Piece #35: Kecewa, Luka dan Air Mata

Selama operasi, Doni tidak pernah melepaskan genggamannya sambil membelai kepala istrinya. Dia mengajak wanita itu bicara, menanggapi apapun yang dikatakan Barina. Bahkan, saat wanita itu mengutarakan rencana-rencana menikmati waktu bertiga nanti, sesak di dada Doni mulai terasa. Meskipun sakit, dia harus tetap tersenyum dan menganggap semua baik-baik saja. Doni merespon istrinya hanya dengan senyuman dan anggukan.

Saat dokter hendak mengeluarkan janin, kelopak mata Barina perlahan tertutup. Bius yang mengalir di pembuluh darah Barina membuatnya mengantuk dan tertidur. Bukan hanya bagian pinggang ke bawah yang kebal, telinganya pun kini seolah kebal suara. Dia terlelap begitu cepat sebelum memeluk bayinya.

Doni menyadari keadaan istrinya. Pandangannya beralih ke perut Barina yang sudah tersayat. Melihat itu, perasaannya campur aduk. Sulit untuk diutarakan dengan kata-kata. Janin dikeluarkan dari rahim istrinya dengan keadaan masih terbungkus plasenta. Dokter perlahan mengeluarkan dan membersihkannya. Tak ada tangisan yang bisa membuncah kebahagiaan semua orang di ruangan itu. Semua terdiam dalam keheningan. Hanya suara peralatan operasi dan instruksi dokter.

Perawat yang bertugas membersihkan bayi menyerahkan bayi putih pucat itu kepada Doni untuk diadzani, dipeluk, dicium untuk terakhir kalinya. Momen ini juga dia ingin melepaskan kecewa, luka dan air matanya agar nanti dapat terlihat seolah tegar di hadapan istrinya. Doni memegang kaki, tangan, dan tubuhnya yang mungil. Tidak ada kehangatan di tubuh bayi itu. Semua terasa dingin. Tubuhnya kaku. Pria itu seperti ingin menangis histeris. Dia tidak kuat lagi menahan kesedihan sehingga meletakkannya di atas dada Barina. Wanita itu tidak menyadari. Doni berkata lirih, "Sayang, anak kita sudah lahir. Makasih, ya, udah mengandungnya selama enam bulan. Kamu hebat." Doni menghentikan ucapannya. Dia menghela napas panjang agar tidak terdengar tengah menangus. "Tapi, kita juga harus rela melepaskan. Anak kita milik Tuhan. Ternyata Tuhan lebih sayang sama Ratu. Meskipun Ratu belum sempat melihat dan main sama kita, dia tetap jadi Ratu kita, kan, Sayang." Doni menenggelamkan wajah di lengannya agar suara tangisnya tidak terdengar di telinga Barina. "Aku sayang kamu. Aku juga sayang Ratu. Kalian berdua wanita berarti buat aku. Aku ikhlas, Sayang." Doni memberi isyarat kepada perawat untuk mengambil alih bayinya dan melanjutkan proses. Perawat lain memberikan tisu kepada Doni untuk menyeka air mata. Pria itu menjauh sejenak dari Barina dan menyelesaikan kesedihannya di luar ruang operasi. Dia tidak tahan lagi untuk menahan. Di luar ruang operasi, Doni menangis sejadi-jadinya. Kakinya terasa lunglai. Telapak tangannya meraba dinding dan pria itu terjatuh di sana. Dia bersandar sambil memeluk kedua lutut lalu menenggelamkan wajahnya di sana. "Kenapa?" isaknya. "Kenapa harus keluargaku? Kenapa?" Doni terus mengulang kata tanya itu.

Dokter yang menangani Barina keluar dari ruang operasi dan menghampiri Doni. "Pak!" sapanya dengan nada berduka.

Doni mengangkat wajahnya lalu menengadah sebentar dan mencoba berdiri meski badannya mulai lemas. Dia menunduk di depan dr. Stephanie karena malu wajahnya sembab.

"Saya ikut berduka. Tuhan pasti punya rencana lain atas ujian ini." Dokter itu berusaha menenangkan Doni.

"Rencana lain apa, Dok?" tanya Doni dengan kepala masih tertunduk dan nada lirih.

"Anak Pak Doni jantungnya gagal berkembang dan diikuti dengan organ lain. Kalaupun dia hidup, kemungkinan hidup dengan keadaan cacat," jelas dokter itu.

"Saya lebih baik merawat anak saya meskipun cacat, Dok."

Dokter itu menghela napas panjang. "Keinginan kita seringkali tidak sejalan dengan takdir yang sudah ditentukan Tuhan, Pak. Menurut Pak Doni, Anda lebih baik merawatnya meskipun cacat, tapi belum tentu baik menurut Tuhan. Semua ini sudah digariskan Tuhan, Pak."

Doni tidak berkomentar apapun lagi. Hatinya seperti dihujam benda tajam berulang kali. Sakit, sesak, kecewa, patah, tercampur aduk jadi satu.

"Yang merasa terpukul sekali adalah ibunya. Pak Doni harus siaga apapun respon istri Anda ketika mendengar ini hal ini." Dokter itu memandang pintu keluar. Dia juga harus bersiap menjelaskan berita duka ini ke pihak keluarga yang sudah menunggu di sana. "Saya permisi dulu."

Doni mematung sepeninggal dr. Stephanie. Dia kembali menangis. Telapak tangan kanannya menutup menutup wajahnya, menyembunyikan isak yang mungkin akan membuat berisik. Tak lama perawat mendorong strecher yang di atasnya Barina terbaring di sana. Doni memandang wajah istrinya yang mulai pucat.

"Ibu Barina mau kami pindahkan ke kamar, Pak," ujar salah satu perawat yang mengenakan papan nama Niar.

Doni memandang sejenak wajah perawat itu dengan wajah datar. Jika dilihat dari wajahnya, usia perawat ini kisaran dua puluh lima tahun. Dia teringat masa mudanya yang tidak begitu membanggakan. Pria itu hanya mengangguk pelan lalu berjalan mengiringi Barina ke kamar inap. Di pintu ruang operasi, kedua orang tuanya, mertuanya dan sahabat Barina tengah melepaskan kesedihan, terutama Nita. Marina tidak menangis, hanya diam mematung sambil ditenangkan oleh Barata. Nita menangis dalam pelukan Darma. Dari keenam sahabat Barina, hanya Alexa yang tidak menangis. Dia seperti Marina, hanya mematung dengan wajah tidak percaya. Pandangan mereka serentak mengarah ke arah Barina yang berbaring di strecher. Melihat wajah wanita itu, tangis Nita semakin histeris. Dia tidak percaya mengalami hal ini dan gagal mendapatkan seorang cucu dari anak laki-lakinya. Doni memandang mereka satu persatu lalu melanjutkan langkah mengiringi Barina menuju kamar inap. Dalam perjalanan ke sana, pikirannya kosong. Dia juga memikirkan apa yang harus dikatakan saat Barina sadar dan menanyakan Ratu. Dia benar-benar tidak punya ide untuk hal ini. Otaknya buntu. Kosong. Kebahagiaan yang selama ini didapatkan ternyata sementara.

Padahal Doni sudah mulai bangkit dengan kehidupannya. Apalagi, setelah bertemu mantan istri yang sudah memiliki anak. Dia juga ingin bahagia bersama Barina dan anaknya yang diberi nama Ratu. Namun, kebahagiaan itu ternyata bukan miliknya. Entah memang bukan untuknya atau Tuhan tengah memberi kesempatan sebentar untuk bahagia.

Doni memandangi istrinya di depan pintu setelah Barina dipindahkan ke kamar itu. Keenam sahabatnya duduk mengelilingi wanita itu. Darma masih di luar menenangkan Nita yang masih saja tersedu sedan. Arti baru saja datang dengan anaknya. Dia mendapat kabar dari asisten rumah tangga di rumah saat baru saja tiba di rumah.

Marina mulai menangis di pelukan Barata. Dia tidak menyangka apa yang dialaminya dulu harus dialami juga oleh anaknya. Marina takut anak perempuannya tidak cukup kuat untuk menerima kabar kehilangan ini. Dia tahu betul bagaimana rasa kecewa dan kesedihan yang dirasakan oleh seorang ibu yang kehilangan anaknya saat melahirkan, belum merasakan gerakan nyatanya, mendengar tangisannya, menggenggam kehangatan tangan mungilnya, merasakan rabaan jemarinya. Itu lebih sakit dari kehilangan benda berharga sekalipun. Pikiran Marina menjadi kacau. Meskipun dia dianggap ibu yang tegas oleh Barina, bagaimanapun juga dia tidak ingin melihat anaknya menderita. Ibu manapun ingin melihat anaknya bahagia. Di sisi lain, Barata pun mulai membayangkan perasaan anak perempuan satu-satunya itu. Entah apa yang akan dia lakukan jikalau anaknya datang untuk minta dihibur. Pikiran Barata mulai kosong.

Kehilangan itu menyakitkan dan mengecewakan. Meskipun mampu berpura-pura tegar, air mata tetap mengalir dengan sendirinya tanpa diminta sekalipun. Begitulah air mata, tidak perlu meminta izin kepada hati untuk keluar. Dia akan keluar dengan sendirinya meskipun otak sudah melarang. Inilah hati.

---------
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa vote kalau suka dan share kalau dikira bermanfaat. Jangan lupa follow juga, ya. Berteman lebih baik agar saling mengenal.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top