Piece #38: Kecupan Kerinduan

Setelah seminggu pasca kehilangan anaknya, Barina belum juga reda dari kesedihan. Segala cara dilakukan Doni untuk mengembalikan keceriaan wanita itu. Perlengkapan bayi yang sempat mereka beli, selalu dipeluk dan dibawa ke mana-mana olehnya. Dia sampai lupa untuk mengurus suaminya. Doni sempat hendak membuang semua barang itu agar istrinya tersadar kembali ke kenyataan, namun malah membuat mereka bertengkar. Barina menganggap suaminya tidak bisa menghargai anaknya, sedangkan belum ada satu barangpun yang sudah dipakai anaknya. Entah dari mana Barina menganggap membuang berarti tidak menghargai. 

Dua hari setelah mereka kembali ke rumah, Doni mengunjungi Alexa ke kafenya dan meminta tolong untuk menghibur istrinya sebab sehari setelah mertuanya pulang, Barina sulit diajak bicara, bahkan makan pun enggak. Setiap Doni bicara, wanita itu pura-pura tidak mendengar. Nampaknya, istrinya mulai ada gejala depresi. Seharusnya, harus dibawa ke psikiater, namun Doni terlampau takut untuk menginjak kaki ke sana sebab bisa mengembalikan ingatannya tentang luka lama, seberapa menderitanya dia dulu.

Doni mengerti bahwa menerima kehilangan sesuatu yang dicintainya adalah hal yang sulit dilakukan. Hati sudah berniat ikhlas dan menerima, namun kenyataanya tidak demikian. Oleh karena itu, dia memilih meminta tolong ke Alexa sebagai sahabat terdekat Barina. Dia teringat Barina pernah cerita tentang seberapa dekatnya mereka.

Alexa meringis sedih mendengar keadaan Barina dari pria itu. Dia tidak menyangka bahwa sahabatnya yang paling ceria dan cuek bisa juga frustasi karena kehilangan. Alexa mencoba mengingat kembali bahwa sahabatnya itu belum pernah mengalami kehilangan seumur hidupnya. Wajar saja jika dia memiliki gejala depresi. Alexa menyanggupi permintaan Doni dengan satu syarat. Dia tidak mau memaksakan Barina sebab sahabatnya itupun tidak memaksakan kehendaknya saat dirinya mengalami masa-masa sulit dulu. Doni menyetujuinya. Alexa berjanji akan ke rumahnya hari Senin saat kafe sepi. Doni tidak bisa memaksakan kehendak. Bagaimanapun juga, Alexa memiliki kehidupan sendiri yang lebih penting. Mau tidak mau, dia harus menerimanya.

Setiap pagi, Doni merasa ada yang kurang. Biasanya, istrinya membangunkannya untuk solat dan mandi. Kini, kebiasaan itu tidak terjadi. Wanita yang memberinya semangat tidak ada di sampingnya. Semalaman Barina tidur di sofa sambil memeluk baju bayi yang sudah dikeluaran dari pembungkusnya. Melihat istrinya tidak ada di sisinya, Doni hanya bisa meraba tempat Barina biasanya tidur dan memandang sendu. Dia rindu istrinya yang dulu. Tanpa sadar, pria itu menangis hingga terisak lirih. Kemungkinan Barina tidak mendengarnya karena masih terlelap. "Aku kangen kamu, Sayang." Doni mengatur napas. "Aku kangen pelukan kamu. Tangan kamu yang selalu belai kepala aku setiap bangunin aku. Aku kangen." Doni menutup wajah dengan lengannya agar tangisnya tidak didengar Barina.

Pria itu memutar posisi badan dari miring ke kiri menjadi terlentang. Tatapannya kosong menatap langit-langit kamar yang diterangi biasan lampu dari ruang keluarga. Tiba-tiba biasan itu seakan menayangkan kisah cintanya dengan Barina. Ujung bibirnya tertarik sehingga membentuk lengkungan. Air matanya terus jatuh membasahi pelipis. Dadanya mulai sesak. Dia menutup kedua mata dengan telapak tangan sambil melepaskan isakan lalu menyeka air mata di pelipis. "Maafin aku." Badannya gemetar. "Aku nggak sekuat yang kamu kira. Aku juga rapuh seperti kamu. Aku juga kehilangan, tapi aku nggak mau kehilangan kamu juga." Kini suaranya terdengar lantang sehingga membangunkan Barina.

Wanita itu mendengarnya dengan jelas. Dalam senyap, dia pun menangis. Meskipun otaknya belum bisa mengolah alasannya menangis, namun hatinya terasa sakit mendengar ucapan suaminya. Air matanya membasahi baju bayi yang sedari tadi berada di bawah pelipisnya karena posisinya yang miring ke arah televisi. Barina kembali terlelap.

Rumah itu terasa sunyi. Saat berangkat kerja, Barina tidak mengantarkannya ke mobil seperti biasa. Pulang kerja pun, dia tidak menyambut suaminya. Kegiatannya hanya untuk dirinya sendiri dan bicara dengan barang-barang bayi. Jiwanya seperti sudah terganggu. Karena itulah, Doni meminta tolong Alexa.

Rabu malam, Doni pulang kerja dengan keadaan letih, pikiran dan fisik. Makan malam hangat yang biasa menyambutnya untuk melepaskan penat, tidak terbayangkan lagi olehnya. Ini sudah hari ketiga dirinya dan Barina tidak berbicara seperti biasa. Dalam kondisi lelah, emosi cenderung labil.

Doni membuka pintu dengan perasaan campur aduk. Biasanya wajah cantik istrinya sudah menyambut di ambang pintu. Malam ini tidak. Dia menemukan istrinya tengah berbaring di kamar sambil memandang ke luar jendela. Dia tahu bahwa suaminya pulang.

Doni berdiri mematung di depan pintu kamar dengan perasaan kesal. "Kamu tau aku pulang, kenapa nggak nyambut aku?" tanyanya dengan nada datar.

Barina tidak menjawab. Dia masih memunggungi pria itu.

Doni menguasap wajahnya dan berusaha menahan diri untuk tidak terpancing emosi. "Kamu mau sampai kapan seperti ini?"

Barina masih tidak merespon.

Doni menunduk lemas. "Aku nggak kuat kamu giniin. Yang kehilangan bukan kamu aja, aku juga. Dia bukan anak kamu aja, anakku juga. Kita orang tuanya."

"Kenapa nggak sedih?" Akhirnya Barina merespon tanpa mengubah posisi.

Doni mengangkat wajah setelah mendengar suara Barina yang seakan telah lama hilang. "Siapa bilang aku nggak sedih? Aku sedih tapi nggak berlarut kayak kamu." Doni mendekat.

"Bohong!" Barina bangkit dari tempat tidur lalu duduk di tepi ranjang.

"Kalau aku berlarut seperti kamu, kita nggak makan, Sayang. Aku harus kerja, menjalani hidup. Ratu pasti mau kita melanjutkan hidup."

Barina terdiam. Dia tidak merespon apapun lagi. Suaranya menghilang kembali.

Doni menunduk. "Aku capek kamu kayak gini. Aku mau kita menjalani hidup lagi. Kehilangan bukan berarti harus meratapi kesedihan."

Barina bangkit dan berjalan mendekati suaminya. Pandangannya menatap tajam. Dia menyeringai. "Pintar sekarang, ya, seperti nggak pernah depresi."

Doni terkesiap mendengar ucapan istrinya. "Kamu kenapa bahas itu lagi?"

"Jangan sok ngajarin aku kalau kamu sendiri pernah mengalami berada di titik bawah." Barina melengos begitu saja.

Doni mematung. Benar. Seharusnya, dia tidak berkata demikian. Dirinya pun pernah berada di posisi terpuruk. Dia membatin.

Malam itu, mereka tak lagi saling berkomunikasi. Doni menyerah dengan sifat keras Barina. Dia takut berkata kasar dan terpancing amarah. Dia tidak ingin sikapnya menyakiti wanita itu. Doni memilih memperhatikannya dari jauh. Jika Barina tertidur, dia menyempatkan untuk mengecupnya sebagai penghantar ucapan selamat tidur, mimpi indah dan ucapan kerinduannya. Barina kadang menyadari perlakuan manis suaminya namun gengsi untuk mengakuinya. Jika dia menyadari, air mata jatuh seenaknya tanpa diminta. Perasaannya terasa sesak dan sakit, merasa jahat telah menyakiti suaminya. Dia merasa telah menyakiti suaminya dengan membuat anaknya meninggal gara-gara kecerobohannya. Barina terus menyalahkan diri sendiri dan niat nekat pun sempat terselip meskipun masih ada keraguan.

---------

Untuk menyemangati author, jangan lupa vote dan share cerita ini ke sosial media yang kalian punya, ya, mate!

Terima kasih sudah membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top