Piece #27: Dua Garis Biru

Sejak pulang dari Swiss, Barina dan Doni kembali bekerja seperti biasanya. Mereka tinggal di rumah Nita hanya semalam saja. Keesokan harinya Marina dan Barata pamit pulang ke Bekasi, begitupun dengan Barina dan Doni yang pulang ke rumah mereka.

Selama mereka di sana, Nita kerap menanyakan soal oleh-oleh yang tidak dimengerti oleh Barina, oleh-oleh apa yang dimaksud. Akhirnya, Nita pun menyerah dan melupakan pertanyaan itu. Sebenarnya, Doni mengerti yang dimaksud ibunya, hanya saja dia tidak mau membebani pikiran istrinya. Sebelum menikah, Nita pernah berkata bahwa dia tidak akan menanyakan soal hamil. Pada kenyataanya, tidak selalu sejalan. Mungkin, naluri seorang nenek yang ingin memiliki cucu dari anak laki-lakinya. Begitupun dengan Marina yang ingin memiliki cucu dari anak semata wayangnya.

Hari pertama mereka bekerja, semua terasa canggung. Padahal, liburan pun tidak sampai sebulan. Barina bingung harus mengerjakan apa terlebih dahulu. Sedangkan, Doni sudah berangkat rapat dengan Bono dan salah satu enginer. Selain bingung, Barina juga masih terasa pegal. Mungkin, efek bulan madu yang kelamaan, jadi tubuh butuh penyesuaian kembali. Butuh waktu. Begitu pikirannya.

Pagi itu, Nura membawa bubur ayam pesanan Barina untuk sarapan. Dulu, dia seringkali sarapan bubur ayam langganan ini. Bukan hanya murah, tetapi enak. Awal menikah, Doni pernah membelikan bubur ayam yang agak mahal, namun lidahnya mengatakan tidak. Selera memang susah.

Beberapa hari ini Barina merasa mual namun hilang tiba-tiba, begitu saja terus. Sempat berencana ke dokter karena ditakutkan magnya kambuh lagi, namun pekerjaan membuat dia lupa untuk berobat.

Hari itu, bubur ayam yang biasanya habis, tidak dihabiskan dengan alasan kenyang. Padahal porsinya tidak begitu banyak. Lidah terasa pahit seperti asam lambungnya sudah naik ke kerongkoan. Dia pun seringkali ke toilet dan mengeluh enek.

Melihat sikap Barina, membuat Yuni dan Nura risih untuk tidak menanyakan. Apalagi keinginantahuan mereka menjadi meningkat sejak dia menikah dengan bosnya. Mereka penasaran apakah menikah dengan bos seperti yang ada di dalam novel, film atau drama Korea? Tahu sendiri bahwa Nura adalah penggemar drama Korea dan KPop. Yuni hanya pengikut saja biar lebih seru.

Nura dan Yuni tengah berbisik saat Barina kembali dari toilet. "Sudah legaan?" tanya Nura dengan ekspresi khawatir.

Barina mengangguk. "Lumayan. Untung di dalam ada toilet."

"Iya enak, kan lo bininya," sambar Nura.

Barina menyeringai memamerkan deretan giginya.

Yuni menggeser kursi mendekati meja Barina. Dia memajukan badan dan bicara agak berbisik. "Kapan terakhir haid?" tanyanya tanpa basa-basi.

Barina terdiam. Dia mencoba mengingat-ingat. "Kalau nggak salah sebelum ke Swiss, deh."

"Berarti pas di Swiss lagi masa subur, tuh." Yuni mencoba menerka.

"Terus kenapa?" Barina tidak mengerti.

Yuni memutarkan bola mata. Dia melirik ke Nura. "Ra, biar kamu ngerti juga nanti pas nikah, dengar baik-baik, ya! Ketika kamu berhubungan intim di masa subur, peluang hamilnya besar." Yuni menjelaskan hal tersebut bertujuan memberitahu Barina namun tidak secara langsung. Dia takut Barina merasa digurui.

Mendengar penjelasan Yuni, Barina terdiam. Dia mencoba membenarkan ucapan sekretaris itu, namun lagi-lagi kekecewaan sebelumnya masih terasa. Dia tidak ingin merasakan apa yang dirasakan Doni tempo hari saat tahu bahwa penyebab mualnya adalah mag. Barina memilih untuk melanjutkan pekerjaan dan menganggap semua baik-baik saja.

Sepulang kerja, Barina kepikiran dengan ucapan Yuni. Dia memutuskan untuk mampir ke apotek untuk membeli test pack. Dia membeli satu jenis yang paling murah, jaga-jaga kalau hasilnya tidak sesuai harapan, tidak terlalu rugi karena harganya yang murah. Sejak dulu, Barina memang perhitungan soal sesuatu yang belum pasti. Menghilangkan sifat itu sulit sekali.

Sesampainya di rumah, seakan lupa dengan tujuannya karena terlampau lelah menghadapi kemacetan ibu kota, wanita itu memilih untuk merebahkan badan setelah mandi, mengganti pakaian dan membersihkan riasan. Sambil menunggu Doni pulang, dia memainkan ponsel, membuka grup Noisy yang sudah beberapa hari hening. Mungkin, kalau terlihat, grup itu sudah berdebu. Dia mulai menyapa keenam sahabatnya dan bertanya kabar.

Masing-masing dari mereka memberitahu apa yang tengah mereka lakukan saat itu, mengurus anak: ada yang tengah menemani belajar, menyusui, menyuapi, menidurkan, dan lain-lain. Membaca komentar itu, Barina hanya terdiam. Dia berkaca pada layar hitam televisi yang diletakkan di depan tempat tidur. Dia sendiri. Tidak ada tawa dan tangis anak-anak di rumah ini. Mengingat hal itu, Barina mencoba menghibur diri dengan menghitung usia pernikahan yang belum satu tahun. "Belum satu tahun. Nikmati dulu pacaran sama suami." Wanita itu tersenyum getir.

Barina teringat kisah hidup Nurulia. Ternyata, dia tidak sekuat sahabatnya. Belum satu tahun, hatinya sudah ketar-ketir karena belum hamil. Padahal belum ada yang menyerang pertanyaan menyebalkan itu padanya. Dirinya sendiri yang menyerang pikirannya.

Barina membalikkan tubuh ke kanan, memandang lemari pakaian yang terbuka. Terlihat lengan kemeja putih sang suami. Selama menikah, hidupnya terbilang menyenangkan. Apalagi yang dikhawatirkan? Pikirnya. Barina memejamkan mata. Di balik kelopak mata itu gelap. Tak lama kegelapan itu menimbulkan seberkas bayangan samar. Dia menggerakan pupil mengikuti gerakan bayangan yang terlihat, seorang anak tampak belakang. Seketika itu mata Barina terbuka lebar. Dia memukul keningnya pelan. "Gue kenapa, sih?"

Dering ponsel menyadarkan Barina dan segera meraihnya. Sebuah pesan dari Doni terbuka. 'Aku baru selesai rapat. Lagi jalan pulang. Kamu lagi apa?'

Barina membalas dengan seutas senyuman. 'Lagi rebahan aja. Capek nyetir sendiri pas macet. Hati-hati di jalan!' balasnya.

Pria itu hanya membalas dengan 'oke istriku' yang membuat Barina tersipu malu.

Usai meletakkan ponsel sembarang, dia teringat sesuatu. Wanita itu segera bangkit dan terduduk di tepi tempat tidur lalu meraih tas yang diletakkan di samping televisi. Jemarinya merogoh isi tas, mencari sesuatu. "Ah, ini dia," ucapnya saat mendapatkan test pack yang tadi dibeli. Barina membaca petunjuk penggunaan dengan saksama. Dia beralih ke meja rias, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk wadah urine.

Barina berdiri di depan meja rias dan memandangi tubuhnya sendiri lalu pandangannya beralih ke pintu kamar mandi dan kembali lagi ke cermin, begitu seterusnya beberapa kali. Ada keraguan yang membuncah dalam benaknya. Takut tidak sesuai harapan. Takut menerima kekecewaan. Dia terdiam dan berusaha untuk meyakinkan diri sendiri untuk memastikan rasa penasaran ini.

Dengan langkah perlahan, dia mendekati pintu kamar mandi dan siap mencari tahu jawaban semua ini. Tangannya gemetar saat hendak memasukkan alat uji ke dalam wadah yang sudah berisikan urine. Kedua matanya terpejam sambil berhitung hingga sepuluh. Saat matanya terbuka, dia terbelalak. Sejenak tatapannya kosong. Tanpa pikir panjang, Barina berlari keluar kamar mandi dan mengambil beberapa lembar uang lalu bergegas ke apotek dekat rumah untuk membeli beberapa test pack lagi. Petugas apotek memberitahu bahwa sebaiknya melakukan tes pada pagi hari. Barina menanyakan alasannya. Setelah dijelaskan, wanita itu baru mengerti dan kembali dengan langkah lunglai. Nampaknya, Barina harus sabar hingga besok pagi untuk memastikan lagi.

Sesampai di depan rumah, Doni baru saja keluar dari mobil bersama Bono. Barina mempercepat langkah.

"Kamu dari mana?" tanya Doni saat menangkap istrinya berdiri di depan rumah.

Barina menyembunyikan plastik belanjaan di balik badan. "Beli skin care." Ada perasaan bersalah sudah berbohong. Dia tidak bermaksud untuk membohongi suaminya namun bingung harus berkata apa. Hanya itu yang terlintas di pikiran sebagai alasan.

"Kamu ngapain berdiri di situ?" Doni memandang dengan senyuman. Pria itu meskipun lelah, selalu bersemangat setiap melihat wajah istrinya.

Barina dengan ragu mendekati suaminya dan masuk ke rumah setelah Bono pamit pulang.

Sepanjang malam, Barina berusaha untuk tidak mengatakan apapun soal barusan, meskipun ingin. Setiap Doni bicara, dia tidak benar-benar mendengarkan. Pikirannya terpaut kepada hasil test pack tadi. Dia bingung dan tidak percaya. Untuk menutup kebingungan itu, dia memilih untuk tidur duluan. Wanita itu berusaha untuk tertidur, menghilangkan pikiran macam-macam, meskipun sulit.

Keesokan paginya, usai salat subuh, dia termenung di kamar mandi sambil memandang hasil tes terbaru. Sudah semua alat digunakan, dari yang murah hingga yang mahal. Semua hasil sama. Wanita itu mematung sambil mengumpulkan keberanian.

Barina keluar dari kamar mandi sambil menggenggam salah satu test pack yang dirasa paling akurat sambil melangkah mendekati suaminya yang tengah membuka surel perusahaan dengan tablet-nya.

Melihat istrinya mendekatinya dengan langkah keraguan, membuat kening Doni mengerut dan bertanya, "Kamu kenapa?" tanyanya heran.

Barina berdiri tepat di depannya dan menjulurkan tangan yang memegang test pack tanpa bicara.

Doni meraih hasil uji itu. Ekspresinya sama dengan Barina saat tahu pertama kali. Mata Doni beralih ke istrinya. "Ini serius, Sayang?" Dia tidak percaya.

Barina bergegas kembali ke kamar mandi dan mengambil seluruh alat test lalu menunjukkannya kepada Doni.

Pria itu memperhatikan satu-persatu hasil test sambil meracau dengan pertanyaan yang sama. Barina tidak menjawab apa-apa. Dia tidak tahu harus berkata apa.
Doni memandangnya lekat. "Kamu hamil?" Ini bukan sebuah pertanyaan, melainkan ketidakyakinan.

Barina mengangguk.

Doni menghambur memeluk istrinya. "Akhirnya. Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang, berita bahagianya."

Barina belum bisa berkata apa-apa. Dia hanya tersenyum, mengangguk dan menangis terharu.

Pagi itu menjadi pagi yang bersejarah untuk mereka. Doni meminta Yuni untuk mengganti jadwal rapat. Dia ingin hari ini libur, begitupun dengan Barina. Mereka berencana ke dokter untuk memeriksakan kehamilan dan mendapatkan foto USG, kemudian, mengabarkan kabar bahagia ini ke orang tua mereka. 

-------
Ah, bahagianya 😍

Terima kasih sudah membaca 😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top