Piece #28: Kabar Bahagia

"Wah, kantungnya normal, ya. Perkembang janinnya juga sehat," jelas dokter yang sudah beruban tetapi nampak bugar, sepertinya dia rajin berolah raga. Dia memandang layar sonogram sambil mengoperasikan mesin untuk mengolah data seperti mengukur panjang janin dengan tangan kirinya dan menggerakan transducer di perut Badina dengan tangan kanannya.

Barina memandang layar sonogram yang menampilkan sebuah titik yang konon itulah janin yang kelak akan berkembang menjadi manusia bernyawa. Air mata menetes di ujung mata wanita itu sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Dia tidak bisa berkata apapun melihat kuasa Tuhan satu ini. Masih ada rasa tidak percaya bahwa sebentar lagi akan menjadi seorang ibu.

Begitupun dengan Doni. Pria itu pun tidak berkedip memandang layar sonogram. Ada rasa seperti mimpi. Akhirnya, akan menjadi seorang ayah. Bangga, terharu, dan semakin mencintai istrinya. Tangannya terus menggenggam tangan Barina seolah saling memberikan kekuatan dan berbagi kebahagiaan. Dia juga bangga kepada wanita ini yang kelak perutnya akan membesar dan menjadi rumah untuk anaknya selama sembilan bulan.

Usai memeriksa dengan alat USG, dokter menjelaskan segala hal mengenai kehamilan, seperti cara menjadi suami siaga, penanganan morning sickness untuk sang ibu, kehati-hatian karena pada trisemester pertama sangat rentan keguguran serta memberikan vitamin untuk sang ibu. Dokter juga bertanya apakah ada penyakit yang Barina derita.

Barina menjelaskan bahwa dirinya memiliki penyakit mag akut. Dia takut penyakitnya itu mempengaruhi kehamilan pertamanya ini.

"Yang penting, Ibu harus jaga makan. Jangan makan atau minum sesuatu yang memicu asam lambung Ibu, karena kalau sampai asam lambung Ibu naik, ditakutkan mengganggu perkembangan janin," jelas dokter. "Kalau mag kambuh, lebih baik datang ke sini biar dikasih obat yang memang untuk ibu hamil. Jangan minum obat  sembarangan dulu. Kalau pusing, mual, sakit badan, lebih baik periksakan ke sini, ya, Bu," lanjut dokter.

Barina dan Doni mengangguk bersamaan. Mereka mencatat semua yang dikatakan dokter di dalam ingatan mereka. Doni sudah bertekad untuk menjadi suami siaga. Dia akan menjaga istri dan calon anaknya sekuat mungkin.

Mereka keluar dari rumah sakit setelah menebus vitamin di apotek rumah sakit. Dalam perjalanan, Barina tidak henti mengusap perutnya yang belum membesar sambil tersenyum bangga. Akhirnya, dia akan menjadi wanita yang sempurna. Dapat merasakan kehamilan dan menikmati setiap perkembangan janin adalah hal yang membahagiakan bagi setiap wanita yang menikah.

Doni pun ikut tersenyum melihat istrinya sambil mengendalikan stir mobil untuk pulang ke rumah orang tuanya. Dia juga sesekali ikut mengusap perut Barina yang kelak akan membesar.

Barina memutuskan untuk memberitahu kabar bahagia ini kepada Barata dan Marina lewat telepon saja. Dia takut kelelahan jika harus pulang ke Bekasi setelah dari rumah Nita. Dia pun tidak tega jika meminta kedua orang tuanya ke Jakarta. Kasihan, sudah tua.

Sesampainya di rumah orang tuanya Doni, Nita dan Darma yang tengah menonton televisi terkejut melihat kedatangan mereka berdua. Seperti biasa, Nita selalu sigap menyambut mereka dan mengajaknya makan.

"Kita udah makan tadi, Ma," sanggah Doni sambil membantu Barina duduk di sofa setelah menyalami kedua orang tua itu.

"Terus, ada apa ke sini tanpa kabarin dulu?" tanya Nita tanpa basa-basi lagi. Dia kembali duduk di samping Darma setelah meminta asisten rumah tangga untuk membuat minuman untuk anak dan menantunya.

"Mama, Papa sehat?" tanya Barina basa-basi sambil mengendalikan rasa tegang. Antara bahagia dan gugup meracau pikirannya. Dia tidak tahu cara memberitahu kabar bahagia ini kepada mertuanya.

"Sehat, alhamdulillah. Seperti yang kamu lihat sekarang," jawab Nita sambil merentangkan kedua tangannya. "Kamu sehat, Nak?" tanyanya balik.

"Alhamdulillah, Ma."

"Ada apa, nih, kalian ke sini?" Nita mengulang pertanyaannya bersamaan dengan asisten rumah tangga menaruh minuman di depan mereka.

Doni mengeluarkan sebuah amplop dari saku jaket kulit coklat tuanya lalu diberikan kepada Nita tanpa berkata apapun.

Nita dan Darma berkerut kening. Dengan sabar mereka membuka amplop putih itu. Kertas yang menerangkan bahwa Barina hamil dan dua lembar foto usg dikeluarkan dari amplop. Nita memandanginya tanpa berkata apapun, begitupun Darma. Setidaknya, untuk sesaat, memastikan bahwa apa yang dilihat bukan sekedar mimpi semata. "Ini serius?" tanya Nita tak percaya. Pertanyaan itu sama seperti yang diutarakan Doni saat melihat test pack tadi pagi. Anak memang tidak jatuh jauh dari pohonnya.

Barina dan Doni menjawab dengan senyuman disertai dengan anggukan.

Pandangan Nita dan Darma beralih ke perut Barina yang masih kempis, belum ada bedanya dengan sebelumnya.

Merasa perutnya dipandangi oleh mertua, Barina mengusap perut dengan perlahan.

"Alhamdulillah. Menantuku hamil. Akhirnya, anak laki-lakiku punya anak. Terima kasih, ya, Allah." Nita berucap syukur dengan nyaring. Air matanya bergelantung di ujung mata, siap jatuh membasahi pipinya. Dia terharu. Sedangkan, Darma menatap Doni dengan bangga. Doni membalas tatapan itu dengan seutas senyuman. Hanya mereka yang mengerti tatapan antara pria itu.

Nita menyerahkan amplop beserta isinya kepada Doni lalu tanpa permisi duduk di antara mereka sehingga Doni bergeser dengan terpaksa. Nita memeluk menantunya dan berkata, "Terima kasih, Nak. Mama bahagia," ujarnya dekat telinga Barina.

"Barina juga terima kasih Mama dan Papa udah doain kita berdua. Semua ini karena doa kalian."

Nita melepaskan pelukan dan beralih mendekati perut Barina dan bicara di sana. "Halo cucu Oma. Sehat-sehat, ya, Nak di sana. Jangan nyusahin mama kamu, ya!" Tanpa menunggu jawaban dari siapapun, Nita membalikkan badannya menghadap anak laki-lakinya. "Gitu, dong! Mama bangga. Nggak sia-sia bulan madu jauh ke Swiss." Nita menepuk bahu Doni dengan pelan.

Doni hanya menyengir mendengar perkataann mamanya.

Tanpa di minta, Nita meraih ponsel yany diletakkan di atas meja, di samping cangkir keramik berisikan teh manis yang barusan diantar asisten rumah tangga. Dia menekan salah satu nomor yang ada di dalam kontak telepon. Dia menelepon Marina. Nita mengabarkan berita bahagia ini kepada besannya itu.

Niat Barina untuk mengabari orang tuanya sendiri pun pupus sudah. Mama mertuanya terlalu bersemangat untuk mengambil alih bagiannya.

Nita menyalakan pengeras suara sehingga Barina, Doni dan Darma dapat pula mendengar apa yang dikatakan Marina dan Barata di seberang sana. Mereka juga tak kalah terkejutnya mendengar kabar bahagia ini.

Kebahagiaan memenuhi seisi rumah itu. Doni merapatkan badannya kepada Barina dan merangkulnya mesra. Dia menoleh memandangi wajah istrinya yang tengah tersenyum dari samping. Wajah itu sulit membuatnya menahan untuk tidak menambah kecintaannya kepada Barina. Dia mengecup bahu Barina yang dekat dengan wajahnya beberapa kali sehingga sulit membuat wanita itu tidak menoleh. Mereka bertatapan beberapa saat. Tatapan itu penuh makna seakan bicara dari hati dan saling menyampaikan kebahagiaan dan rasa cintanya yang terus bertambah.

Barina tidak bisa melupakan hari ini yang menjadi hari bersejarah dalam hidupnya.

---
Kalau orang tua lebih ribet, ya, daripada yang hamil. 😆

Terima kasih sudah membaca. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top