Piece #20: Tidak Peduli Masa Lalu

Ketika Doni memarkirkan mobil, Barina sudah masuk hotel duluan. Doni tak kuasa mengejarnya. Bahkan cukup lama dia berdiri di depan pintu menunggu wanita itu membukakan pintu.

Di dalam kamar Barina duduk sambil memeluk kedua lututnya di balkon kamar sambil memandangi Danau Geneva yang tenang. Dia menimbang apa yang sudah dilakukannya terhadap Doni. Namun, kekesalan wanita itu juga tidak bisa berkompromi dan berkata bahwa suaminyalah yang memulai semua ini.

Barina tetap bergeming, tidak mengacuhkan ketukan pintu kamar. Dia tahu bahwa di balik pintu itu sudah berdiri lelaki yang dicintainya dengan perasaan cemas. Setelah sekitar sepuluh menit Doni mengetuk pintu kamar, Barina tidak lagi mendengar suara ketukan itu. Suaminya berhenti mengetuk dan tidak terdengar suara apapun. Barina mulai berpikir yang tidak-tidak. Dia takut lelaki itu menyerah padanya dan berbalik arah menemui wanita masa lalunya. Bagaimanapun juga Barina takut jika hal itu terjadi.

Dengan langkah seribu, Barina membukakan pintu kamar dan mendapati Doni tengah bersandar di dinding kamar depan sambil menghadap pintu kamarnya seraya memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Mereka saling bertatapan beberapa saat tanpa kata. Ada sorotan kesedihan yang tersirat dari tatapan Doni, begitupun dengan Barina.

Dalam secepat kilat, Doni memeluk wanita yang masih di ambang pintu dengan wajah kusut karena menangis. Barina sempat meronta ingin melepaskan pelukan itu, namun semakin dia berusaha melepaskan, semakin kuat pelukan Doni. Barina terisak.

Doni melangkahkan kaki ke dalam kamar sehingga Barina pun ikut bergeser. Lelaki itu menutup pintu kamar dengan kakinya sehingga terdengar suara bam. "Please, jangan ninggalin aku kayak gitu lagi. Aku takut." Suara Doni terdengar parau. Dia menangis. Dari ditinggal Barina, lelaki itu dihantui rasa takut dan menahan kesedihannya. Bukan bulan madu seperti ini yang dia mau.

Mendengar suara Doni yang parau, Barina mulai memeluk lelaki itu setelah sedari tadi berkeras hati untuk tidak akan memafkan lelaki itu. "Aku minta maaf. Aku kecewa aja. Seharusnya aku tau masa lalu Kak Doni. Tadi aku seperti orang paling bodoh yang nggak tau masa lalu suaminya sendiri. Bodohnya lagi aku main ninggalin begitu aja. Aku kesal, marah, kecewa." Barina kembali menangis.

Doni merenggangkan pelukan dan langsung menyambar bibir tipis istrinya. Dia mengecupnya lama sehingga menghentikan tangisan istrinya. Barina menyambut kecupan itu sehingga mereka saling berpautan. Salah satu tangan Doni memegang wajah Barina dengan lembut. "Maafin aku, ya. Seharusnya aku cerita semua ke kamu. Maafin aku." Dia melepaskan kecupan itu untuk menjelaskan dan meminta maaf kepada istrinya. "Aku akan cerita semuanya ke kamu. Asal kamu tau sayang," Doni membelai lembut wajah Barina, "mau seperti apapun masa lalu aku, secantik apapun mantan aku, seindah apapun kenangan aku, semuanya hilang karena ada kamu di samping aku. Bersama kamu dan menikahi kamu adalah anugerah buat aku. Aku nggak peduli lagi bagaimana masa lalu aku. Aku cuma peduli dengan masa sekarang dan masa depan kita. Aku cuma ingin kamu. Kamu percaya, kan?" Mata mereka saling mengunci.

Barina memandang suaminya lebih dalam seolah bisa melihat ketulusan dan kejujuran di dalam retinanya. Dia seperti melihat cermin dirinya di sana. Tanpa jawaban, wanita itu mencium suaminya tanpa aba-aba. Dia memindahkan kedua tangannya ke atas, melingkari leher Doni.

Doni menganggap ciuman ini adalah jawaban Barina untuk percaya padanya. Dia membalas kecupan itu hingga mendarat di atas ranjang kamar hotel yang empuk. Mereka lupa dengan rencana jalan-jalan hari ini. Mereka melanjutkan bulan madu dengan bercumbu sepuasnya di dalam kamar hotel seolah ingin melupakan apa yang sudah terjadi sebelumnya.

Menjelang malam mereka pergi makan malam romantis di restoran Montreux Palace sambil menikmati matahari terbenam. Ini merupakan salah satu rencana yang dipersiapkan Doni. Pelayan sudah menyajikan makanan lezat di meja yang menghadap Danau Geneva.

Barina yang mengenakan gaun hitam nampak elegan dengan high heels krem, senada dengan kaki jenjangnya dan jempit rambut perak yang menghiasi rambut kecoklatannya. Sedangkan, Doni mengenakan kemeja hitam, celana abu-abu tua serta sepatu kulit berwarna coklat yang mengkilat.

Barina nampak terkejut dengan makan malam ini. Di luar dugaan. Dia mengakui bahwa suaminya memang pandai membuat kejutan. Doni menarik kursi dan menyilakan istrinya duduk. Mendapat perlakuan seperti itu, dia merasa seperti berada di negeri dongeng, seperti menjadi tuan putri. Barina kehabisan kata-kata untuk sekadar mengucapkan terima kasih.

Doni duduk di sebelahnya dan menggenggam tangan Barina mesra. Dia menatap istrinya, membuat Barina tak henti untuk tersenyum. "Kamu harus tau, Sayang, aku cinta kamu sampai kapanpun. Enggak ada yang bisa menggantikan kamu," ucap Doni.

Barina menjawab dengan senyuman. Dan aku nggak akan membiarkan wanita manapun mengganggu rumah tangga kita. Siapapun mereka yang berani menggangu, akan aku hadapi. Barina bicara dalam hati.

Matahari mulai kembali ke peraduan secara perlahan. Semburat oranye membuat pemandangan terlihat indah bagaikan lukisan. Danau Geneva seakan menjadi tenang dan membisu, membiarkan kedua insan yang tengah mabuk asmara ini menikmati dunia berdua.

Oranye berubah menjadi kelam. Gunung dan danau tidak lagi nampak, yang terlihat hanya lampu yang menerangi restoran. "Kak ...." Barina membuka suara setelah menimbang-nimbang.

"Iya, Sayang." Doni menunggu kelanjutan ucapan Barina.

"Aku mau jujur." Barina menarik napas panjang.

Doni menatap Barina semakin dalam.

Barina berdeham sekali. "Sekarang aku ngerti perasaan Maya waktu masih sama Kak Doni. Menjadi pasangan Kak Doni itu nggak semudah yang aku pikirkan. Menghilangkan rasa cemburu itu susah, apalagi kalau nggak tau apa-apa. Jadi cemburu tanpa alasan." Barina menghentikan ucapannya sementara. "Aku cuma takut apa yang dialami Maya, aku alami juga."

Kening Doni berkerut.

"Kadang aku merasa aku adalah penyebab keretakan hubungan kalian. Aku orang ketiga di hubungan kalian. Kalau lagi mikir hal itu, aku merasa jahat banget." Barina menunduk.

"Hei, hei!" Doni mengangkat dagu istrinya. "Masalah itu udah kita bicarakan, kan. Bahkan sebelum kita nikah. Di sini nggak ada yang jahat, nggak ada orang ketiga karena yang tau perasaan aku, ya aku sendiri. Aku memang nyaman sama kamu dari masih sama Maya, tapi bukan berarti aku suka sama kamu. Saat itu aku anggap kamu sebagai orang yang aku percaya di kantor karena kita udah kenal dari SMA. Aku mulai ada rasa sama kamu waktu udah nggak sama Maya. Kamu hadir bangkitin semangat aku dengan cara kamu sendiri. Kamu itu jujur sama perasaan dan realistis. Itu yang aku suka sama kamu. Awalnya aku ragu karena takutnya ini cuma perasaan selewat aja karena aku lagi patah hati. Tapi aku cemburu waktu kamu sama Geri. Apalagi waktu dengar kamu mau dilamar sama dia. Rasanya takut, kesal sama diri sendiri dan merasa bodoh sendiri. Makanya saat itu juga aku minta ke papa dan mama buat lamar kamu. Aku nggak mau kamu jatuh di tangan pria lain. Kamu itu milik aku." Doni membelai kepala Barina. "Apapun yang terjadi nanti, kamu harus yakin dan percaya sama aku. Kita harus saling percaya. Tanamkan dalam pikiran dan hati kamu baik-baik kalau aku nggak akan berpindah hati ke wanita lain. Masa lalu biarkan jadi masa lalu. Aku nggak peduli. Aku cuma peduli sama kamu, masa sekarang dan masa depan aku." Doni mengecup punggung tangan istrinya lama sambil memejamkan mata. Dia menghayati sekali seakan mengirim keyakinan dan ketulusannya kepada Barina lewat sentuhan itu.

Mata Barina mulai berkaca-kaca hingga membasahi pipinya. "Terima kasih," ucapnya parau.

Saat membuka mata, Doni mendapati wajah Barina yang basah. "Hei, kenapa nangis?" Dia menyeka air mata itu dengan lembut. "Aku nggak mau lihat kamu nangis. Kita ke sini mau senang-senang."

Barina tersenyum. "Aku terharu. Makasih, ya."

Doni menggeleng. "Aku yang harusnya makasih."

"Kenapa?"

"Karena kamu udah mau sama pria kayak aku." Doni mengecup ubun-ubun, kening, kedua mata, hidung dan berakhir di bibir istrinya. "Sekarang kita makan, ya," ajak Doni. Perutnya terasa lapar sekali. Mereka mulai menikmati sajian menu candy light dinner yang romantis.

Di sela mereka menyantap makanan, Doni izin ke toilet sebentar. Selama itu, Barina melirik ponsel suaminya yang tersimpan di samping piring. Dia agak ragu untuk mengambil ponsel itu. Dia melirik ke arah toilet, takut Doni muncul tiba-tiba. Dengan keyakinan yang mantap, dia meraih ponsel itu dan membuka kunci pengamannya. Dia menuju kotak telepon, mencari nama wanita yang mereka temui di depan gedung casino tadi. Barina mencatat nomor tersebut ke ponselnya. Usai mencatat, dia meletakkan kembali ponsel Doni dan memastikan sesuai posisi semula agar suaminya tidak curiga. Tak lama Doni pun kembali dari toilet.

"Kamu kenapa tegang begitu?" Air muka Barina tidak bisa disembunyikan.

Barina menjadi salah tingkah. Dia membenarkan duduknya. " Enggak apa-apa. Habis Kak Doni lama."

"Aku cuma sebentar padahal. Kamu nggak mau jauh dari aku, ya?" Doni menyolek dagu Barina sambil mengulum senyum.

Barina tersenyum terpaksa. "Hahaha ... iya."

Mereka pun melanjutkan makan malam. Setidaknya untuk saat ini Barina sudah lumayan tenang. Apalagi Doni tidak menaruh curiga sedikitpun padanya.

-----
Terima kasih sudah membaca 😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top