Piece #26: Oleh-Oleh

Mercy hitam tiba di rumah besar putih dengan pelbagai pepohonan di bagian halaman depan. Rumah itu nampak asri dengan tanaman yang tertata rapih. Tukang kebun yang ditugasi benar-benar melakukan pekerjaannya dengan baik. Di beberapa pojok teras menggantung bunga teratai yang terawat. Nita sangat menyukai teratai.

Setelah memindahkan rem tangan, Boni bergegas menurunkan dua koper besar dari dalam bagasi. Di ambang pintu, dua pasang orangtua sudah berdiri dengan wajah berseri bagaikan menunggu tamu istimewa. Namun, ekspresi berseri itu hanya bertahan beberapa saat saja. Seketika berubah heran karena yang dinanti tidak kunjung keluar dari mobil. Mereka memandang Bono dengan tatapan heran. Bono membalas tatapan dengan kebingungan lalu beralih ke mobil secara bergantian.

Dari dalam mobil Doni susah payah membangunkan Barina yang terlelap dalam rangkulannya. Sejak wanita itu melupakan keinginannya terhadap es krim dan sibuk dengan grup Noisy, Doni merasakan lega. Namun, pria itu tidak sadar bahwa isrtrinya sudah mulai mengatupkan kedua matanya lagi selang beberapa menit saja setelah membuka grup percakapan itu dan ikut membalas obrolan. Doni mengira istrinya masih mengamati ponsel atau menunggu balasan, ternyata dia sudah terlelap.

Doni membelai lembut wajah istrinya sambil memanggil namanya dengan lembut. Biasanya Barina terbangun dengan cara seperti itu, tetapi kali ini tidak. Tidak biasanya Barina sulit dibangunkan. Doni mengubah caranya dengan membelai rambutnya sambil terus memanggil namanya dan memberitahu bahwa mereka sudah tiba di rumah. Tetap saja tidak ada respon. Doni mulai kehabisan cara. Dia membuka pintu mobil. Pria itu memutuskan untuk menggendong istrinya saja daripada lebih lama lagi di dalam kendaraan hitam mengkilap itu.

Baru saja pintu mobil terbuka, Barina terbangun. Kelopak matanya terbuka perlahan.

"Akhirnya. Sudah sampai, Sayang." Doni memberitahu.

"Kok, nggak bangunin aku?" tanya Barina heran dengan suara bangun tidur.

Doni tersenyum getir. Dalam hatinya meracau pada diri sendiri. "Turun, yuk!" ajaknya.

Barina mengusap wajah lalu mengikuti Doni keluar dari kendaraan. Wajah kedua pasangan orangtua kembali ceria. Senyum kembali merekah di wajah mereka. Bono membantu Doni untuk menutup pintu mobil kemudian mendorong koper hingga daun pintu. Kedua koper itu diambil alih oleh asisten tumah tangga.

"Stay, ya, Bon!" pinta Darma.

Bono mengiyakan sambil mengangguk. Dia kembali ke mobil untuk memarkirkan mobil dengan benar lalu menuju dapur untuk sekedar membuat kopi hitam tanpa gula.

Nita dan Marina menyambut hangat anak mereka. Mereka masuk ke dalam rumah dengan perasaan penasaran.

"Badan kamu anget, Nak," ujar Marina saat memegang lengan anaknya. Tangan Marina berpindah ke leher dan kening, merasakan suhu tubuh anaknya. "Sakit?" tanyanya khawatir.

Kening Barina mengerut. "Bari baik-baik aja, Bu."

"Yakin kamu baik-baik aja?" Nita ikut khawatir.

"Iya, Ma." Barina melontarkan senyum kepada mertuanya.

"Syukurlah." Nita beralih ke anak lelakinya. "Kalian sudah makan?"

"Tadi, sih, pagi." Doni berjalaj di belakang istrinya.

"Kalau gitu, makan dulu!" Nita mempercepat langkah menuju meja makan. Di sana sudah tertata segala menu makanan rumahan masakan Nita dan Marina. Kedua wanita itu bekerja sama untuk menyajikan makanan kepada anak kesayangannya.

Mereka menempati kursi masing-masing. Doni duduk di samping kiri Barina, sedangkan di samping kanannya Marina dan Barata. Nita duduk di seberang Doni, di samping suaminya.

Marina menyendokkan nasi ke anak perempuannya. Nita tak mau kalah. Dia menaruh ayam goreng di piring menantunya. Melihat sikap mereka, Barina menjadi kurang nyaman. Dia merasa ibu dan mamanya bersikap berlebihan. Melihat perubahan air muka istrinya, Doni langsung mengalihkan Nita agar berhenti untuk bersikap berlebihan. Para bapak tidak mempedulikan urusan itu. Mereka menikmati makanan dengan damai. Barina menoleh sesaat ke suaminya dan melontarkan tatapan sendu seakan berkata terima kasih. Doni membalasnya dengan menggenggam tangannya. 

Acara makan bersama yang terkesan memaksa itu berjalan seperti biasa, namun tidak berarti apa-apa bagi Barina. Dia lelah, hanya ingin tidur. Tetapi, dia tidak tahu cara untuk mengatakannya kepada mama mertua. Dengan senyuman palsu, Barina menikmati makanan dengan terpaksa. Perutnya belum lapar, bahkan terasa enek. Kepala pusing. Badan pegal. Telinganya sangat malas mendengar ocehan mereka. Di dalam hatinya bergumul keinginan untuk tidur. Kelopak matanya terasa berat. Saat hendak terkatup, Nita melontarkan pertanyaan yang membuat kelopak mata itu terbuka lebar.

"Kalian bawa oleh-oleh apa?" tanya Nita kepada Barina.

Barina yang tersandar di sandaran kursi, menegapkan tulang punggung. "Ada beberapa, Ma. Di koper. Mama mau sekarang?" jawab Barina dengan lemas.

Nita melirik Marina lalu kembali ke Barina. "Bukan oleh-oleh itu yang Mama maksud," sanggahnya.

"Lalu apa?" Barina mengernyitkan dahi.

"Itu, loh." Nita bingung untuk melanjutkan kalimatnya.

Doni tahu apa yang dimaksud Nita, namun dia pura-pura tidak tahu. Biarkan mereka menjelaskan sendiri. Dia menoleh ke istrinya yang sudah mengantuk. "Kamu ngantuk?" tanyanya kepada Barina.

Barina mengangguk pelan.

"Istirahat di kamar sana!" Nggak apa-apa."

Barina bangkit dari kursi tiba-tiba sehingga membuat yang lain memandang heran.

"Barina capek, Ma. Biarin dia istirahat dulu," jelas Doni sebelum Nita bertanya.

Barina mengangguk pamit ke semua yang ada di meja makan itu lalu bergegas ke kamar. Doni menyusul dari belakang setelah pamit sebentar dan berjanji akan kembali ke meja makan setelah memastikan istrinya tidur nyaman di atas kasur.

Di meja makan Nita dan Marina menduga-duga dengan sikap Barina. Pasalnya, percis seperti saat Nita hamil Arti dahulu yang mudah mengantuk. Marina menyanggahnya dengan dalih bahwa Barina adalah anaknya. Katanya, kebiasaan anak perempuan saat hamil tidak jauh dengan ibunya dulu. Sedangkan, Marina tidak mengantuk seperti yang dicurigai Nita. Kedua wanita itu terus mencoba menerka-nerka.

Di dalam kamar, Barina merebahkan tubuhnya di atas kasur tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu.

"Kamu nggak ganti baju dulu?" tanya Doni memastikan.

"Enggak."

"Muka kamu nggak dibersihin dulu?"

"Enggak." Suaranya mulai pelan dan tertidur.

Doni kembali ke meja makan setelah menyelimuti Barina dan mencium seluru bagian wajahnya. "Istirahat, ya, Sayang."

Di meja makan, kedua wanita itu terus saja berdiskusi dan menerka kemungkinan. Bahkan, saat Doni hendak menikmati makanannya lagi, suapannya terhenti saat Nita bertanya suatu hal yang tidak-tidak.

"Kalian berapa kali lakuinnya?"

"Lakuin apa?" tanyanya balik dengan santai sambil mengambil dua potong tahu dan meletakkannya di piring.

"Ih, masa nggak ngerti." Nita mulai gemas.

Darma mulai risih dengan sikap istrinya. "Mama nggak etis nanya begitu. Doni malu di depan mertuanya," sanggah Darma.

"Ih, Papa nggak ngerti." Nita masih tetap usaha.

Darma terdiam. Marina dan Nita memandang Doni dengan tajam. Mereka menunggu jawaban pria itu.

Doni memandang wajah keempat orang tua itu satu-persatu. "Sering," jawabnya sambil meyuap makanan ke dalam mulut.

"Tuh, kan, Jeng! Percis kayak saya," ujar Nita kepada Marina.

Doni mulai heran, namun enggan menanyakan hal yang bukan urusannya. Dia tetap saja fokus dengan makanan.

"Kemungkinan, istri kamu hamil, Don." Nita memberitahu sesuka hati, membuat semua memandangnya dengan terpana, termasuk Doni yang seketika berhenti mengunyah.

"Nggak mungkin." Doni tidak percaya.

"Ih, kamu dikasih tau orangtua nggak percaya."

Semua terdiam. Doni tidak mau mengharapkan harapan palsu. Dia pernah menerka bahwa istrinya hamil. Pada kenyatannya, wanita itu hanya terkena mag. Doni tidak ingin kecewa lagi. Kali ini, dia berusaha untuk tidak percaya perkiraan apapun sebelum diperiksa ke dokter.

Nita terus berusaha menyakinkan anak lelakinya, sehingga membuat Doni jengah. Dia pamit kepada mereka untuk istirahat di kamar. Pria itu sudah tidak nafsu makan lagi dan pergi meninggalkan meja makan tanpa menunggu jawaban mereka.

Di dalam kamar, dia memandang Barina sesaat setelah menutup pintu. Ucapan Nita terngiang di kepalanya. Dengan perlahan tanpa membangunkan Barina, Doni duduk di samping wanita itu lalu mengambil tangan istrinya dan mengecup lembut. Dipandang kembali wajah wanita yang mencuri hatinya. Kalau kata Mama benar, senang pastinya. Tapi kalau salah, kecewa, lah, pikirnya.

Doni beranjak dari kasur lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sekaligus membersihkan pikiran yang tidak-tidak.

----
Terima kasih sudah membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top