Piece #40: Rekonsiliasi Diri
Sepulang Alexa, Barina merenungi ucapan sahabatnya sambil menikmati kue coklat yang dibawa sahabatnya itu. Pandangannya berpindah-pindah ke setiap sudut ruangan, tempat yang banyak merekam kenangan bersama suaminya. Ingatannya seakan berputar-putar. Di teras belakang mereka pernah menjemur pakaian bersama di suatu hari Minggu saat mereka baru saja menikah. Pandangannya berpindah ke rak buku yang menjadi pembatas dapur dan kamar mandi. Di sana mereka pernah merapikan buku bersama sambil menertawakan cerita yang diceritakan Doni. Kemudian, pandangannya berpindah ke dapur. Dari meja makan, bayangan kebahagiaan itu masih nampak jelas seakan kedua matanya dapat melihat pemutaran ulangnya. Di sana pertama kalinya dirinya terkena minyak panas saat memasak ikan goreng untuk suaminya. Kedua ujung bibirnya menarik ke atas. Wanita itu tersenyum. Dia memandangi kue coklat yang sudah habis setengah. Pandangannya mengabur meskipun senyumnya mengembang. Barina mengalihkan pandangan ke sofa. Dia seakan melihat dirinya tengah bermanja di pangkuan suaminya sambil menikmati tayangan televisi. Bayangan itu berpindah tanpa permisi, seperti ada yang memindahkannya. Kini, yang terlihat adalah ingatannya saat mereka bertengkar tadi malam. Kedua ingatan itu muncul bergantian, semakin lama, semakin cepat, sehingga membuat kepalanya sakit. Garpu lepas dari genggamannya dan kedua tangannya refleks memegang kepalanya. Senyuman itu sudah memudar. Tinggal air mata dan isak tangis yang terdengar lirih. Dia merasa Tuhan tengah menghukumnya.
Detak jarum jam terdengar jelas di antara keheningan yang tercipta di rumah itu. Di luar rumah matahari terasa terik membakar aspal dan membuat akar mengering. Tak ada angin untuk sekedar menyejukkan. Langit biru bersih tanpa ada awan menaungi. Jika menengadah, terasa keindahan yang disuguhkan oleh langit, namun tidak dirasakan dari bawah sini, yang terasa panas dan kering, seperti yang dirasakan Barina. Jika membayangkan dirinya sebelum menikah, pernikahan bersama Doni menjadi suatu hal yang membahagiakan, namun sekarang menjadi hal yang menyakitkan untuk dirinya. Memang bukan masalah perselingkuhan ataupun kekerasan rumah tangga. Dia merasa, masalah ini berakar dari dirinya. Kecerobohan dirinya. Wanita itu tak henti menyalahkan dirinya sendiri. Padahal semesta sekelilingnya tidak berpikir demikian. Dia merasa butuh waktu untuk menenangkan diri. Merenungkan apa keegoisannya dan kesalahan yang pernah diperbuat sehingga Tuhan menghukumnya. Wanita itu butuh rekonsiliasi terhadap dirinya dan rumah tangganya.
Barina beranjak dari kursi lalu menuju kamar dengan langkah lunglai. Tangannya meraba apapun yang tergapai, seolah ingin memindahkan kenangan yang terekam oleh barang-barang mati ke pikirannya. Di ambang pintu kamar, pandangannya kembali mengenang semua yang terjadi di dalam kamar itu. Tiba-tiba saja tubuhnya dingin. Dia membutuhkan kehangatan suaminya. Barina memutar kepalanya mencari ponsel yang tergeletak di sofa. Ada keinginan menelepon Doni, namun hati dan pikirannya tidak sejalan. Ada perasaan takut dan malu, padahal jika itu dilakukan dapat mengembalikan kerenggangan hubungan mereka. Wanita itu melanjutkan langkahnya ke kamar dan duduk di tepi ranjang sambil memandang dirinya sendiri di cermin panjang yang berdiri di samping pintu. Barina melihat sosok wanita yang menyedihkan. Masa berkabung ini membuat dirinya terlihat lebih tua, tidak ada kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Lingkaran mata nampak membengkak karena terlalu sering menangis. Bibirnya pucat. Rambut tidak terurus. Penampilannya sudah seperti orang depresi berat. Barina menggeleng nmenatapi bayangan dirinya sendiri di cermin. Dia teringat Doni yang masih berusaha menghibur dan mengembalikan keceriaannya.
"Gua benar-benar keras kepala dan nggak tau diri," ujarnya pada pantulan dirinya.
Barina meraih sisir dan mulai merapikan rambutnya, mengganti pakaian, memoles pewarna bibir kemudian meraih dompet, ponsel dan kunci mobil. Barina meninggalkan rumah dengan mobilnya. Di perjalanan, pikirannya kembali mengarah kepada suaminya. Wanita itu nampak merencanakan sesuatu.
Selang beberapa menit, Barina tiba di supermarket dekat komplek perumahan. Dia membeli beberapa makanan ringan, bahan makanan yang mudah di masak, minuman dan vitamin, lalu kembali pulang. Di rumah barang-barang itu ditata rapi di dalam lemari pendingin, sebagian diolah menjadi masakan untuk makan malam. Dia membuat makanan kering yang bisa tahan hingga dua minggu. Makanan itu dimasukkan ke dalam toples bening agar mudah terlihat. Setelah usai memasak, Barina beralih membersihkan rumah yang sudah seperti kapal pecah. Lantai terasa berpasir. Pakaiankotor selain pakaian dalam dibawa ke laundri. Khusus pakaian dalam dia mencucinya. Setelah memastikan semua pekerjaan rumah selesai, dia meraih ponselnya. Sebuah nomor disambungkan dan terdengar suara di seberang sana. Wanita itu membicarakan sesuatu dengan suara itu. Tidak ada ekspresi bahagia ataupun sedih yang tergambar di wajahnya. Hanya ekspresi datar. Setelah mengakhiri sambungan telepon, ponsel diletakkan sembarang, segapai tangannya. Lantas, merebahkan badan di sofa sambil memandang langit-langit. Tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkannya, selain dirinya sendiri.
Sepulang Doni, Barina sudah berpakaian rapi dan menunggu di ruang tamu. Dia merasa gugup. Telapak tangan terasa dingin. Pikirannya campur aduk, mencari kalimat yang tepat. Saat pintu terbuka, Doni tertegun berdiri di sana memandangi istrinya yang berpenampilan seperti semula. Ini pertanda baik. Senyumnya merekah. Barina masih menunduk. Dia tidak berani memandangi suaminya. Mata Doni beralih ke benda yang berdiri di depan dirinya. Senyumnya perlahan meredup. Keningnya berkerut. Dia memandangi istrinya dengan kalimat tanya besar. APA MAKSUDNYA? Pria itu tidak langsung bertanya. Dia perlu mengontrol emosinya terlebih dahulu agar dapat berbicara tenang.
Tanpa menunggu Doni bertanya, Barina memberanikan diri untuk memulai duluan. "Aku mau ke rumah bapak," ucapnya ragu-ragu sambil menunduk dan meremas tangan.
"Kenapa?" Pertanyaan itu yang terlintas oleh Doni.
"Aku mau menenangkan diri dulu."
"Kenapa nggak di sini aja?" Doni berat hati untuk mengizinkan, pasalnya hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Dia tidak mau berjarak dengan istrinya karena takut menjadi semakin renggang. Itu yang terjadi di pernikahan sebelumnya. Dia tidak mau terjadi lagi.
"Di sini aku nggak bisa menenangkan diri." Barina masih menunduk.
"Kenapa?" Wajah Doni mulai memerah.
Tak ada jawaban dari Barina. Wanita itu masih meremas tangan karena terlalu gugup.
"Apa karena aku?" Doni mencoba menebak meskipun ragu-ragu.
Barina mengangguk pelan.
Doni menghela napas panjang berulang kali. "Aku nggak kasih izin," jawabnya tegas.
Mendengar jawaban itu membuat Barina memberanikan diri menatap mata suaminya. Mata mereka berpaut beberapa saat. Tidak ada tatapan cinta dan kasih sayang, hanya tatapan amarah dan menyedihkan. "Aku tetap berangkat meskipun nggak dikasih izin. Aku berhak mengunjungi orang tuaku." Barina tak kalah tegasnya.
"Bukan masalah berhak, Sayang, tapi kamu lagi dalam keadaan yang tidak baik. Aku juga. Kita lagi nggak baik-baik aja. Aku nggak mau kita berjauhan. Kita harus selesaikan masalah dulu," jelas Doni sebaik mungkin agar istrinya mengerti maksudnya dan tidak terjadi salah paham. Namun, nampaknya tujuannya tidak tersampaikan. Wanita itu tetap keras kepala.
"Aku udah masakin. Di kulkas juga udah aku penuhi kebutuhannya jadi nggak perlu belanja lagi. Pakaian dalam udah aku cuci. Tiga hari nanti ambil laundrian." Barina tidak memandang suaminya sama sekali lalu beranjak dan meraih koper besarnya, siap membawanya pergi.
Tubuh Doni menghalangi langkah wanita itu. "Aku nggak butuh makanan kamu kalau kamu pergi. Buat apa? Semua itu nggak akan nikmat kalau kamu nggak ada. Please, jangan pergi, ya." Suara Doni terdengar memohon. Dia mencoba meraih tangan wanita yang dicintainya itu, namun Barina segera menarik tangannya.
Beberapa saat terjadi adu mulut. Keduanya bersikukuh dengan kebenaran pendapatnya masing-masing. Hingga pada akhirnya Doni kehabisan kesabaran dan cara untuk mempertahankan langkah istrinya.
"Aku nggak tau lagi mau kamu. Semua ini seolah kesalahan aku. Kamu menghukum aku sebegininya, sedangkan aku nggak tau salahku apa. Kalau aku salah, bilang! Jangan diam begini lalu tiba-tiba pergi dari rumah dengan alasan ke rumah bapak. Aku ini suami kamu. Ada tanggung jawab yang disimpan di sini." Doni menepuk bahunya sendiri.
"Kalau tanggung jawabnya berat, lepasin aja. Aku nggak maksa."
Mendengar ucapan Barina membuat hati Doni semakin sakit. Dia menggeleng frustasi sambil mengusap wajahnya. "Aku nggak paham sama jalan pikiran kamu. Kayaknya memang aku yang payah. Dari dulu aku memang lelaki payah." Dia menghela napas berat. "Kalau kamu mau ke rumah bapak, aku kasih izin dengan berat hati, asalkan aku antar." Doni sudah menurunkan egonya berharap Barina menerima jalan terakhir ini. Setidaknya, di perjalanan ada waktu untuk berdua.
"Nggak usah!" tolak Barina langsung. "Aku bawa mobil sendiri." Wanita itu melewati suaminya dengan santai.
Doni meraih tangan istrinya. "Aku antar."
Barina sebisa mungkin melepaskan tangannya dari genggaman Doni. "Aku bilang nggak usah." Nada suara Barina agak meninggi sehingga membuat Doni mematung dan tanpa sadar melepaskan genggamannya. Dia tidak menyangka istri yang selama ini dicintai melakukan itu. Kenangan buruk pernikahan terdahulunya tiba-tiba kembali mengusik ingatannya. Mantan istrinya melakukan hal yang sama saat pergi dari rumah. Ingatan buruk itu tanpa sadar membiarkan Barina meninggalkan rumah dengan mobilnya. Saat Doni kembali tersadar, wanita itu sudah lenyap dari pandangannya. Doni memerosot di depan pintu lalu menenggelamkan wajahnya sambil memeluk kedua lutut. Dia merasa gagal kedua kalinya. Dia tidak tahu harus kuat atau kembali rapuh seperti dulu. Yang dirasakan saat ini adalah perasaan hancur dan gagal. Dia merasa gagal menjadi seorang suami untuk kedua kalinya.
------
Kalau kalian harus memilih, kalian akan berdiri di sisi siapa dan alasannya kenapa?
Terima kasih sudah membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top