nggak, ya?" Nita mendelik ke anaknya. Dua tiket liburan lengkap berada di dalam sana. Bola mata Nita membesar saat melihat tulisan 'Prague' yang terdapat pada sebuah brosur destinasi wisata. Tanpa sadar, Nita menitikkan air mata, sehingga membuat semua orang memandang heran.
"Mama, kok, nangis?" tanya Doni kebingungan.
"Kamu memang tahu apa yang Mama mau, Nak." Nita membelai wajah anak laki-lakinya. "Makasih, ya."
Doni meraih tangan keriput wanita itu dan menciumnya lembut. "Sama-sama, Mama. Aku bahagia kalau Mama bahagia." Dia melirik Darma yang duduk di belakang Nita. Tatapannya mengisyaratkan kode.
Nita memandang tiketnya lagi. Keningnya mengerut ketika melihat tiket pulang bukan dari Praha, melainkan dari Budapest.
Sebelum Nita meminta penjelasan atas keheranannya, Darma mendekati istrinya dan berkata lembut, "Nggak tanya kado dari Papa?"
Nita menoleh ke suaminya. "Eh, iya. Buat Mama, Papa itu hadiah sepanjang hidup Mama." Nita membelai wajah Darma dengan penuh cinta.
Arti dan Doni bersorak melihat kemesraan orangtuanya. Melihat kemesraan itu, Barina jadi mengerti alasan Doni kerap memperlihatkan kemesraan di depan keluarganya, karena hal yang lumrah di keluarga ini. Momen ini begitu hangat dirasakan Barina. Dia melirik lengan Doni yang melingkar di pinggangnya yang terasa kuat dan kokoh seolah siap melindungi dan menjaga dirinya kapanpun. Dia memandang suaminya penuh syukur. Tatapan itu dibalas oleh Doni dengan senyuman. Lelaki itu dengan tangkas mengecup pipi Barina kemudian kembali menikmati kemesraan orangtuanya.
Darma memberikan sebuah amplop polos. Kejutan datang lagi saat Nita membuka amplop itu. Dua buah tiket Avalon Waterways dari Praha ke Budapest. Nita kembali menitikkan air mata haru. Dia memang sudah lama menantikan perjalanan wisata ini bersama suaminya. Namun, kesibukan Darma yang tidak ada liburnya membuat dia menguburkan keinginannya begitu saja. Saat ini, saat keinginannya sudah terkubur, tiba-tiba mencuat begitu saja. Ini benar-benar berkah dari Tuhan. Dia besyukur memiliki keluarga yang sangat memahami keinginannya. Nita memeluk suaminya. Darma mengecup kening istrinya.
Ini semua ide Doni. Dia sudah lama mengetahui keinginan Nita. Lelaki itu berdiskusi dengan Darma untuk memberikan kejutan ini dan merahasiakan keterlibatan kerjasama mereka, bahkan Barina pun tidak tahu soal ini. Dia hanya ingin kedua orangtuanya menikmati masa tua dengan bahagia. Menikmati waktu berdua, bernostalgia saat masa muda dulu dan merekam kenangan yang indah.
Malam itu, begitu hangat dirasakan oleh keluarga ini, terutama Barina. Dia bersyukur bisa menjadi bagian dari keluarga yang hangat ini. Terutama, dia bersyukur memiliki suami yang sangat memuliakan ibunya. Ketika lelaki bisa memuliakan ibunya, dia juga akan memuliakan istrinya. Barina pernah membaca kalimat itu dari sebuah buku.
----------
Hadiah dari Arti
Hadiah dari Barina
Buket tulip untuk Nita
------
Terima kasih sudah membaca. 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top