Piece #31: Pertemuan yang Tak Diduga

Sedari malam hujan turun lebat hingga pagi ini. Doni masih menggeliat di dalam selimut lepas menunaikan kewajiban subuhnya, sedangkan, Barina sudah berpakaian rapi dan sibuk menyiapkan sarapan. Lagi-lagi dia tidak mau memperhatikan kesehatannya sendiri. Padahal tadi malam perutnya sudah mulai terasa keram. Seharusnya, dia memeriksakan kandungan ke dokter segera dan memberi tahu Doni, namun dia merasa janinnya saja yang aktif seperti sebelumnya. Terakhir memeriksakan kandungan karena keram, dokter berkata demikian, makanya Barina menjadi menyepelekan masalah itu sekarang. 

Bi Minah sudah meminta Barina untuk duduk saja dan membiarkan pekerjaan dapur ditangani oleh asisten rumah tangga itu, namun keras kepala Barina tetap lebih unggul. Bi Minah tidak bisa apa-apa. Dia hanya asisten rumah tangga yang harus mendengarkan segala perintah majikan. Bi Minah meninggalkan Barina di dapur dan beralih mencuci baju. 

Doni terbangun karena aroma masakan Barina yang menyeruak ke rongga penciuman. Kelopak matanya seakan dipaksa terbuka. Dengan malas pria itu mengusap wajah lalu menggaruk kepala yang tidak gatal. Juga, menggeliat ke kanan-kiri untuk merenggangkan otot punggung. Dia menyibak selimut dan dalam sekejap tubuhnya terasa dingin karena udara dari pendingin ruangan yang langsung terasa. Dia langsung kembali ke dalam selimut yang membuatnya hangat. Nanti saja, pikirnya. Namun, kini bukan lagi aroma makanan yang menyentil alat penghidunya, melainkan aroma kopi Toraja yang baru didapatkan beberapa hari lalu dari salah satu klien di acara topping off ceremony sebagai tanda terima kasih karena sudah menyelesaikan rancangan struktur tepat waktu hingga topping off. Doni memanjangkan tangan meraih remot pendingin ruangan yang terletak di meja kecil di sisi seberang. Setelah dimatikan, baru pria itu berani keluar dari selimut dan menghampiri aroma kopi itu berasal.

Saat membuka pintu, dia mendapati sang istri tengah mencuci piring bekas masak. Wanita itu ingin memastikan semua bersih sebelum mereka pergi. Melihat itu, Doni bergegas menghampiri istrinya lalu menyambar begitu saja apapun yang dipegang Barina. "Kamu ngapain? Udah, Bi Minah aja yang beresin. Kamu nggak boleh capek."

Barina merebut piring yang dirampas suaminya sambil berkata, "Nanggung."

"Kamu jangan egois dong. Di dalam tubuh kamu ada nyawa manusia. Kamu nggak boleh egois. Kemarin perut kamu udah keram, loh." Doni mulai hilang kesabaran. Kali ini Barina susah sekali nurut. "Bi Minah!" seru Doni dengan pandangan masih menusuk tajam kedua bola mata Barina.

Minah yang tengah bergelut dengan busa dan sabun segera membasuh tangan dan menghampiri majikannya. "Iya, Den." Minah muncul dari balik pintu pembatas kaca yang dibuka sedikit, seukuran satu orang lewat.

Doni berbalik badan. "Tolong selesaikan, ya."

"Iya, Den. Saya lagi beresin cucian dulu. Nanti saya beresin."

Doni kembali memandang Barina. "Setiap hari seperti ini, Bi?" tanya Doni tanpa memandang asisten rumah tangga itu. Dia masih memandangi istrinya dengan tajam.

Minah terdiam. Dia serba salah. Kalau mengadu, Barina bisa mendiamkannya, tapi kalau berbohong, dia sudah salah besar. "I-i-iya, Den," jawabnya terbata-bata. "Saya sudah melarangnya, Den, tapi Ibu tetap mau lakuin," lanjut Minah agar tidak disalahkan.

Doni percaya dengan omongan Minah. Asisten rumah tangga itu sudah lama bekerja dengan keluarganya. Tidak mungkin wanita itu berbohong. Doni kembali ke kamar tanpa berkata apapun. Air mukanya nampak kesal.

Melihat perubahan wajah suaminya, Barina menyusul pria itu ke kamar. "Marah?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Menurut kamu?" Doni masuk ke dalam selimut lagi.

"Aku, kan, cuma mau nyiapin kamu sarapan." Barina duduk di tepi ranjang dengan memunggungi suaminya yang kini ikut duduk di tepi ranjang di sisi lain.

"Aku paham tapi nggak egois begitu. Baru beberapa hari lalu kamu ngeluh keram. Dokter udah bilang jangan kecapekan." Doni tidak mengerti kenapa istrinya begitu sulit untuk memahami.

"Iya. Maaf." Barina menunduk dan melepaskan sarung tangan pencuci piring.

Pagi itu mengubah suasana rumah. Tidak terasa mesra seperti biasanya. Doni sangat kesal dengan sikap Barina yang tidak memikirkan kondisi kandungannya. Doni sayang dengan calon anaknya dan tentu dengan istrinya juga. Dia tidak mau terjadi apapun dengan kedua kebahagiaannya itu.

Barina mengira perubahan sikap Doni pagi ini kemungkinan karena masalah pekerjaan. Padahal Doni tidak memiliki masalah pekerjaan apapun. "Aku antusias bisa jadi wanita seutuhnya. Bisa hamil, nyiapin kamu sarapan, menyiapkan keperluan suami. Memang salah, ya?"

Doni mengela napas berat sekali lalu beranjak dari tepi ranjang dan mendekati istrinya. Tangannya membelai rambut Barina lalu mengangkat dagu wanita itu dengan telunjuk. Barina mendongak. "Bukan nggak boleh. Aku cuma nggak mau kamu capek."

Barina hanya terdiam.

"Jadi mau beli perlengkapan bayi?" Doni mengganti topik pembicaraan.

Barina mengangguk. "Aku udah rapi."

Doni baru menyadari bahwa istrinya sudah tinggal berias dan berangkat. "Ya udah, aku mandi dulu, ya."

Barina mengangguk.

"Temani, yuk!" godanya.

Barina tersenyum lagi lalu menggeleng keras. "Nanti jadi lama dan berlanjut." Dia tersenyum nakal.

Doni ke kamar mandi setelah mengecup ubun-ubun wanita itu.

Hari itu Barina antusias dan bersemangat sekali, terlebih lagi saat berada di toko perlengkapan bayi yang cukup besar. Matanya membulat melihat perlengkapan yang lucu-lucu. Doni mengikutinya dari belakang. Entah kenapa sejak perkara tadi pagi, perasaannya jadi tidak enak seolah ada hal buruk yang akan terjadi.

Semenjak Barina hamil, firasat Doni menjadi lebih tajam dan lebih protective terhadap istrinya. Dia berusaha menghilangkan firasat buruk itu dan menikmati hari ini bersama istrinya.

Di pertengahan, saat mereka tengah memilih baju bayi, Barina memegang perutnya lagi dan meringis pelan. Dia berusaha untuk menyembunyikan itu dari Doni agar tidak lagi dimarahi perkara kelelahan. Namun, Doni sudah menyadari hal itu. Dia pura-pura tidak menyadari.

"Kak, haus, nggak?" tanya Barina tiba-tiba sambil melihat-lihat sepatu bayi yang nampak lucu.

"Kamu haus?" tanya Doni balik.

"Iya." Barina mendongak dan memamerkan gigi rapinya.

"Ya, udah. Aku ambil air minum di mobil, ya." Pria itu meletakkan tangan di kepala Barina.

Barina mendongak dan mengangguk. "Makasih, ya."

Doni keluar toko setelah melontarkan senyuman ke wanita itu. Dia bergegas ke mobil dan mengambil botol minum berwarna biru langit dengan motif garis putih di sekelilingnya. Semenjak hamil, Barina rajin membawa minum sendiri demi menjaga steril, apapun yang diminum. Apalagi dokter bilang lebih baik konsumsi air putih daripada minuman berwarna. Setelah memastikan pintu kembali terkunci, dia kembali ke dalam toko. Rasanya tidak tenang meninggalkan Barina sendiri di dalam sana, takut-takut kakinya terasa pegal.

Baru saja beberapa langkah dari mobil, seseorang memanggil namanya. Doni menoleh ke arah suara berasal. Dia tertegun melihat orang itu. Cukup lama. Pikirannya menjadi buyar. Kenapa? benaknya. Kenapa muncul lagi? ulangnya. Dia kehabisan kata-kata.

Orang itu mendekatinya perlahan. Dari air mukanya nampak ada rasa ragu menyelimuti hatinya. "Apa kabar?" tanyanya hati-hati.

Doni tidak menjawab. Bahkan, suara sekitar terasa hilang. Telinganya tiba-tiba berhenti berfungsi. Dia tidak bisa mendengar. Dia hanya melihat orang itu menggerakkan bibir seperti tengah mengatakan sesuatu. Pandangan Doni beralih ke kanan bawah. Seorang anak laki-laki berdiri di samping orang itu. Tangan mungilnya digenggam oleh orang itu.

Doni kembali memandangi wajah orang itu. Dia menggerakkan bibirnya lagi. Waktu terasa bergerak sangat lambat. Orang itu menarik kedua ujung bibirnya membentuk senyuman. Ekspresi Doni masih sama. Datar. Orang itu menggerakkan bibirnya lagi. Kali ini lumayan lama. Sepertinya dia tengah mengatakan sesuatu yang lumayan panjang.

Tiba-tiba suara dengung menyakiti telinga Doni. Perlahan dia kembali bisa mendengar. Rasanya dunia sudah kembali menyadarkan pria itu. Kali ini dia bisa mendengar ucapan orang itu namun hanya ujungnya saja. "Iya?" Doni mengeluarkan suara meminta orang itu mengulang ucapannya lagi.

Orang itu terdiam lalu menoleh ke anak di sampingnya dan kembali memandang Doni. "Apa kabar?"

Kalimatnya pendek. Doni masih terdiam. Dia penasaran dengan ucapan panjang orang itu sewaktu pendengarannya menghilang. "Ba ...." Tenggorokan Doni tersangkut. Nampaknya, pita suaranya pun tidak siap dengan situasi ini. Doni berdeham. "Baik," jawabnya singkat.

"Sudah lama kita nggak ketemu. Kamu kelihatan segar." Orang itu kini bicara panjang. Air mukanya mulai santai.

Doni menarik ujung bibirnya ragu-ragu. Sebenarnya, dia malas untuk tersenyum pada orang itu. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak tersenyum. Wajahnya masih datar.

"Ini anakku." Orang itu mengenalkan anak laki-laki di sampingnya. Anak itu berusia kurang lebih tiga tahun jika dilihat dari postur tubuhnya. "Maaf, aku nggak bilang kalau nikah lagi waktu itu. Aku ...."

"Nggak masalah." Doni memotong ucapan orang itu.

Mereka tidak berbicara beberapa saat. Situasi itu sangat canggung. Suara kendaraan lalu-lalang menjadi suara latar siatuasi ini. Anak di samping orang itu pun tidak bertingkah macam-macam. Dia masih berdiri sambil memandangi Doni dengan wajah polos. Anak itu memiliki kulit putih seperti wanita yang menggenggam tangannya.

"Maaf. Saya harus ke dalam lagi." Doni berkata formal dengan sebutan 'saya'.

"Istrimu di dalam?" Wanita itu menghentikan langkah Doni. "Boleh aku berkenalan dengan istrimu?" tanyanya.

Doni berbalik badan. Otaknya langsung bekerja mencari jawaban yang pas. Dia memunggungi toko.

Wanita itu pun mengambil langkah mendekatinya. Anaknya pun mengikuti langkahnya.

Di lain tempat, Barina sudah berdiri di barisan antre kasir. Dia sudah menunggu suaminya cukup lama. Mau tak mau dia pula yang mengantre padahal kakinya sudah mulai pegal. Jika keluar dari barisan, bisa jadi akan lama lagi. Apalagi setelah satu orang di depannya, tiba gilirannya. Usai membayar semua belanjaan dan menerima struk pembayaran, Barina menenteng kantong plastik bertuliskan nama toko itu di kedua tangannya. Dia tertatih ke luar toko. Untung saja saat di depan pintu, ada karyawan yang bersedia membukakan pintu untuknya. Barina mengucapkan terima kasih.

Tiba di teras toko, dia pun berdiri terkesima melihat Doni tengah memunggunginya dan berhadapan dengan seorang wanita. Nampaknya mereka sedang berbicara serius jika dilihat dari air muka wanita itu. Barina mendekati suaminya dan berhenti tepat satu langkah di belakangnya. Doni tidak menyadari kehadirannya.

"Aku cuma ingin berkenalan." Barina mendengar wanita itu berkata demikian. Barina mulai penasaran dengan wanita tersebut. Siapa lagi ini? benaknya. Dalam keadaan hamil pun, suaminya tetap diganggu wanita lain.

"Sayang, kamu lama banget."

Ucapan Barina mengagetkan Doni. Sontak pria itu membalikkan badan. Dia terkejut saat mendapati istrinya sudah berada di belakang. Apa Barina dengar semuanya? benak Doni sambil merampas belanjaan dari tangan Barina. "Maaf, ya." Air muka Doni mulai rileks dengan kehadiran Barina.

"Kamu istri Doni?" Wanita itu membuka suara lagi.

Barina memiringkan kepala sedikit sehingga wajah wanita itu terlihat dari balik tubuh tinggi Doni. "Iya. Mbak siapa?"

"Saya ...."

"Ayo kita pulang, Sayang!" Doni memotong ucapan wanita itu lagi. Dia bergegas membawa Barina ke mobil. Setelah memastikan Barina aman di dalam mobil, Doni mengatakan sesuatu saat berdiri di sisi mobil satu lagi saat hendak membuka pintu. "Tolong jangan pernah tunjukin diri kamu di kehidupan saya. Anggap aja nggak pernah ada apapun di antara kita. Nikmati hidup baru kamu. Hargai kehidupan baru saya. Begitu saja sudah cukup. Saya harap kamu dewasa dan bijak. Permisi." Doni membuka pintu mobil dan langsung mengenakan sabuk pengaman usai menyampaikan itu. Tanpa berkata-kata dia menyalakan mobil dan melajukannya meninggalkan tempat itu.

Dari dalam mobil, Barina memandangi wanita itu dan anak laki-laki di sampingnya yang masih terpaku di sana. Sebenarnya, Barina penasaran tetapi saat ini nampaknya bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu pada Doni. Barina memilih diam sampai pria itu memulai pembicaraan lebih dulu.

------
Terima kasih sudah membaca. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top