Piece #37: Mencoba Ikhlas

Acara pemakaman bayi yang tidak berdosa berjalan dengan lancar meskipun dibanjiri air mata dari pihak keluarga, terutama Nita. Besar harapannya untuk mendapatkan cucu dari Doni. Marina hanya berkaca-kaca. Bagi orang yang belum merasakan kehadiran dan menaruh harapan sang mendiang, tidak akan sedih berlarut. Barina dan Doni merasakan kehadiran Ratu sejak Barina menunjukkan test kehamilan kepada suami dan keluarga. Perjalanan kehamilan Barina pun membuat wanita itu menanti kehadiran gadis mungil yang kelak menuruni kecantikan dan ketampanan orang tuanya. Begitupun dengan keluarga dan sahabat yang juga menanti kehadiran gadis mungil itu. Namun, semua sudah terjadi. Pada dasarnya, Ratu milik Tuhan, maka Tuhan berhak pula atas nyawa dan kehidupan anak itu. Kita tidak bisa mencegahnya. Kita hanya bisa ikhlas dan mendoakan almarhumah dan pihak keluarga yang ditinggalkan. 

Selama proses pemakaman berjalan cepat, sesuai permintaan pihak keluarga. Nita beserta asisten rumah tangga mengadakan tahlilan di rumahnya. Sedangkan, Doni kembali ke rumah sakit untuk bergantian dengan mertuanya. Sudah semalaman mereka menemani Barina di rumah sakit. Lebih baik mereka istirahat pulang.

Di dalam perjalanan, Doni hanya bisa merenung. Aroma Ratu yang sempat tertangkap oleh penghidunya saat menciumnya berulangkali membuat pria itu tak kuasa menahan air mata. Pandangannya dilepaskan ke jalan raya ibu kota yang begitu padat sambil sesekali mengusap air mata dengan jemarinya. Bono melihat atasannya itu dari kaca dashboard karena Doni duduk tepat di belakang supir. Bono berniat memberikan tisu kepada pria itu, namun dia tidak berani mengganggu kesedihan atasannya. 

Doni menghapus bersih air matanya saat mobil tiba di basement rumah sakit. Dia bertanya kepada Bono tentang penampilannya apakah nampak menyedihkan atau tidak. Dia juga meneteskan cairan mata untuk menghilangkan mata merah pasca menangis tadi. Dia ingin terlihat tegar di depan Barina. 

Doni masuk ke dalam lift yang juga ada dua orang wanita, sepertinya mereka hendak menjenguk pasien di rumah sakit ini. Doni memasukkan kedua tangannya ke saku celana sambil menunduk. Kedua matanya memperhatikan sepatu dan lantai lift sambil memikirkan obrolan apa yang akan diutarakan ke Barina sebagai hiburan, atau hal apa yang bisa dilakukannya untuk menghibur wanita itu. Selama lift naik, beberapa kali lift terhenti dan pintu terbuka sehingga kini lift mulai sesak karena orang terus masuk ke dalam lift. Segala perasaan bercampur aduk di dalam lift itu. Ada yang menangis tersedu-sedan, ada yang lemas seperti dirinya, ada juga yang sibuk menyeka air mata dan menahan cairan hidungnya keluar, bahkan ada pula yang membirakan wajah datar. Semua di dalam lift itu menyiratkan suasana sendu. Kadang, Tuhan memang baik dengan menempatkan atau memberitahu kita yang tengah bersedih di tengah orang yang juga bernasib sama, bahkan lebih menyedihkan dari kita. Tuhan hanya ingin kita bersyukur dengan apa yang terjadi di kehidupan dan belajar ikhlas atas kehilangan apapun yang sifatnya sekedar titipan. Doni memandangi wajah mereka satu-persatu lalu kembali memandang sepatunya yang terlihat sedikit karena terhalang badan orang di depannya. 

Pintu lift terbuka. Orang berhambur keluar, sebagian sudah turun di lantai sebelumnya. Doni masih melangkah lunglai sambil menunduk. Kedua tangannya masih dimasukkan ke saku celana. Seakan sudah tahu posisi kamar istrinya, dia tidak perlu menatap ke depan. Cukup menggunakan ingatan dan naluri. Posisi kamar Barina tidak jauh dari lift, hanya beberapa langkah saja. 

Langkah pria itu terhenti saat seseorang memanggil namanya. Suara itu sangat familier di telinganya. Dia mengangkat wajah dan menoleh ke arah suara itu berasal. Orang itu meminta Doni untuk duduk di sampingnya. Tanpa protes dia melakukannya. 

"Bagaimana proses pemakamannya?" tanya Barata dengan pandangan teduh. 

Doni mengangguk sedikit lalu berkata, "lancar tapi ... berat, Pak." Dia menggeleng sedikit lalu mengangkan kedua telapak tangannya dan memandanginya beberapa saat. "Enggak nyangka, Pak, tangan ini harus memakami putri yang belum sempat aku timang, aku besarin, aku ajak main, belikan boneka, menyuapinya, mendengar tawa dan tangisnya. Malah, aku lebih dulu merasakan mengafani dan memakaminya." Dia menunduk dan menangis meski suara tangisnya nyaris tidak terdengar, hanya geteran bahunya yang nampak kuat. Dia menarik napas panjang lalu mengepal tangan kanannya dan memukul dadanya pelan. "Sakit dan sesak, Pak. Sulit untuk ikhlas. Kenapa harus keluargaku?" Kini tangis Doni terdengar lirih. "Lebih menyakitkan, lihat Barina. Aku nggak sanggup melihat dia nangis, tapi aku juga nggak sanggup berlagak sok tegar. Aku juga kecewa. Aku juga ingin nangis bersamanya. Aku nggak masalah terlihat lemah di matanya. Aku ..." Kalimat Doni terputus. 

Lorong rumah sakit terasa hening beberapa saat sebelum suara ribut terdengar dari kamar Barina. Barata dan Doni segera menghambur ke dalam. Di sana, Barina dan Marina tengah beradu mulut. Marina mematung beberapa meter dari ranjang anaknya, sedangkan Barina memandang ibunya dengan tajam. 

"Semua gara-gara Ibu!" pekiknya. wajahnya merah padam, matanya bengkak karena menangis semalaman dan rambutnya tak terurus. 

Marina tertunduk menahan emosi. "Iya, gara-gara Ibu. Salahkan Ibu saja, Nak! Ibu ikhlas." Suara Marina mulai terdengar parau. 

Melihat situasi itu Barata mendekati istrinya lalu memeluknya. "Jangan bicara seperti itu ke ibumu, Bari!" tegas pria itu. 

"Bapak belain Ibu aja terus. Dari dulu Ibu memang nggak pernah senang lihat Bari bahagia. Dari dulu Ibu cuma mikirin maunya sendiri. Sekarang, nasib yang Ibu terima diturunkan ke Bari. Salah Bari apa, Bu? Pak? Bari nggak mau bernasib seperti Ibu." Barina mulai tersedu. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. 

Mendengar ucapan istrinya membuat Doni terpaku. Dia tidak menyangka Barina berani berkata seperti demikian kepada ibunya. Ini bukan Barina yang dia kenal. Barina tidak sekasar itu. Yang tadinya dia berniat untuk bersikap tegar di depan istrinya, kini berubah kesal. "Cukup, Barina!" 

Barina mengangkat wajahnya dan memandang suaminya yang masih berdiri di depan pintu. 

Doni menggeleng pelan dengan wajah tegas. "Kamu nggak boleh berkata kasar seperti itu ke Ibu. Dia ibu kandung kamu sendiri. Dia yang melahirkan kamu dan besarin kamu dengan kasih sayang." 

Barina terkesiap dengan ucapan suaminya yang berbalik menyalahkan. "Jadi, sekarang Kak Doni ikut menyalahkan aku? Iya. Aku yang salah. Semua memang salah aku. Aku juga yang membunuh anakmu, Kak. Aku nggak pantas jadi seorang ibu. Seharusnya, kamu jangan menikah denganku, Kak." 

Kedua mata Doni semakin lebar. Langkahnya perlahan mendekat. Dia merasa istrinya mulai ngelantur ke mana-mana. "Aku ngomong apa, sih? Nggak ada yang salah. Semua ini udah takdir dari Tuhan. Kamu nggak berhak menyalahkan orang lain, apalagi diri sendiri. Kita bisa lewati ini semua sama-sama, Sayang." Kini mereka berjarak beberapa langkah saja. 

"Andaikan aku bisa lebih perhatian sama anak kita, aku yakin dia masih hidup di sini." Barina mengusap perutnya yang jahitannya belum kering. "Maafin aku." Barina melepaskan tangisnya.

Doni mendekati istrinya lalu memeluknya. Dia pun ikut menangis, tidak ingin terlihat tegar agar Barina tahu bahwa bukan dirinya saja yang terpukul dan kehilangan, tetapi dia juga. Doni tidak ingin istrinya merasa sendiri. 

Barata membawa Marina ke luar untuk menenangkan suasana hati wanita itu dan membiarkan Doni dan Barina menenangkan hati mereka bersama. 


------

Menulis konflik ini benar-benar membuatku gelisah dan sedih berkepanjangan. Galau tanpa sebab. Ini benar-benar menyakitkan buatku.

Untuk menghargai dan menyemangati penulisnya, jangan lupa vote kalau suka dan share kalau dikira bermanfaat. Jangan lupa follow juga, ya. Berteman lebih baik agar saling mengenal. 

Terima kasih sudah membaca. Mari kita berdoa untuk kebahagiaan Barina dan Doni!




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top