Piece #24: Kembali Mesra
Sepulang dari Sierre, Doni mengajak Barina untuk membuat candle light dinner sederhana di balkon kamar mereka, mengganti rencana makan siang yang batal karena harus mengubah rencana. Berbekal menu makanan dari restoran hotel yang dipesan dari kamar, mereka mulai menata meja bundar kecil serta dua kursi. Saat pelayan datang, membawa pesanan mereka, Barina meminta untuk menatanya di balkon. Sepiring steak dengan asparagus dan saus mashroom untuk Doni dan semangkuk salad dengan taburan potongan keju Swiss di atasnya untuk Barina. Wanita itu menuangkan air putih dingin ke gelas masing-masing.
Sementara Barina menata makanan, Doni memandangnya dari balik pintu kamar sambil menunggu pelayan keluar. Pria itu melipat kedua tangan di depan dada sambil mengulum senyum melihat punggung istrinya. Tak lama pelayan pun meninggalkan kamar mereka dan Doni menutup pintunya kembali.
Pria itu mendekati istrinya yang tengah menyalakan lilin. Mereka masih menggunakan pakaian yang dikenakan saat ke Sierre. Doni masih dengan kemeja biru dongker berlengan panjang yang dilipat hingga siku serta celana panjang putih, sedangkan Barina dress biru dongker panjang selutut dengan motif garis putih vertikal dan diikat pada bagian pinggang sehingga menunjukkan lekukkan tubuhnya.
Doni memeluk Barina dari belakang sehingga wanita itu terkesiap beberapa saat. "Hari ini rasanya berat banget buat aku," ujarnya pelan.
Barina terdiam. Dia sadar bahwa semua masalah yang terjadi hari ini karena tingkahnya yang cemburu berlebihan. Ingin rasanya dia memegang tangan Doni yang melingkar di pinggangnya namun tidak jadi.
"Aku kira, aku nggak bisa nemuin kamu tadi pagi. Kamu nekat banget, sih. Kamu tau nggak? Tadi pagi aku mikir kalau kamu kenapa-kenapa, aku nggak bisa maafin diri aku sendiri," lanjutnya lagi. Doni memutarkan tubuh istrinya sehingga mereka kini berhadapan. "Please, jangan lagi, ya. Kalau kamu marah sama aku, lebih baik diomongin. Mau ngomel juga bakal aku dengerin daripada kamu diam, terus kabur. Aku nggak mau. Aku trauma, Sayang. Please." Doni terus memohon meski ini sudah kesekian kalinya.
Ujung bibir Barina tertarik sedikit. Entah apa yang harus dia ekspresikan. Bahagia? Bersalah? Atau sedih? Dia sendiri pun bingung.
Doni mengecup kening Barina cukup lama. "Makan, yuk!" ajaknya.
Mereka duduk di kursi masing-masing bersebelahan menghadap pemandangan balkon. Doni mulai menyantap steak dan bersikap kembali seolah baik-baik saja. Pria itu memang pandai berpura-pura baik-baik saja, padahal di dalam hatinya masih menyimpan rasa takut dan trauma atas kejadian tadi pagi. Dia berusaha selalu tersenyum padahal di dalam hatinya meringis dan menyalahkan diri sendiri. Doni sadar bahwa seharusnya dia sudah berbaikan dengan diri sendiri atas trauma masa lalu. Seharusnya, Barina tidak harus memahami traumanya dan tidak harus tahu seberapa terpuruknya dia dahulu. Dia hanya ingin membahagiakan wanita itu sesuai janjinya kepada orangtua Barina serta kepada istrinya. Tapi, lain kenyataanya kini.
Sementara Doni sibuk dengan rasa bersalahnya, begitupun dengan Barina. Wanita itu belum juga menyentuh makanan. Jemarinya sibuk memainkan cincin pernikahan yang tersemat di jari manis kanannya. Pandangannya dilepas sembarang. Doni menyadari keresahan istrinya dengan lirikan namun dia mencoba berpura-pura tidak menyadari.
"Kak." Barina berdeham.
"Iya." Doni memasukkan potongan daging ke dalam mulut.
"Aku mau minta maaf."
Tangan Doni berhenti beraktivitas. Dia mematung sesaat. Dia tidak mengerti kenapa istrinya meminta maaf lagi. Doni menunggu lanjutan ucapan istrinya.
"Aku tau, aku merusak rencana Kak Doni. Aku ...," Barina berdeham lagi, "aku egois. Aku juga nggak tau kenapa. Aku nggak ngerti sama diri aku sendiri. Aku juga takut, paranoid sendiri. Aku takut kehilangan dan jadi gampang cemburu. Aku benar-benar keterlaluan." Jemari Barina semakin gelisah. Cincin pernikahan dijarinya hampir saja lepas. Dia terus memainkan cincin itu.
Melihat jemari istrinya, Doni langsung meraih dan menggenggam. "Jangan dimainin. Nanti lepas. Cincin itu berarti buat aku." Doni mengubah posisi duduknya. Dia mendekat ke istrinya lalu menaruh tangan wanita yang dicintainya itu di atas pangkuan. "Aku ngerti ketakutan kamu. Kita sama-sama takut." Doni melontarkan senyuman. "Sebuah hubungan butuh saling percaya. Aku percaya ke kamu sepenuhnya. Kamu juga harus begitu. Aku menikahi kamu bukan untuk main-main. Aku pernah gagal, Sayang dan itu jadi nightmare buat aku. Aku mau menua sama kamu. Mungkin kamu bisa bilang aku gombal kalau keseringan bilang kata mesra tapi itu cara aku mengekspresikan perasaan. Aku bisa kehabisan cara untuk mengekspresikan perasaan. Karena begitulah aku. Kita harus sama-sama belajar untuk saling percaya. Itu poin penting. Aku juga nggak mau jalan sendiri. Kita harus sama-sama. Kamu mau, kan?" Doni memandang seluruh sisi wajah Barina, keindahan yang dikaguminya saat ini. Bahkan keindahan Montreux pun terkalahkan.
Barina menatap mata suaminya lamat-lamat. Kehangatan menjalar dari tangan yang digenggam pria di depannya. Dia kehabisan kata-kata. Tiba-tiba Barina mengecup tanpa izin. Doni menyambutnya dengan mesra. Mereka berpaut cukup lama.
"Udahan salah pahamnya, ya," pinta Doni setelah memberi jarak sejenak.
Barina mengangguk disertai senyuman lalu mereka berpautan lagi hingga makanan pun menjadi dingin.
"Kita makan dulu atau lanjut, nih?" goda Doni.
"Makan dulu," jawab Barina tersipu.
"Oke."
Mereka menikmati sajian makan malam sambil memandang Montreux yang masih terang. Musim semi di Montreux membuat matahari lama untuk kembali ke peraduan. Saat musim semi, dia terbenam sekitar jam sembilan malam atau lebih. Saat ini, mereka masih bisa menikmati sajian makan malam sambil memandang Danau Geneva dan gunung yang mengelilinginya. Udara pun masih terasa segar. Kota ini begitu tenang dan tidak seramai Jakarta.
Dalam makan malam, Doni mencoba mencairkan suasana seperti biasa. Terkadang mereka rindu obrolan santai seperti sebelum menikah dan saling memiliki perasaan, obrolan yang tidak terbatasi namun menyenangkan. Mereka sadar bahwa semua ini butuh waktu. Pernikahan yang masih seumur jagung perlu banyak penyesuaian dan konflik kecil yang masih bisa mereka selesaikan baik-baik. Mereka berharap suatu saat nanti bisa mengobrol sesantai dulu.
Saat obrolan mereka yang disertai tawa mulai mencair, tiba-tiba ponsel Doni yang diletakkan di atas ranjang berdering. Dia membiarkan ponsel itu berdering sesukanya dan Barina sebisa mungkin mengikuti untuk mengabaikan, namun lama-kelamaan dia pun risih, pasalnya berdering terus-menerus.
"Angkat aja, Kak. Siapa tau penting."
Doni menggeleng. "Biarin aja. Nggak tau apa lagi bulan madu."
Barina mengulum senyum. Pipinya mulai merona. "Kalau penting gimana? Aku cek, ya." Barina beranjak dari kursi dan mendekati ranjang. Dia mengetuk layar ponsel untuk menyalakannya lagi. "Papa, Kak." ujar Barina memberitahu.
Doni seketika beranjak dari kursi dan mendekati istrinya. "Ada apa, ya?" tanyanya kepada Barina.
Barina mengedikkan bahu.
"Halo, Pa." Doni menerima panggilan itu. Layar ponsel langsung menampilkan Darma, Nita, Arti, Barata dan Marina dalam satu frame. Dari belakang mereka, terlihat interior rumah orangtuanya Doni.
'Halo pengantin baru!' sapa Nita dengan semangat.
Doni memosisikan ponsel ke tengah agar Barina masuk ke dalam layar. "Ada apa?" tanya Doni tanpa basa-basi.
"Kangen tau sama kalian. Kapan pulangnya, sih? Mama sama Papa aja udah pulang dari Praha," pamer Nita sambil mengangkat vas kristal bohemia khas Praha.
Barina menyapa mereka satu persatu. Senyum merekah di wajahnya. Doni memperhatikan kecantikan itu dari tangkapan layar ponsel.
'Doni, jangan lupa pesan Mama, ya!' Nita mengingatkan.
"Apa?" Barina menoleh dan menanyakan hal yang dimaksud kepada suaminya.
"Ih, Mama apaan, sih. Udah, ya, lagi makan. Kalian semua baik-baik di sana." Doni tersipu malu.
Nita memutuskan sambungan telepon video. Doni tersenyum memandang ponsel. Walaupun Nita terlihat berlebihan, Doni bersyukur memiliki orangtua dan keluarga baru seperti mereka. Barina dan Doni saling berpandangan sambil perlahan menarik senyum seolah baru saja menyadari sesuatu yang menggelikan.
-------
Terima kasih sudah membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top