Piece #42: Menurunkan Ego
Sudah dua hari mereka menjalani hidup masing-masing. Doni sudah kembali aktivitas seperti biasanya, itupun karena ada proyek penting yang harus ditangani sendiri. Namun, pria itu belum menceritakan masalahnya kepada kedua orang tuanya sekedar meminta pendapat. Begitupun dengan Barina yang masih enggan memulai cerita dengan orang tuanya. Setiap hari wanita itu hanya melamun dan membaca buku. Selama di Bekasi, ponselnya dimatikan sehingga sahabatnya kehilangan kabar dari wanita ini. Bahkan, Alexa sampai menelepon Marina untuk menanyakan kabar sahabatnya. Kesempatan itu digunakan Marina untuk menggali informasi dari Alexa.
Alexa datang ke Bekasi untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa sahabatnya tidak bertingkah macam-macam. Menurut Alexa, keputusannya pulang sejenak ke rumah orang tua adalah keputusan yang tepat. Saat Alexa tiba di depan rumah orang tua Barina, dia disambut oleh Marina yang tengah menyapu halaman dan mengurus kebun bersama suaminya. "Apa kabar, Tante, Om?" sapa Alexa sembari memberikan buah tangan, seloyang blueberry cheese cake yang baru saja matang dan dibawa langsung dari kafenya.
Marina menyilakan Alexa duduk. "Barina baru aja keluar."
"Ke mana, Tante?"
"Katanya ketemu temannya."
Pikiran Alexa mulai meraba siapa yang ditemui Barina itu. Sepengetahuannya, teman Barina hanya mereka berenam, namun dia tidak tahu apakah Barina memiliki teman di luar sepengetahuannya. Dia hanya melemparkan senyuman kepada kedua orang tua itu.
Usai memberikan minuman dan duduk di samping Alexa, Marina langsung menanyakan masalah yang menimpa anaknya. Barata pun ikut duduk di samping istrinya untuk mendengarkan kisah sebenarnya. Alexa menceritakan yang dia tahu. Menurutnya, orang tua sahabatnya itu harus tahu masalah rumah tangga anaknya.
Tanggapan mereka tidak seperti yang dibayangkan Alexa. Mereka nampak santai. Tidak ada wajah terkejut atau panik. Alexa semakin tidak mengerti.
Marina dapat membaca ekspresi yang tergambar di wajah Alexa. Dia berkata, "kami paham perasaan Barina karena kami pernah merasakannya. Memang, orang yang tidak pernah merasakan apa yang menimpa kita akan menganggap sikap kita berlebihan. Tetapi akan beda pendapatnya jika dia sudah pernah merasakan hal yang sama."
"Maksud Tante?"
Marina menceritakan kisah kehamilannya sebelum mengandung Barina kepada Alexa. Seperti yang sudah terbayangakan bagaimana ekspresi Alexa ketika mendengar pengakuan wanita tua itu. "Maaf Tante, saya nggak tau."
Marina menepuk bahu Alexa seakan berkata 'aku baik-baik saja'. "Kehilangan seseorang memang meninggalkan luka mendalam. Apalagi jika seseorang itu benar-benar dinanti. Wajar jika Barina merasa dirinya salah dengan meninggalnya calon anaknya itu karena calon bayi itu bukan hanya dinanti oleh Barina, melainkan oleh Doni dan terlebih lagi oleh mertua dan jujur, kami juga. Jadi, dia merasa bersalah dengan keteledorannya." Marina menyesap tehnya, "Tapi, tenang saja! Dia akan pulih segera," lanjut Marina yakin.
Senyuman keyakinan merekah di wajah Alexa disertai anggukan.
Di lain tempat, Barina menunggu seseorang di parkiran sebuah taman. Dia menunggu di dalam mobil sambil mendengarkan racauan penyiar radio yang mengudara. Meskipun mereka membuat jenaka, tetap saja tidak mempan membuat Barina tertawa. Dirinya sendiri bingung dengan perasaan yang dialaminya. Terkadang dia merasa sikapnya berlebihan, kadang pula dia merasa pantas melakukan semua ini. Barina seperti kehilangan dirinya.
Seseorang mengetuk kaca pintu mobil sehingga mengejutkan Barina yang tengah melamun. Tanpa menunggu orang itu meminta dibukakan pintu, Barina sudah membuka kunci pintu dan orang itu masuk ke dalam mobil, duduk di sampingnya. Kini Barina satu mobil dengan seorang pria, tua beberapa tahun darinya, menggunakan kacamata dan rambut mengkilap seperti menggunakan pomade. Aroma parfum pria itu menenangkan Barina. Aromanya seperti aroma teh, elegan dan jika diprediksi sepertinya bermerk Bvlgari. Barina menghidu sejenak aroma menenangkan itu sebelum tersadar oleh suara bulat pria itu.
"Sudah siap?" tanya pria itu tanpa menoleh.
Barina mengangguk meskipun pria itu menganggap dia tidak menjawab. Pria menganggap tindakan Barina dengan melajukan mobil merupakan jawaban akan kesiapannya.
Selama perjalanan mereka tidak banyak bicara hingga setelah melewati pintu tol Bekasi Barat. Pria itu dengan lancar bicara kepada Barina meskipun tidak ada tanggapan dari wanita ini. Barina hanya sesekali mengangguk dengan tangan dan pandangan fokus pada jalan. Menurutnya, dia hanya perlu mendengar, tanpa merespon apapun.
Keluar dari pintu tol Bekasi Timur, mereka memasuki pemukiman masyarakat yang besar jalannya pun sebesar lewat satu mobil. Barina menoleh ke kiri dan kanan dengan ragu. "Benar ini lokasinya?"
"Iya," jawab pria itu. "Depan situ, ke kiri." Dia menunjuk sebuat warung kopi yang tak jauh dari mereka.
Setelah mengikuti arahan pria itu, Barina menampakkan wajah ragu lagi. "Ini tempatnya?"
"Masih ke dalam lagi. Mobil nggak bisa lewat," jelas pria itu.
"Lalu?" Barina memandang pria di sampingnya dengan berkerut kening.
"Ya, jalan kaki, lah. Lo kelamaan tinggal di Jakarta, sih." Pria itu keluar dari mobil dan berjalan ke belakang mobil, diikuti oleh Barina.
Mereka meninggalkan mobil yang sudah terkunci, dengan bungkusan di kedua tangannya. Pria itu berjalan lebih dulu, Barina mengikuti dari belakang. Semalam hujan deras sehingga jalanan pun lumayan becek dan basah. Sepatu sketcher putih Barina tidak menunggu lama untuk kotor. Dia menghentikan langkahnya dan memandang sepatunya sejenak, lalu melanjutkan langkahnya tanpa peduli lagi dengan sepatunya.
Pria itu masuk ke dalam sebuah rumah sederhana dan disambut dengan wanita paruh baya. "Danar! Anak Bunda!" sapa wanita itu.
Barina yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum melihat pria itu dipeluk oleh wanita paruh baya yang bahagia dengan kedatangannya.
Wanita paruh baya itu melepaskan pelukan lalu menoleh ke arah Barina. "Siapa gadis cantik ini?" tanyanya dengan ramah.
"Teman kuliah Danar, Bun. Namanya Barina." Danar memperkenalkan Barina.
"Cantiknya temanmu. Teman apa teman?" Wanita itu menggoda Danar dengan tatapan usil.
"Teman, Bun. Barina sudah menikah," jelas Danar tanpa basa-basi.
Air muka wanita itu berubah. Senyuman yang tadi merekah hilang begitu saja. "Kasihan sekali kamu, Nak." Pandangannya menangkap jinjingan yang dibawa Danar dan Barina. "Bawa apa kalian?"
"Buat adek-adek, dari Barina." Danar membuka salah satu plastik merah yang berisikan pakaian.
Wanita itu mendekati Barina lalu meraih tangannya. "Makasih, ya, Nak, sudah mau repot ke sini. Terima kasih. Anak-anak pasti senang." Senyuman wanita itu merekah kembali. Barina membalas senyuman itu dengan perasaan lega. "Masuk, yuk!"
"Itu kepala panti di sini. Namanya Bunda Aya." Danar memberitahu.
Barina hanya mengangguk sambil mengikuti Danar dan Bunda Aya.
Panti asuhan ini tidak besar. Hanya sebuah rumah dengan luas 120 meter persegi dengan tiga kamar: satu untuk anak laki-laki, anak perempuan dan balita. Kamar anak laki-laki dan perempuan masing-masing terdiri dari empat ranjang tiga tingkat. Jika dijumlahkan satu kamar diisi oleh dua belas anak. Dua kamar terisi penuh, satu kamar balita terdapat enam keranjang bayi. Jika dijumlahkan panti asuhan itu terdiri 12 anak laki-laki, 12 anak perempuan, 6 balita. Kisaran usia mereka rentang 0-16 tahun. Di rumah itu penuh dengan tawa dan tangis anak-anak. Ramai. Pandangan Barina menyapu sekeliling. Penuh kebahagiaan di dalam rumah sederhana itu. Saking terpesonanya, dia tidak sadar bahwa Danar sudah merebut jinjingannya.
Bunda Aya memberi kode ke Danar untuk mengajak Barina bermain dengan anak-anak. "Mereka juga kadang berantem, tapi baikan lagi." Suara Danar memecahkan lamunan Barina. "Bunda selalu mengutamakan gizi mereka. Paling penting itu. Bunda bilang, meskipun pas-pasan, dengan bersyukur, rejeki akan mengalir. Benar juga, sih. Ayam, ikan, daging, telur, sayur, buah, mereka pernah menikmatinya." Kini pandangan Danar seolah menyatu dengan kebahagiaan mereka.
Barina memandang pria di sampingnya dengan kekaguman. Dia tersenyum setelah beberapa hari ini tidak pernah merekah di wajahnya. Mereka tidak bicara beberapa saat, hanya menikmati keceriaan anak-anak panti dan sesekali ikut tertawa dengan kelucuan mereka.
"Jadi, sebelum sekolah di Jakarta, Kak Danar besar di sini?" Barina membuka suara.
Danar mengangguk. "Orang mungkin menganggap masa kecil anak panti tidak bahagia, tapi gue bersyukur bisa dibesarkan di sini dan mencetak kenangan masa kecil yang manis." Dia menunduk sejenak lalu mengangkat wajahnya lagi. "Meskipun, tanpa orang tua."
Mendengar pengakuan itu, Barina merasa bersalah.
"Enggak usah minta maaf," sambarnya seakan tahu apa yang akan dikatakan Barina. "Orang biasanya bilang begitu setiap gue cerita tentang masa kecil." Dia tersenyum.
"Terus, kenapa bisa sekolah di Jakarta?"
"Adopsi. Waktu gue lulus SMP, ada yang adopsi gue. Kata Bunda, mereka yang biayai sekolah gue dari SD cuma mereka belum bisa merawat gue kalau adopsi saat itu, katanya takut mereka nggak ada waktu buat gue, jadi lebih baik di sini karena gue masih banyak teman. Makanya, mereka memantau gue dari mata Bunda. Pas gue masuk SMA, mereka yakin mau adopsi gue." Danar menghela napas panjang. "Awalnya, gue berpikir untuk membalas jasa mereka karena sudah bayarin sekolah gue selama ini. Ternyata, selama gue tinggal bareng mereka, gue dapat lebih dari bayangan, kasih sayang orang tua yang belum pernah gue rasain sepanjang hidup." Danar memandang Barina. "Sampailah gue seperti sekarang."
"Syukurlah. Sekarang lebih baik, ya."
"Untungnya, mereka nggak pernah larang gue untuk ke sini. Justru sekarang mereka menjadi donatur tetap panti ini."
Barina terkesima dengan cerita Danar. Seberapa beruntungnya dia. Hidup memang misteri. Mungkin saat Danar masih kecil, dia tidak tahu ke mana hidup akan membawa masa depannya. Siapa yang tahu bahwa kehidupannya sekarang tidak pernah ada di dalam bayangan Danar kecil.
"Lo harusnya bersyukur, Bar."
Ucapan Danar mengejutkan telinga Barina. Dia menoleh secepat kilat dengan kening berkerut seolah meminta penjelasan darimana dirinya tidak bersyukur. Dia merasa tengah disindir oleh pria di sampingnya itu.
"Bukannya gue mau ikut campur urusan pribadi lo, tapi sebagai teman yang setidaknya tahu lo kayak mana, gue mau kasih saran ...." Ucapan Danar disela Barina.
"Tahu gue? Kayaknya kita enggak dekat, deh." Barina meluruskan.
"Karakter lo itu kebaca, Bar. Lo itu keras kepala." Danar terdiam. "Oh, ya. Gue mau pengakuan ke lo." Danar menatap Barina dengan lembut.
"Pengakuan?"
Seorang anak perempuan merangkak mendekati Danar. Tanpa diminta, pria itu menggendongnya. "Ini namanya Ara. Dia ditemuin warga di dekat tempat sampah. Untung, masih bisa diselamatkan. Bunda Aya paling depan mengajukan diri untuk merawatnya. Manis, kan?" Danar mencium pipi balita itu. Nampak sekali dia menyayangi anak panti ini.
"Tega banget orang tuanya." Barina mulai tersulut. "Dia buang anak seenak jidat. Sedangkan, di luar sana banyak ibu yang susah punya anak, bahkan kehilangan anak sebelum melihat anaknya tumbuh." Matanya berkaca.
"Kayak lo, ya."
"Hah? Tahu darimana?"
"Dari twitter lo. Beberapa hari ini lo kan aktif di twitter. Padahal udah lama banget lo nggak main twitter." Danar menyerahkan Ara ke pengasuh.
Barina mengusap wajahnya. Dia merasa malu. Memang, beberapa hari ini dia kerap meracau di twitter yang hanya berteman dengan sepuluh teman saja, salah satunya Danar. "Jadi, dari situ lo tiba-tiba DM gue terus ajak beramal ke panti?"
Danar mengangguk.
"Ya ampun, gue nggak kepikiran. Pantasan kok seakan tiba-tiba. Tapi, makasih loh udah ajak gue ke sini, Kak." Barina menepuk bahu Danar pelan, mencoba kembali akrab.
"Sama-sama." Mereka hening beberapa saat. "Oh, ya, soal pengakuan. Sebenarnya, dulu gue suka sama lo, Bar, tapi gue nggak berani, karena gue nggak percaya diri dengan latar belakang hidup gue. Gue perhatiin lo dari jauh sampai akhirnya gue lulus duluan dan kita nggak pernah ketemu lagi. Gue rajin perhatiin akun twitter lo berharap bisa hubungi lo lagi. Syukur-syukur bisa ketemu. Pas lo curhat pertama kali baru-baru ini, gue senang banget tapi pas lo bilang udah nikah, gue sempat sedih, sih." Danar tertawa lirih. "Menyedihkan, ya, gue." Dia mengambil napas panjang. "Gue berharap bisa nikahin lo, Bar." Danar melemparkan senyuman manisnya kepada Barina.
Saat itu, Barina seakan berada di posisi serba salah. Satu sisi, dia merasa tersanjung, sisi lain dia harus menjaga sikap sebagai istri sah orang lain. Dia kehabisan kata-kata sehingga memutuskan menunduk dan tersenyum.
"Gue telat, ya, Bar. Habis, gue nggak tahu harus cari lo ke mana. Jakarta luas dan gue nggak tahu rumah orang tua lo. Tapi, nggak apa-apa. Lo bukan jodoh gue berarti. Gue juga sekarang lega bisa bilang perasaan gue ke lo. Makanya, gue bawa lo ke sini biar lo sadar bahwa nggak ada manusia yang tanpa masalah dalam hidupnya." Danar diam sejenak. "Mungkin, lo merasa Tuhan jahat sama lo karena ambil anak lo. Lalu, bagaimana dengan mereka?" Danar menujuk anak-anak panti dengan pandangannya.
Barina terdiam. Dia benar-benar terpojok dengan keegoisannya sendiri.
"Lo punya orang tua dan belum pernah merasa kehilangan sebelumnya. Mereka? Sejak kecil mereka nggak tahu siapa ibu ayahnya. Setiap ambil rapot, selalu Bunda Aya lagi, lagi, dan lagi. Kita lihat kawan-kawan yang datang bersama orang tuanya bahagia, kita cuma bisa menonton kebahagiaan mereka. Lalu, apa kita menyalahkan Tuhan? Enggak, Bar."
Tanpa sadar Barina menitikkan air mata. Dia teringat keegoisannya kepada suaminya. Dia merasa bersalah.
"Lo harus menurunkan ego lo, Bar. Apalagi sekarang lo udah nikah. Hidup lo itu dijalani bareng suami. Enggak bisa ikuti kemauan lo terus. Lo juga harus bisa mendengar kemauan suami lo." Danar tersenyum. "Andaikan suami lo itu gue." Dia tertawa.
Barina ikut tertawa. "Apa, sih?"
"Bercanda."
"Kenapa lo repot-repot nasihati gue? Sampai bawa gue ke sini?"
"Tadi, kan gue udah bilang kalau lo itu keras kepala. Kalau cuma dinasehati aja, percuma. Makanya, gue ajak ke sini biar lo lihat sendiri bahwa masih banyak orang yang masalah hidupnya lebih berat dari lo. Sekaligus pengakuan gue, sih." Danar membenarkan kacamatanya. "Gue cuma mau lo bahagia, Bar. Kapan-kapan kenalin gue ke suami lo, ya."
Mereka tertawa.
"Makasih, ya." Barina menepuk bahu pria di sampingnya. "Ternyata usaha lo merhatiin gue dari jauh nggak sia-sia, ya, Kak."
"Sama-sama." Mereka tertawa lagi.
Kadang kita tidak tahu dari sisi mana yang bisa menyadarkan kita. Bahkan sosok malaikat itu bisa dari sisi yang tidak pernah kita bayangkan atau terlupakan yang diam-diam melihat dan memantau kebahagiaan kita. Malaikat itu datang saat sinar kebahagiaan mulai sirna dan berkata untuk kembali dan meraihnya lagi.
----
Akhirnya bisa update lagi. Karena tiga minggu nggak update, piece ini saya buat lebih panjang sebagai ucapan terima kasih karena sudah menunggu dan cerita ini sudah 8K reads. Terima kasih banyak.
Masih ada beberapa piece sebelum tamat. Nantikan terus, ya.
-----
Sebagai wujud mendukung penulis, jangan lupa untuk tinggalkan jejak seperti vote, comment dan share. Ajak teman-teman untuk baca cerita ini. Mwah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top