Piece #39: Nasihat Kawan

Senin pagi Alexa sudah bersiap-siap untuk ke rumah Barina setelah memastikan pekerjaan di kafe sudah bisa ditinggal dan anaknya sudah di antar ke PAUD. Dia juga sudah membuat makanan manis yang bisa mengubah suasan hati untuk sahabatnya yang masih berkabung.

Dalam perjalanan, Alexa mampir sejenak ke toko bunga. Wanita itu menyusuri setiap keranjang bunga sambil menyapu padangan. Dia menghidu satu persatu jenis bunga dan bingung untuk memilih. Akhirnya, dia pun menyerah dan menghampiri pelayan yang tengah menata buket.

"Mbak, saya cari bunga untuk orang yang lagi sedih. Apa, ya, kira-kira?" tanya Alexa.

"Tulip bagus, Bu."

"Ya, sudah. Buatkan, ya."

Saat menunggu bunga dipersiapkan, Alexa mengeluarkan ponsel dan menekan sebuah nomor di kontaknya. Bunyi sambungan telepon mulai terdengar namun belum juga diangkat. Dia mengulangnya lagi. Tak lama telepon itu diangkat seseorang, namun tak ada suara apapun. Alexa sempat ragu. "Halo!" ucapnya berulang kali sambil sesekali menjauhkan ponsel dari telinga dan memandang nomor yang dihubunginya, memastikan tidak salah nomor. "Bar! Lo di situ?" tanyanya memastikan.

Lama tak ada jawaban.

Alexa memastikan nomornya lagi. "Benar, kok, nomor Barina," ujarnya sendiri. "Bar! Meskipun lo nggak mau ngomong, gue mau ketemu lo sekarang. Gue udah jalan ke rumah lo. Bukain pintunya, ya. Awas aja kalau nggak dibukain. Gue marah." Alexa diam sejenak menunggu jawaban sahabatnya. Namun, yang telepon terputus begitu saja. Alexa mengernyit sambil memandang ponselnya yang menampilkan foto anak dan suaminya di tampilan depan. Dia menggeleng sambil memasukkan ponsel ke saku celana jin hitam.

Usai menerima bunga pesanan dan membayarnya, dia melajukan mobilnya lagi menuju rumah Barina. Dalam perjalanan, Alexa memikirkan apa yang harus dikatakan nanti, sebab dia tahu betul karakter Barina yang tidak suka digurui, meskipun kadang wanita itu pernah bersikap menggurui. Bagaimanapun juga, Barina-lah yang mendukung dirinya saat masa kelamnya dulu. Dia yang paling memahami pahitnya kehidupannya dulu. Inilah saatnya Alexa membalas kebaikan sahabatnya itu.

Awalnya, Marcus ingin menemani istrinya, namun pekerjaan memaksa pria itu untuk mengurungkan niat. Sudah lama pria itu tidak bertemu Barina. Banyak jasa wanita ini dalam perjuangan mereka. Mereka tidak bisa melupakan jasa Barina begitu saja.

Alexa tiba di depan rumah Barina. Dari luar, rumah itu nampak kurang terurus. Tanaman yang biasanya segar, kini mulai kering karena belakangan ini cuaca sangat panas dan Barina tidak menyiramnya. Pintu rumah tertutup rapat. Sunyi dan hening.

Alexa menenteng makanan dan bunga di kedua tangannya. Di depan pintu, dia memanggil Barina, namun tidak ada jawaban. Panggilan kedua, tidak ada jawaban. Hingga panggilan kelima, belum juga ada jawaban. Wanita itu sempat berniat menelepon sahabatnya, namun saat dia hendak merogoh saku celana untuk mengeluarkan ponsel, terdengar seseorang membuka kunci dari dalam, setelah itu hening kembali.

Alexa mengayun gagang pintu untuk membukanya. Tidak terkunci dan tak ada siapapun di baliknya. Perlahan, dia membuka pintu itu. Ruang tamu sudah mulai terasa dingin. Kehangatan yang biasanya menyambut siapapun yang datang ke rumah itu, kini kehangatan itu tak membekas. "Bar!" Alexa memanggil nama sahabatnya. Alexa menyapu pandangan sambil mengendap-endap. Kedua matanya mengunci seseorang yang duduk di sofa sambil memunggungi ruang tamu. Alexa buru-buru menutup pintu dan menguncinya kembali. Dia mendekati Barina dengan langkah yang sangat hati-hati.

"Bar! Gue bawa kue, nih." Alexa berdiri sejenak di belakang wanita itu. "Gue taruh di piring, ya." Dia berjalan menuju dapur. Di sana Alexa menaruh bunga di vas yang tidak berisi setelah mengisi air ke dalamnya. Vas itu adalah pemberiannya saat Barina menikah. Nampaknya sahabatnya itu tidak pernah mengisi vas itu dengan bunga.

"Lo udah makan?" Kini Alexa sudah mulai rileks setelah melihat wajah Barina dari depan, nampak mengkhawatirkan. Tidak ada kebahagiaan terpancar di sana. "Lo harus makan kue ini. Produk baru gue ini." Alexa meracau begitu saja meskipun tidak ada respon. "Makanan manis itu bisa mengembalikkan mood jelek, Bar. Lo pasti udah tahu itu, kan." Dia meninggalkan dapur dengan dua piring kecil dengan potongan kue di masing-masingnya. Dia duduk di samping Barina setelah memberikan kue itu.

Barina menoleh ke arah sahabatnya yang tengah menyuap potongan kue ke mulutnya.

"Kalau kata anak gue, enak." Ucapan Alexa berhenti saat pandangannya bertemu dengan mata Barina. Beberapa saat mereka bertatapan tanpa kata.

Barina memeluk Alexa dan melepaskan tangis di sana. Alexa meletakkan piringnya di sampingnya lalu menepuk lembut punggung Barina dengan tempo yang sangat pelan tanpa bicara. Dia menunggu sahabatnya untuk memulai membuka pembicaraan mengenai masalahnya. Menangislah, Barina, sampai kau puas lalu bangkit kembali, batinnya.

"Makasih, Lex, udah mau ke sini buat hibur gue." Akhirnya Barina membuka suara. Dia terisak di bahu Alexa.

"Iya, Bar. Itu perannya sahabat, kan?"

Barina melepaskan pelukannya. "Gue down banget, Lex. Gue ternyata nggak sekuat yang orang bilang. Gue baru ngerasain kehilangan. Gue shock. Rasanya Tuhan mau gue merasakan apa yang orang lain rasakan. Tapi, kenapa anak gue yang diambil? Kenapa enggak gue aja?" Dia menutuo wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Hush! Lo jangan ngomong gitu. Kalau lo yang diambil, nanti yang down bukan lo tapi banyak orang. Orang tua lo, kita berenam, suami lo. Banyak yang kehilangan. Nggak ada orang yang mau merasakan kehilangan, Bar. Enggak ada. Semua orang di dunia ini cuma ingin bahagia." Alexa mengusap kepala Barina. "Gue paham perasaan lo. Tapi, berlarut itu nggak baik. Apalagi sampai mengabaikan suami lo."

Barina menoleh.

Alexa memahami pandangan itu. "Suami lo datang ke kafe dan minta tolong ke gue buat hibur lo. Kasihan dia, Bar. Dia seperti kehilangan arah. Gue bisa lihat dari matanya kalau Doni sayang dan cinta banget sama lo. Dia lebih terpuruk dari lo, Bar. Mata nggak bisa bohon. Sampai minta tolong gue. Dia tahu siapa yang bakal lo dengar. Itu namanya apa? Dia peduli sama lo. Dia mau lo bangkit. Dia nggak mau lo kayak gini." Alexa menghela napas panjang. "Sorry. Gue tahu lo nggak suka digurui. Gue nggak minta lo harus dengar omongan gue. Lo dengar kata hati lo aja, karena ini nggak akan membohongi lo." Alexa menunjuk dada Barina untuk mengibaratkan tempat hati.

Barina menunduk. Kedua kakinya dinaikan ke atas sofa lalu menenggelamkan wajahnya di sana sambil memeluk kedua lutut. "Gue tahu, Lex. Gue emang jahat, Lex." Dia memandang Alexa lagi. "Gue udah bunuh anaknya, Lex. Gue ceriboh. Lo tahu, kan?" Barina mengguncang bahu Alexa.

Alexa menggeleng. "Enggak, Bar. Nggak ada pembunuh dan dibunuh. Semua ini udah takdir. Ini ujian. Seharusnya kalian saling menguatkan. Kalau Doni punya pikiran kayak lo, nggak mungkin dia minta tolong gue buat hibur lo."

Barina kembali menenggelamkan wajahnya.

"Dia sayang banget sama lo." Mata Alexa menangkap foto mereka berdua saat bulan madu. Senyuman kebahagiaan itu. "Dia sudah segenap hati menerima lo apa adanya. Lo bersyukur dapat suami kayak Doni," ujarnya sambil memandang foto yang berdiri di samping televisi.

Tangis Barina semakin menjadi membuat Alexa segera memeluknya. Sebenarnya, dia pun ingin menangis, namun sebisa mungkin menahan air mata agar tidak jatuh. Beberapa kali dia menengadah untuk mengendalikan air matanya. Jika tak tertahan, Alexa langsung menyekanya agar tidak disadari oleh Barina. Gue berharap lo kuat, Bar, seperti Barina yang gue kenal. Lo selalu positif dan tegar. Gue kangen lo yang gue kenal. Kita ketawa lagi. Tersenyumlah, kawan, batin Alexa.

-------

Terima kasih sudah membaca.

Mohon maaf baru sempat update karena lagi sibuk dengan college, kerjaan dan urusan lainnya. Support cerita ini terus, ya! 🙏 Terima kasih sudah setia menunggu dan membaca piece demi piece. Terima kasih juga 6K reads-nya. Kalian luar biasa. Aku terharu.

Terima kasih pembaca setiaku. 😭

ILY 3000

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top