Piece #22: Jangan Tinggalkan Aku

Saat mengangkat wajahnya, mata Doni menangkap sosok yang dikenali tengah berdiri memandang Danau Geneva sendirian. Wanita itu memeluk tangannya sendiri dan merapatkan jasnya. Setengah wajahnya disembunyikan di balik syal. Doni berlarian menuju orang itu dan menghambur memeluknya dari samping tanpa berkata.

Barina tersentak ketika ada yang memeluknya tiba-tiba. Saat menyadari siapa orangnya, wanita itu hanya bisa tersenyum. "Kak Doni kenapa?" tanyanya tanpa rasa bersalah.

Doni melepaskan pelukan dan mengernyitkan kening. "Kamu ke mana?" tanyanya pelan sambil tertunduk.

Barina tersenyum. Tidak mungkin mengatakan pertemuan tadi. "Aku kepengin hirup udara segar aja, Kak."

Doni mengontrol emosi sambil menggenggam tangan Barina. "Kamu kalau keluar, bilang sama aku biar aku nggak khawatir. Tadi aku panik banget."

"Aku baik-baik aja, Kak." Barina menyeringai. Mungkin sikap suaminya dianggap berlebihan, namun dia menyukainya.

"Kalau enggak? Aku nggak bisa maafin diri aku sendiri kalau kamu kenapa-kenapa." Doni mengusap wajahnya dengan satu tangan.

Barina memeluk pria itu. Dia melepaskan tangan dari genggaman Doni dan melingkarkannya di pinggang pria itu. Matanya terpejam, membiarkan keramaian buram dari penglihatan dan hanya ada kehangatan tubuh pria itu.

Doni tersentak ketika Barina memeluknya tanpa aba-aba. Dia membelai rambut dan mengecup ubun-ubunnya. "Jangan tinggalin aku lagi, ya," ucapnya di dekat telinga Barina.

Barina tidak menjawab. Perutnya bergetar. Dia hanya menguatkan pelukan. "Aku lapar," ucapnya tiba-tiba, membuyarkan momen keromantisan.

"Ayo kita sarapan." Doni melepaskan pelukan lalu menggenggam tangan istrinya. Mereka berjalan bersamaan sambil mengayunkan tangan. "Gimana jalan sendiri?"

"Seru. Seperti masih gadis."

"Enak dong dilirik cowok ganteng."

"Mmm ... cowok bule oke juga, ya." 

"Cowok Indonesia juga oke."

Barina melontarkan senyuman manja kepada Doni. "Iya, deh."

Doni melirik langkah Barina yang terlihat hati-hati karena memakai high heels. "Tumben pakai high heels. Nggak pegal?"

Barina melihat kakinya sejenak. "Pegal sebenarnya."

Doni menghentikan langkah lalu berjongkok di depan Barina. Dia membelakangi wanita itu.

Kening Barina mengerut. "Ngapain, Kak?"

Doni hanya mengarahkan tangan ke punggungnya.

"Maksudnya?"

"Katanya pegal," ucapnya sambil berdiri. "Kalau pegal, biar digendong. Piggyback aja ... atau mau gendong depan?" godanya sambil memosisikan kedua tangan seperti menggendong seseorang. 

"Malu, Kak. Dilihat banyak orang." Barina agak berbisik.

Doni mendengkus dan mengulum senyum. "Sayang, ini Eropa. Cium kamu di tempat umum aja, aku berani." Dia mengangkat sebelah alis.

Muka Barina memerah. "Kak, jangan bercanda." Dia menoleh kiri-kanan.

Doni melangkah mendekati Barina perlahan. Barina pun merasa canggung diperlakukan demikian di depan umum.

"Mau apa?" Barina mulai gelisah.

"Mau cium kamu." Jarak wajah mereka semakin dekat.

"Ini tempat umum, Kak. Malu." Barina mundur perlahan.

"Kenapa kalau tempat umum? Kamu, kan, istri aku." Doni memiringkan kepala.

"Katanya mau gendong aku. Ayo!"

Doni terhenti lalu memosisikan badan siap menggendong istrinya. Barina melepaskan sepatu. Dengan malu-malu dia menumpu tubuhnya di punggung Doni seraya memegang kedua sepatunya dan melingkarkan kedua tangan di leher Doni. Pria itu berdiri perlahan. Ada rasa takut menggerayangi pikiran Barina. Selama menikah, dia belum pernah digendong Doni dari belakang. Ini pertama kali. Apalagi dia merasa tubuhnya berat. Doni melangkahkan langkah pertama dengan hati-hati. Tidak sia-sia dulu sering berolah raga sehingga otot-otot masih kuat dan bekerja dengan baik.

"Aku berat, ya?" tanya Barina memulai percakapan mereka yang canggung.

"Kalau aku bilang ringan, aku bohong, dong. Seberat apapun kamu, aku senang bisa gendong kamu." Salah satu tangan Doni menggenggam tangan Barina yang melingkar di lehernya. Satu lagi menahan bokong istrinya. Jarak dari tempat mereka ke hotel hanya lima menit berjalan kaki. "Kamu tau? Aku tadi takut kamu hilang, soalnya ini negara orang."

Barina memahami ketakutan Doni. Dia juga merasa bersalah sudah keluar diam-diam. "Maafin aku, ya." Barina merebahkan kepala di bahunya. "Aku sayang banget sama Kak Doni."

Kalimat itu tersampaikan di depan telinga Doni. Rasanya seperti ada sentruman kebahagiaan yang menggerayangi sarafnya. Barina memang jarang mengucapkan kalimat mesra namun sekalinya mengatakan, kebahagiaan yang terdalam untuk Doni. Saat itu pikiran Doni ingin segera tiba di kamar hotel dan langsung mencumbunya. Namun, kali ini harus ditahan.

Doni menurunkan Barina di depan pintu hotel. Mereka langsung menuju restoran tempat disediakannya sarapan. Untung saja, belum kehabisan. Di sela menikmati sarapan, mereka membicarakan rencana jalan-jalan berikutnya. Doni mengatakan bahwa dia berencana untuk mengubah rencananya karena mengingat Barina lebih berminat dengan masa lalunya. Pria itu ingin mengajak istrinya ke sebuah tempat dan bertemu dengan satu keluarga yang sangat berarti untuk Doni.

Rencana itu menarik minat Barina, bahkan lebih dari sekedar jalan-jalan menikmati keindahan Montreux. Dia sangat berminat dengan latar belakang suaminya.

"Gara-gara kamu, aku sarapan belum gosok gigi." Doni terkekeh menertawakan diri sendiri. Mereka meninggalkan restoran dan menuju kamar.

"Hah? Jadi Kak Doni belum mandi?" Barina seakan tidak percaya.

Doni membuka pintu kamar, diikuti Barina. "Mana kepikiran. Boro-boro mandi, yang ada di kepala aku cuma kamu aja." Doni membuka kaus di depan kasur.

Barina langsung memeluk lelaki itu dari belakang. Aroma tubuhnya melekat di penghidunya. Aroma ini yang membuatnya betah berlama-lama di dalam pelukan lelaki ini.

"Kenapa, Sayang?" Doni tertegun.

"Pengin meluk aja."

Doni paling suka saat istrinya mulai bermanja. Dia memutar badan sehingga kini mereka berhadapan. "Kamu udah mandi?"

Barina mengangguk.

"Mandi lagi, yuk, bareng aku!" ajak Doni.

Barina menggeleng. "Nggak mau."

"Kenapa?" Doni mengunci tubuh Barina dalam pelukan dan berusaha sedikit memaksa.

Barina pun berusaha untuk menolak dan melepaskan diri dari kuncian suaminya. "Sana mandi! Bau!" Barina berhasil lepas dari cengkraman pria itu. Dia mendorong suaminya ke kamar mandi. Wanita itu tersenyum lepas saat Doni menutup pintu kamar mandi. "Dasar!"

Barina menghempaskan tubuh di atas sofa, menghadap Danau Geneva. Dia mengingat kembali apa yang sudah dilakukannya pagi ini. Wanita itu tidak sadar bahwa yang dilakukannya benar-benar nekat. Untung saja Nadine kooperatif. Kalau tidak, entah apa yang terjadi setelahnya. Barina memeluk kedua lutut dan memejamkan mata, menghirup ketenangan dan kemenangan. Apapun akan dilakukan demi menjaga suaminya dari wanita yang datang dari masa lalu.

Ketenangan itu membuat Barina tertidur. Jika diingat lagi, dia memang kurang tidur. Tadi malam saja tidak bisa tidur setelah bercumbu mesra semalaman dengan suami tercinta usai makan malam romantis yang direncanakan Doni. Memejamkan mata sejenak mungkin bisa menyegarkannya kembali. Apalagi angin musim semi terasa sejuk di pelupuk mata.

Doni keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambut basah dengan handuk. Dia hanya mengenakkan celana pendek dan bertelanjang dada. Lelaki itu menangkap istrinya tertidur di sofa sambil meringkuk memeluk kedua lutut. Tanpa pikir panjang, dia memindahkannya ke kasur setelah meletakkan handuk di sandaran sofa. "Kamu kayaknya capek banget, ya. Tidur yang nyeyak, Sayang. Aku akan jaga kamu di sini." Doni membelai rambut Barina dan mengecup kening, mata, hidung dan berakhir di bibir dengan sepenuh hati. "Jangan tinggalin aku lagi, ya. Aku nggak tau apa yang terjadi sama diri aku kalau kamu nggak ada. Aku cinta dan sayang banget sama kamu." Dia mengecup kepala Barina cukup lama kemudian mengambil ponsel dan duduk di samping istrinya. Dipandang wajah Barina lamat-lamat dan sesekali memotret wanita itu dengan ponselnya. Nampaknya, Doni sudah kecanduan aura Barina Agatha. Apakah cinta memang seperti itu?

------
Terima kasih sudah membaca

Menurut kalian, sikap Doni itu berlebihan atau wajar?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top