Piece #34: Keputusan Terberat
Sesampainya di rumah sakit, Barina langsung ditangani oleh dokter kandungan yang masih ada hubungan kerabat dengan keluarga Darmawangsa. Tanpa menghiraukan pasien yang tengah mengantri, Nita mengetuk pintu ruangan dokter tersebut. Di depan pintu menggantung nama dr. Stephanie Putri, SPOG. Nita membuka pintu begitu saja setelah mengetuknya. Barina mengikuti dari belakang tanpa bertanya. Nita menangkap setengah punggung dokter kandungan itu yang tengah memeriksa pasien. Mungkin ini terkesan kurang sopan. Nita menyadari itu, namun kepanikannya membuat wanita tua itu sulit berpikir, sedangkan Barina tidak berkomentar sama sekali. Dia takut dimarahi oleh mertuanya lagi.
Usai dr. Stephanie memeriksa ibu hamil yang masih muda — jika dilihat dari wajahnya kisaran dua puluh lima tahun usianya — dokter itu menyambut Nita dan Barina dengan senyuman dan mengangkat telapak tangannya, memberi isyarat untuk menunggu sebentar. Dia nampak berbicara dengan bidan yang membantunya.
Bidan itu menyilakan Barina untuk berbaring di kasur periksa. Nita duduk di sampingnya dengan wajah cemas. Setelah ibu muda tadi keluar ruangan, Nita langsung menyambar dr. Stephanie dengan penjelasan panjang lebar dengan nada gelisah. Dokter berusia empat puluh tahunan itu mendengar dengan santai sambil mengenakan sarung tangan baru dan bersiap memeriksa dengan usg. "Kita lihat dulu, ya." Ucapan dokter itu seketika memberhentikan celotehan Nita. Dia mengoleskan krim di perut Barina dan mulai menggerakan transducer sambil menatap monitor. Keningnya mengerut lalu tangannya mengoperasikan mesin ultrasonigrafi. Barina, Nita dan bidan juga ikut menatap fokus monitor itu. "Kapan terakhir merasakan gerakan, Bu?" tanya dokter kepada Barina.
"Kemarin sore, Dok," jawab Barina.
"Sebelumnya keram?" tanya dokter lagi.
"Iya, Dok, dua kali tapi habis itu hilang lagi."
Dokter itu mengangguk lalu meletakkan transducer ke tempatnya dan menanggalkan sarung tangan. "Suaminya di mana?"
"Kerja, Dok." Barina mulai bingung dengan ekspresi dokter itu.
"Bisa ke sini?"
"Kenapa dengan cucu saya, Dok?" sambar Nita.
Barina memandang wajah ketakutan Nita. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres.
"Ibu Barina harus segera dioperasi. Janinnya harus segera dikeluarkan karena jaraknya lumayan lama. Seharusnya, saat keram terakhir langsung diperiksakan," jelas dr. Stephanie.
"Saya kira nggak ada masalah, Dok. Soalnya terakhir saya periksa karena keram, kan, juga nggak ada masalah." Barina tidak mau disalahkan.
Dokter itu menarik kedua ujung bibirnya sedikit. "Coba tolong hubungi suaminya untuk datang, ya. Secepatnya karena harus segera tindakan. Sementara silakan tunggu di ruang inap dulu. Kalau sudah datang, bisa panggil saya, ya."
Barina beranjak dari kasur periksa lalu mengeluarkan ponsel. Saat hendak menekan nomor telepon suaminya, Nita lebih dulu menelepon Doni dan meminta pria itu datang dengan nada khawatir. Pikir Nita, jika dia yang menelepon, anaknya akan segera datang. Namun, di sisi lain Barina merasa tidak dihargai. Seharusnya dia yang menghubungi suaminya. Ini masalah tentang anaknya. Barina mulai kesal dengan sikap mama mertuanya. Dia menjadi diam sampai Doni datang. Saat Nita memesan kamar inap untuk menantunya, Barina hanya duduk di kursi roda yang diberikan perawat atas permintaan Nita. Dengan tatapan kosong, Barina memandangi punggung Nita yang tengah sibuk mengurus administrasi kamar inap. Dia membuang pandangan ke sekeliling rumah sakit. Di sana — di kursi tunggu — orang duduk lemas. Ada yang memegang obat yang baru saja diterima, ada yang memegang infus, tangannya diperban, menangis, dan wajah kesedihan lainnya. Pandangannya kembali ke punggung Nita.
Tak lama Doni tiba sambil berlari kecil lalu menghampiri Barina dengan khawatir. Dia langsung memberondong pertanyaan. Barina mengedikkan bahu lalu menaikkan dagu sedikit untuk menunjuk mertuanya. Doni menghampiri Nita dan melakukan hal yang sama. Sementara itu, Barina tidak dapat mendengar percakapan mereka karena di waktu bersamaan lewat pasien teriak kesakitan. Dua orang perawat mendorong stretcher dengan langkah cepat menuju IGD. Kalau dilihat saat lewat, nampaknya pasien kecelakaan karena ada bercak darah yang tertinggal di lantai. Bulu kuduk Barina bergidik ngeri.
Doni kembali menghampiri Barina bersama seorang perawat. "Kita ke ruang inap dulu, ya." Doni membelai kepala istrinya.
Barina tidak menjawab.
Doni mendorong kursi roda itu, mengikuti perawat yang jalan lebih dulu di depannya sambil membawa tabung infus. "Kamu kenapa nggak bilang ke aku kalau perut kamu keram, Sayang?" Doni sebisa mungkin bertanya dengan nada tenang, padahal dalam hati pria itu panik, takut dan khawatir.
"Aku nggak mau Kak Doni khawatir. Terakhir kita periksa, kan, dokter bilang nggak apa-apa." Barina menjawab dengan malas. Kenapa hari ini tiga orang menyalahkan dirinya. Dia mulai kesal.
Doni menahan untuk tidak bertanya, takut dia tidak bisa mengontrol kekhawatirannya. Sebelum bicara banyak dengan istrinya soal ini, dia harus menemui dr. Stephanie terlebih dahulu.
Doni pergi ke ruang dr. Stephanie untuk mendengar penjelasan lebih dalam setelah mengantarkan istrinya ke ruang inap dan membiarkan Barina diurus oleh perawat. Sesampainya di depan ruang dr. Stephanie, Doni langsung disambut oleh bidan yang hendak memanggil pasien berikutnya. Karena melihat kedatangan Doni, bidan mengurungkan niat memanggil pasien berikutnya dan menyilakan Doni untuk masuk ke dalam ruangan. "Dokter sudah menunggu Anda, Pak Doni," ujar bidan itu sambil membuka pintu ruangnya.
Di ruang itu dr. Stephanie sudah menunggunya sambil melihat kembali catatan pemeriksaan kandungan Barina. "Akhirnya Anda datang juga, Pak." Dokter itu menjulurkan tangan hendak berjabat tangan dengan Doni.
Doni tersenyum lalu duduk setelah dipersilakan oleh dr.Stephanie. "Begini Pak, sebelum saya menjelaskan kondisi Ibu Barina, saya harus meluruskan dulu ucapan saya sebelumnya mengenai penjelasan saya saat pemeriksaan terakhir. Saya memang bilang tidak ada masalah dengan kondisi kandungan istri Anda tetapi bukan berarti menganggap remeh keram yang terjadi. Seharusnya Ibu Barina tetap harus memeriksakan kandungan setiap merasakan keram di perutnya. Saya menjelaskan ini agar tidak ada kesalahpahaman lagi." Dokter itu menarik napas panjang lalu menutup laporan pemeriksaan Barina Agatha.
"Lalu, bagaimana dengan kondisi anak dan istri saya, Dok?" Air muka Doni berubah khawatir. Hanya itu yang ingin dia dengar saat ini.
Dokter itu kembali menarik napas panjang dan mulai menjelaskan dengan nada setenang mungkin. "Janin harus segera diangkat dari rahim istri Anda. Harus operasi sesar segera karena janin sudah meninggal di dalam rahim beberapa jam lalu. Pergerakan yang dirasakan Ibu Barina kemarin sore adalah gerakan terakhir janin Anda."
Mendengar penjelasan dr. Stephanie seperti mendengar petir di siang yang terik. Doni terdiam. Dia tidak bisa lagi berkata apa-apa lagi. Pikirannya kosong dan sarafnya seakan berhenti berfungsi. Aliran darah seakan berhenti sehingga membuatnya pusing. "Lakukan yang terbaik untuk mereka, Dok. Kalau anak saya bisa diselematkan, selamatkan, Dok! Saya akan lakukan apa saja agar keduanya selamat," pinta Doni dengan wajah memerah menahan sesak di dalam dadanya. Hatinya seakan ditusuk berkali-kali.
"Istri Anda saya pastikan selamat, tetapi anak Anda tidak mungkin terselamatkan. Jika saat itu langsung diperiksakan, kemungkinan bisa terselamatkan meskipun kemungkinannya kecil. Tetapi ini sudah lebih sepuluh jam." Dokter itu menghela napas lagi. "Ruang operasi sudah dipersiapkan. Anda tinggal tanda tangani persetujuan keluarga. Kita harus bergerak cepat. Saya yang akan mengoperasinya." Dokter itu berdiri dari kursi dan menanggalkan jas putihnya, lalu keluar ruangan menuju kamar operasi. Doni mengikuti dari belakang. Bidan memberi pengertian kepada pasien yang tengah menunggu giliran.
Di depan ruang operasi, Nita tengah duduk dengan perasaan khawatir. Usai mengurus administrasi rumah sakit, wanita itu menghubungi suaminya dan Marina untuk mengabarkan keadaan yang sebenarnya. Marina dan Barata panik buka main mendengar berita mengagetkan itu. Mereka segera meluncur ke rumah sakit. Sementara, Doni menenangkan Barina yang sudah mengenakan baju operasi. Air muka wanita itu nampak cemas.
"Anak kita baik-baik aja, kan?" tanyanya cemas.
Doni hanya diam sambil menarik senyuman. Senyuman itu mengandung banyak makna. Setidaknya, senyuman itu bisa diartikan sesuka istrinya. Dia tidak sanggup mengatakan sebenarnya. Takut Barina tidak siap dengan operasinya dan malah membahayakan dirinya. Kemungkinan Barina akan diberitahu usai operasi. "Kamu mau aku temani?" tanya Doni sambil menggenggam tangan wanita tercintanya itu.
Barina menjawab dengan anggukan.
Doni berusaha keras untuk tidak menangis di depan istrinya. Dia berusaha tegar, kuat dan menganggap semua baik-baik saja. Setidaknya, untuk sementara saja.
------
Untuk mengapresiasi author, mohon tinggalkan jejak baik vote dan komen agar author semangat menulis. Hatur nuhun 🙏
Terima kasih sudah membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top