Piece #3: Bulan Madu

Sudah hampir empat minggu mereka menikah namun pekerjaan terus saja berdatangan. Perusahaan Doni mendapat proyek bernilai besar pasca menikah. Mereka menganggapnya sebagai berkah dari menikah. Sedangkan, Barina sudah mulai mempersiapkan laporan keuangan tahunan yang sangat menguras waktu.

Malam itu, mereka baru saja tiba di rumah setelah lelah bekerja. Doni rapat seharian di dua tempat bersama Yuni, sedangkan Barina merasakan pegal di pinggang dan leher setelah seharian duduk di depan komputer. Mereka tidak sempat makan siang bersama, bahkan makan malam pun masing-masing karena Doni tiba di kantor jam tujuh malam.

Sewaktu lelaki itu tiba di kantor, Barina tengah tertidur di sofa, baru beberapa hari membeli sofa santai untuk di ruangannya. Sebenarnya, sofa itu diperuntukkan sebagai tempat tidur Barina saat menunggu suaminya pulang rapat. Wanita itu sudah terbiasa tertidur di ruangan Doni.

Malam itu, Doni menggendong istrinya ke mobil karena tidak ingin membangunkannya. Barina tersadar saat di perjalanan ke rumah, itupun karena Doni menginjak rem tiba-tiba menghindari kucing melintas.

"Kepala aku pusing," keluh Barina sambil memijat kepala belakang yang terbungkus handuk usai mandi. Dia masih memakai jubah mandi berwarna putih dan duduk di atas ranjang sambil meluruskan kaki ke depan kemudian membungkukan badan hingga wajah mencium lutut dan jemari tangan menyentuh ujung kaki. Dia lakukan itu beberapa kali.

Tak lama Doni keluar dari kamar mandi mengenakan jubah mandi berwarna putih juga. Dia mengusap rambut dengan handuk. Langkahnya terhenti saat melihat posisi istrinya yang seperti tengah berolah raga. "Lagi apa?"

"Kelihatannya?" jawab Barina tersengal-sengal karena tengah mengatur napas. Dia kembali menegakkan badan. "Posisi tadi itu menarik otot di sini." Tangannya mengarah ke pinggang belakang. "Kalau tangan untuk merenggangkan di sini." Tangannya diangkat ke atas lalu mendarat di punggung dekat leher. "Pegal banget." Dia melakukannya lagi.

Doni mengangguk, mendengar penjelasan istrinya. Dia takjub mendengar Barina memahami soal otot dan perenggangan. Tak heran jika istrinya gemar olahraga, tubuhnya bagus. Doni duduk di samping istrinya lalu ikut melakukan seperti yang Barina lakukan. Dia susah payah menempelkan wajah ke lutut.

Pemandangan itu membuat Barina menghentikan perenggangan dan terkekeh geli. "Ngapain, sih?"

"Ikutin kamu," jawab Doni sambil mengayunkan tubuh ke bawah.

Barina semakin geli. "Udah jangan. Nanti tulang kamu encok." Dia mengembalikan tubuh suaminya lalu mengelus punggung. "Aku pijitin aja. Mau?" Dia menawarkan.

Doni tersenyum. Dia menyentuh ujung hidung Barina sambil berkata, "mau banget. Apalagi kalau yang pijit orang secantik kamu."

Barina mulai memijit suaminya dari punggung, kepala, tangan, kaki hingga telapak kaki. Sambil memijit mereka membicarakan banyak hal. Doni menceritakan proyek baru yang gambar perancangannya sudah disetujui oleh pihak klien. Barina menceritakan perkembangan laporan keuangan tahunan yang membuat kepala rasanya mau pecah. Cerita Barina bisa jadi sekaligus laporan kepada atasan.

"Capek banget, dong, otak kamu?" Doni menanggapi cerita istrinya.

"Resiko keuangan. Apalagi merangkap HRD, akuntan, audit. Apalagi, ya?" Barina berpikir.

"Tumben baru protes. Beberapa tahun ini kamu nggak pernah protes," sanggah Doni.

"Bukan protes, kasih tau."

"Latihan, Sayang. Nanti kalau udah punya anak, bukan yang kamu sebutkan tadi aja tugas kamu." Doni membuka handuk yang membungkus rambut istrinya lalu meraih tangannya, meminta wanita itu untuk duduk di sampingnya. Barina menuruti lelaki itu tanpa protes. Doni memeluk wanita itu dengan hangat. "Nanti tugas kamu bertambah. Jadi koki, guru, perawat, apalagi, ya?" Dia mengelus dagu.

"Sekarang, kan, udah." Barina melingkarkan tangan di pinggang Doni.

"Iya, sih." Doni mencium kepala Barina sambil mengucapkan doa terbaik untuk istrinya.

Barina menikmati degup jantung suaminya. Ada tanggung jawab, keamanan, kenyamanan dan kebahagiaan dari dalam sana. Pengantin baru ini memang sedang di mabuk asmara.

"Oh, ya. Kita belum bulan madu. Mau ke mana?" tanya Doni.

Barina mendongak memandang wajah suaminya dari dekat. Dia menyipitkan mata sambil berpikir.

"Kamu mau ke Yunani?" Tawaran Doni tidak tanggung-tanggung.

Barina melepaskan tubuh dari pelukan Doni. "Yunani?"

"Iya. Nggak mau, ya?" Doni berpikir lagi.

"Bukan nggak mau, Kak, tapi itu jauh banget. Tiket ke sana mahal. Belum lagi urus visanya. Kita lagi banyak kerjaan, loh, awal tahun begini."

Doni terkesiap mendengar penjelasan wanita itu. Dia menyunggingkan senyuman lebar. "Siapa yang mau sekarang? Nanti kalau kerjaan udah kelar, kita ambil cuti sebulan. Sekalian program itu." Mata Doni menunjuk nakal.

Barina memutarkan bola mata. "Kalau cuma buat itu ngapain jauh-jauh ke Yunani?" Barina membalas dengan pandangan nakal.

"Oh iya." Mereka tertawa. Barina sudah mulai terbiasa menyesuaikan cara bercanda suaminya. Apalagi empat minggu ini dia juga sudah mulai mengikuti cara hidup suaminya, meski ada hal yang berubah dalam hidup lelaki itu. Perubahan itu adalah setiap pagi Doni pasti sarapan dengan menu berbeda; jika ada jadwal rapat, Barina menyiapkan beberapa makanan yang bisa disantap suaminya saat makan siang; Doni datang ke kantor bisa lebih pagi karena menyesuaikan jam kerja dirinya; serta perubahan kecil lain. Menurut Nita, Barina sudah membua anak lelakinya berubah total. Katanya, wajah Doni menjadi semakin bersinar dan bahagia, mudah membuat gurauan serta semakin sayang dan peduli dengan keluarga. Satu lagi, jika bertemu dengan keponakan, lelaki itu selalu mengajak bermain. Biasanya, di rumah pun memikirkan pekerjaan.

"Terus ke mana, dong, Sayang?" Doni bersandar di sandaran ranjang.

Barina meraih remote televisi dan menyalakannya. Pada saat itu sebuah channel  tengah menayangkan keindahan sebuah pulau kecil di Yunani. Mata Barina bersinar melihat keindahan pulau dengan dominasi warna putih. Laut yang biru sangat kontras. Kelopak matanya enggan untuk berkedip. "Cantik banget," lirihnya.

Doni memandang istrinya dari samping lalu beralih ke televisi. Belum ada satu jam bilang ke sana jauh. Dasar wanita. Pikirannya mudah berubah, pikirnya.

"Ke sana aja, Kak." Barina menunjuk ke televisi.

"Itu Yunani, Sayang. Katanya jauh."

"Iya, ya." Wajah wanita itu berubah murung. Dia menyesali ucapan dia sebelumnya.

Doni mengulum senyum. Dia memilih diam, membiarkan istrinya berada di dalam penyesalan. Di dalam kepala, Doni sudah merencanakan sebuah kejutan untuk Barina. Dia menarik tubuh istrinya untuk bersandar bersamanya dan membelai kepalanya sambil berpelukan. "Udah, yang dekat aja," godanya.

Barina memajukan bibir. "Iya," gumamnya kesal. "Enggak juga nggak masalah," lanjutnya dengan nada semakin pelan. 

"Oke," sahut Doni.

Sahutan lelaki itu mendaptkan cubitan kecil di perut. Dia meringis pelan. "Sakit, Sayang." Dia masih mengulum senyum. Kali ini tidak tahan menahan tawa melihat ekspresi Barina yang kesal tapi lucu.

"Habisnya."

"Loh, kok? Aku salah apa?" tanya Doni sambil menahan tawa.

Barina menyipitkan mata dengan kesal. Dia merebahkan badan lalu menarik selimut.

"Serius. Aku mau tau salah aku apa?" Kamu bilang, nggak juga nggak masalah. Kok aku dicubit?" Doni belum berhenti menggoda Barina.

"Iya, nggak masalah. Kita kerja aja biar bisa beli pulau," tanggapannya sinis sambil mengganti tayangan televisi.

Doni melebarkan senyum melihat Barina kesal. Dia mengacak rambut istrinya yang masih basah. "Kamu cemberut aja cantik. Apalagi kalau senyum, bisa tergila-gila aku sama kamu." Doni mengecup pipi Barina spontan. "Udah, jangan cemberut. Nanti kita ke sana."

Ekspresi Barina berubah semringah.

"Ke Pulau Seribu," lanjut Doni.

Barina menghempas tubuhnya lagi. "Resek!"

Doni terkekeh geli. Dia mempunyai hobi baru, menggoda Barina.

----
Suami-istri kayak gini itu momen manisnya. Lelaki suka menggoda istri ketika istri lagi kesal. Karena tak jarang membuat istri kembali tersenyum lagi.

Terima sudah membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top