Piece #6: Mencari Kado untuk Mama Mertua

Semenjak menikah, Barina dan Doni memutuskan untuk tinggal di rumah Barina karena terbilang lebih dekat dari kantor daripada rumah keluarga Doni. Bahkan malam setelah pesta pernikahan pun mereka pulang ke rumah Barina bersama orangtua wanita itu. Selain dekat dari kantor, sayang saja kalau rumah Barina dibiarkan kosong. Pasalnya Barina sudah susah payah membeli rumah itu dari menabung bertahun-tahun. Untung saja Doni tidak mempermasalahkan soal tinggal di mana. Baginya di manapun asal bersama wanita yang dicintainya, dia akan senang.

Jumat malam selepas jam pulang kantor, Barina melakukan aktivitas seperti biasa, menunggu suaminya pulang meeting. Untuk antisipasi kebosanan, dia sudah menaruh beberapa buku untuk menemaninya saat menunggu. Kini dia tidak lagi merasa bosan, mungkin karena sudah terlalu sering. Dia sempat mendelik laci meja Doni yang masih mengetuk rasa penasarannya. Delikan itu buyar saat sebuah pesan dari Alexa masuk.

------
Alexa: Hai pengantin baru! Lagi apa?
Barina: Biasa, nunggu suami balik.
Alexa: Di kantor?
Barina: Iya. Lo sehat, Lex?
Alexa: Sehat. Gue lusa mau ke Inggris.
Barina: Ke tempatnya Marcus?
Alexa: Iya. Mau panen brokoli.
Barina: Waah. Seru banget. Bertiga balik?
Alexa: Iya.
Barina: Gue jadi ingat cerita lo waktu ketemu Marcus.
Alexa: Norak, ya?
Barina: Enggak, Lex. Malahan kisah cinta sejati banget.
Alexa: Berlebihan lo, Bar. Ketemu besok, yuk!
Barina: Nggak bisa, Lex. Gue mau ke rumah mertua malam ini. Mama mertua gue ulang tahun. Sorry ya, Lex.
Alexa: Nggak masalah, Bar. Lo, kan, udah jadi istri. Keluarga jadi prioritas lo sekarang. Gue ngerti, kok. Have fun, ya, Bar.
Barina: Lo juga, Lex. Selamat bernostalgia. Hehe.
Alexa: Haha. RESEK
-------

Barina menyudahinya. Dia meletakkan ponsel di atas meja dan melanjutkan membaca. Baru saja membaca satu halaman, Doni tiba di sana. Wajahnya nampak lelah. Kemeja bergaris putih biru horizontal nampak kusut. Barina memandang suaminya dengan wajah datar. Dia beranjak dari kursi dan mendekatinya. Baru saja membuka mulut untuk menanyakan sudah makan atau belum, lelaki itu langsung memeluknya. Tubuhnya dijatuhkan begitu saja di dalam pelukan istrinya.

"Kalau capek, aku aja yang nyetir," ucap Barina sambil mengelus punggung Doni.

Doni menggeleng. "Aku aja. Ayo pulang!" Dia melepaskan pelukan lalu menggenggam tangan Barina erat. Mereka mengunci pintu sebelum menuju lift.

"Hari ini bikin kepala pusing," ujar Doni memulai pembicaraan saat mobil melaju.

"Ada masalah?"

"Soal perubahan struktur kemarin itu. Pusing aku. Mana orangnya nggak mau kalau dikerjain sama yang lain. Maunya aku yang ngerjain," jelas Doni sambil mengusap wajahnya dengan tangan kiri.

Hal yang membuat Barina tidak berguna adalah saat posisi seperti ini. Dia tidak bisa membantu karena memang tidak mengerti dan kurang memahami soal struktur bangunan. Dia hanya bisa penganggarannya saja. Kadang dia berandai-andai. Andaikan dirinya bisa membantu suaminya barang mengecek gambar. "Ajarin aku, dong biar bisa bantu kamu."

Doni menoleh sesaat lalu tersenyum. "Jangan. Nanti kamu pusing. Kamu ngurus aku aja. Jadi tempat aku pulang kalau banyak pikiran kerjaan." Doni membelai lembut pipi istrinya. "Itu udah ngebantu aku banget."

Barina tersenyum mendengarnya. Dia beruntung menikah dengan lelaki ini. Menurutnya, Doni adalah pria pekerja keras, memuliakan istri bagaikan seorang putri dan pintar membuat hatinya berbunga-bunga. "Kita beli kado apa, ya, buat Mama?" Barina mengalihkan pembicaraan sebelum wajahnya berubah memerah.

"Oh iya. Kita belum beli kado. Apa, ya, Sayang? I have no idea."

Barina berpikir mencari sesuatu yang belum dimiliki Nita, namun tidak ada satupun ide yang keluar dari kepalanya. "Mama udah punya semuanya. Aku bingung. Mau beli perhiasan tapi tabunganku nggak cukup." Barina merengut.

"Pakai kartu kredit aku aja."

Barina menggeleng. "Aku mau beli pakai uang sendiri. Kalau pakai kartu kredit kamu bukan kado dari aku namanya, tapi dari kamu."

Doni meringis. "Kenapa kamu ngomong gitu? Uang aku, uang kamu juga."

"Ini lain cerita," sanggah Barina.

Doni memutar setir. "Ya, udah. Terserah kamu aja. Mama akan terima apapun pemberiaan kamu."

Mereka tidak saling bicara beberapa saat. Barina masih sibuk mencari ide, sedangkan Doni ikut memikirkan kado untuk mamanya.

"Ah." Mata Barina berbinar. "Kalau aku lihat, kayaknya Mama suka bunga. Kita ke toko bunga dulu, ya."

"Siap, istriku. Mama suka bunga lily." Tanpa diminta Doni memberitahu bunga kesukaan Nita.

Barina mengangguk. "Terima kasih, suamiku." Barina menepuk bahu Doni dengan pelan.

Doni sontak memegang dadanya saat mendengar ucapan Barina. Entah kenapa degup jantungnya terasa cepat setiap istrinya mengatakan kata itu.

Melihat suaminya memegang dada, Barina mengernyit heran. "Kenapa?"

"Dada aku deg-degan." Doni mengatur napas.

Wajah Barina berubah panik. "Aku aja yang nyetir."

Doni menoleh sesaat lalu menepikan mobilnya. Dia memandang Barina sambil mengatur napas. Dadanya terasa sesak. Tanpa izin lelaki itu mendekatkan wajahnya dan mengecup pipi istrinya. Mereka saling merasakan hembusan napas. Barina terkesiap dengan serangan dadakan Doni. Saat dirinya mengembalikkan kesadaran, Doni sudah mengecupnya mesra.

"Aku senang dengar kamu sebut aku 'suamiku'. Itu panggilan termesra buatku. I love you, istriku." Doni memberi jarak beberapa senti saja.

Barina tersenyum. Dia mengerti penyebab serangan mendadak ini. Meskipun malu karena takut dilihat orang lewat, dia tetap menikmati kemesraan ini. "I love you more, suamiku."

Doni mengecupnya lagi sedikit lebih lama dari sebelumnya dan diakhiri dengan belaian di kepala Barina. "Ayo turun" ajaknya sambil melepas sabuk pengaman dan mematikan mesin mobil.

"Kok turun?"

"Katanya mau beli bunga. Itu toko bunganya." Doni menunjuk toko bunga yang berada di samping mobilnya terparkir.

Mata Barina mengikuti arahan telunjuk Doni. Toko yang tidak terlalu besar namun nampak asri dengan warna-warni kelopak bunga.

Doni membuka pintu toko dan menyilakan istrinya masuk duluan. Berharap akan dilayani oleh pemilik toko, namun wanita itu tidak nampak di sana. Barina melihat keindahan pelbagai bunga dengan mata berbinar. Doni pun menjadi teringat saat membeli bunga untuk malam lamaran.

Di saat tengah melihat-lihat bunga, dua orang karyawan yang juga tengah melayani pelanggan tersenyum ke arah Doni. Lelaki itu menyadarinya. Dia mengernyit heran lalu beralih melihat Barina yang sibuk menyapu pandangan ke beberapa rangkaian bunga. Dia mengikuti ke manapun istrinya gerak.

Pintu toko terbuka, seorang wanita muda masuk dengan anak gadisnya. Mereka terkesiap saat melihat Doni yang menghadap ke arah luar. Mereka mengulum senyum melihat wajah Doni. Sikap ibu dan anak itu membuat Doni merasa tidak nyaman. "Gue tau kalau gue tampan, tapi nggak gitu juga kali," lirihnya.

Barina mendengar lirihan suaminya. Dia hanya tersenyum mendengar kepercayaan diri Doni dan bukan hal yang aneh karena lelaki itu terlalu sering percaya diri. Dia berbalik badan. "Kok, Lily nggak ada, ya?" Saat matanya mencari sosok pelayan, dia melihat seluruh wanita di sana memandang suaminya dengan senyuman. Ternyata bukan suaminya yang terlalu percaya diri tetapi situasi yang membuat lelaki itu tidak nyaman. Apa yang gue lewatin? Kenapa mereka mandang suami gue kayak gitu? Barina menekuk wajah. Dia tidak suka melihat suaminya dipandang seperti itu oleh wanita lain. Baru saja ingin menanyakan ke mereka, seorang wanita dengan rambut kecoklatan dan baju motif bunga-bunga menghampiri  mereka berdua.

"Doni! Akhirnya datang lagi," sapanya dengan ceria.

Barina tersenyum menyambut wanita pemilik toko.

"Pengantin baru," lanjut wanita itu sambil meyalami Barina.

Kedatangan wanita ini membuat mereka yang memandang Doni berbalik badan, melanjutkan kegiatannya. Hal ini membuat Barina sedikit lega. Saat pemilik toko menyalami Doni, wanita itu tersenyum, percis seperti beberapa wanita tadi. Hal ini membuat Doni dan Barina tidak mengerti.

"Kenapa?" tanya Doni ke wanita pemilik toko.

Pemilik toko itu hanya menempelkan telunjuk ke bibir.

Barina terkesiap melihat tingkah pemilik toko. Dia menjadi sebal. Ngapain dia nunjuk bibirnya? Pikiran Barina sudah ke arah yang tidak-tidak. Doni memandang istrinya yang sudah memasang wajah sebal.

"Semenjak nikah kamu sekarang suka dandan, ya, Don," ucap wanita pemilik toko.

"Maksudnya?" Doni tidak mengerti.

"Kamu sekarang pakai lipstik."

Pernyataan wanita pemilik toko itu membuat Barina sontak memutar kepala memandang suaminya yang tengah mengelap bibir dengan tangan. Barina tak kuasa menahan tawa. Dia mengulum senyum. Astaga, gue udah negatif aja sama orang. Dia juga menertawakan diri sendiri.

Wanita pemilik toko memberikan sehelai tisu kepada Doni. Dia pun tak kuasa menahan situasi yang menggelitik.

"Besok-besok beli lipstik yang nggak gampang luntur," kesalnya menahan malu sesaat masuk ke dalam mobil.

Barina melepaskan tawa. "Walaupun nggak dapat Lily tapi dapat momen lucu."

Doni menekuk wajahnya. "Pokoknya aku nggak rela kalau kamu pakai lipstik yang gampang luntur lagi."

"Sayang kalau dibuang. Habisin dulu yang ada, ya. Nanti aku beli baru sesuai permintaan kamu." Barina berusaha menahan tawa. "Lagian main nyambar aja. Kan, bisa di rumah."

"Aku, kan, suami kamu. Masa mau cium istri harus nunggu di rumah." Doni membela diri. "Udah jangan diketawain terus." Doni melajukan mobil meninggalkan toko bunga. Mereka harus mencari toko bunga yang lain. Sepanjang perjalanan Barina berusaha mengembalikan wajah ceria Doni yang ditekuk. Sebenarnya lelaki itu tidak marah benaran, hanya menggoda saja agar Barina merasa bersalah dan mengabulkan apapun kemauannya.

-----
Doni adalah lelaki yang mempunyai segudang trik untuk menggoda istrinya, bahkan setelah dirinya dipermalukan pun masih saja mikirin trik.

Terima kasih sudah membaca. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top