Piece #19: Di Luar Dugaan

Mereka meluncur ke salah satu tempat yang menjadi impian Barina, Queen: The Studio Experience. Sebenarnya, lokasi museum tersebut dekat dengan hotel tempat mereka menginap. Cukup dengan berjalan kaki sekitar satu kilometer. Rasanya tidak akan melelahkan jika berjalan kaki karena cuaca hari ini sangat menyenangkan, lumayan hangat. Namun, Doni tidak ingin kaki jenjang istrinya kelelahan.

Sekitar lima menit dengan kecepatan normal, mereka tiba di depan gedung Casino Barrière Montreux. Di depan gedung berkonsep agak latin itu terpampang tulisan casino dengan huruf besar. Seperti nama gedungnya, di dalamnya bukan sekedar museum saja, memang tempat casino, mesin permainan, restoran dan club. Museum Queen terletak di atas sedangkan casino di lantai bawah. Dari atas kita bisa melihat pelbagai mesin permainan dengan interior didominasi merah dan lampu kuning.

Barina nampak semangat saat memasuki gedung itu. Kedua matanya terbelalak saking terkesiap dengan apa yang terlihat di depan mata. Bukan dengan mesin permainannya, melainkan menginjakkan kaki di museum yang selama ini ingin dikunjungi. Dia menaiki anak tangga perlahan sambil bergandengan dengan Doni. Barina mendongak memandangi langit-langit museum yang seperti bintang di langit malam. Kedua matanya semakin lebar saat tiba di depan sebuah lemari kaca yang berisikan album pertama Queen, Jazz, 1978. Tidak hanya piringan hitamnya saja, melainkan terdapat pula kaset pita, CD hingga draft lirik lagu dengan beberapa coretan bertinta merah. Di sampingnya berderet lemari kaca yang berisikan album Queen yang lain beserta sejarahnya.

Barina mengeluarkan kamera kecil dari tas dan mulai mengambil foto dan video. Doni yang sedari tadi menonton ekspresi istrinya hanya bisa tersenyum. Dia tidak begitu peduli dengan museum ini, dia peduli dengan kebahagiaan istrinya.

"Mau aku fotoin?" Doni menawarkan jasa kepada wanita itu.

"Tentu, Sayang." Barina menyerahkan kamera kepada Doni dan mulai bergaya di depan lemari kaca itu. Mereka berpindah ke lemari lain yang berisikan kostum panggung Freddie Mercury. "Baju ini fenomenal dan seksi. Dipakai Freddie tahun 1979. Nama bajunya catsuit: terusan yang pas dengan badan. Bahannya fleksibel," jelas Barina menjelaskan sejarah kostum itu kepada Doni tanpa diminta. "Gaun panggung ini dipakai Freddie saat tampil di pertunjukkan era album Sheer Heart Attack dan A Night at The Opera, 1975. Gaun ini rancangan Zandra Rhodes atas permintaan Freddie. Sebenarnya gaun ini adalah gaun pengantin, berbahan satin, model kupu-kupu. Kalau nggak salah tahun 1975." Barina terus menjelaskan sejarahnya layaknya seorang pemandu tur. Doni mendengarkan dengan saksama sambil sesekali mengulum senyum.

"Kamu tau banget," ucap Doni saat meninggalkan lemari kostum itu.

Barina menyengir. "Kalau istilah anak KPOP, aku itu udah kayak fan girl-nya Queen."

"Kamu mau dengar, nggak?" tanya Doni seraya menunjuk sebuah headphones yang tengah memainkan lagu We Are The Champions.

"Boleh." Barina memasang headphones di kepalanya. Dia mengangguk-angguk mengikuti irama lagu yang dimainkan.

Doni menyapu pandangan. Sepasang matanya menangkap sebuah ruangan melewati lorong bertirai merah. Di sana terlihat ada beberapa orang sedang berdiri.

"Keren." Barina menanggalkan headphones dan meletakkannya kembali.

"Ke sana, yuk!" ajak Doni. Dia menggandeng tangan Barina lagi seakan tidak ingin jauh.

"Ruangan apa, ya, itu?"

"Wah, mixing room." Doni terpukau dengan alat mixing.

"Kayaknya bisa kita coba, deh."

"Kayaknya."

Mereka bergantian dengan pengunjung. Setelah pengunjung itu pergi, mereka berdua mencoba menggunakan alat mixing itu. Di sana juga terdapat draft lirik lagu A Winter's Tell dan Mother Love dari album Made in Heaven. Mereka juga tidak lupa mengambil beberapa foto. Tidak jauh dari sana, terdapat plakat di lantai yang menandakan tempat sang vokalis legendaris itu berdiri saat rekaman terakhir.

Barina sangat puas berkeliling museum ini. Beberapa kali ujung matanya basah karena terharu, namun segera diseka agar Doni tidak melihat. Namun, saat mereka keluar gedung, air mata Barina tidak dapat dibendung lagi. Dia sangat terharu sampai merinding.

"Kamu kenapa nangis?" Kali ini Doni tidak merasa aneh lagi melihat Barina menangis setelah mendapatkan mimpinya. Dia menyeka air mata Barina. "Aku tau kamu terharu. Udah, ya." Rasanya lelaki itu ingin tertawa kali ini tapi sebisa mungkin ditahan. "Kamu mau nulis kesan-kesannya, nggak tuh?" tanyanya saat melihat dinding luar gedung dipenuhi coretan para pengunjung. Ada yang menuliskan pengalaman datang ke museum ini, kerinduan mereka kepada sang legenda bahkan ada yang menggambar wajah Freddie Mercury. "Sepertinya mereka yang datang ke sini rata-rata penggemar berat, ya. Kebanyakan yang rindu dengan Freddie Mercury," ujar Doni setelah membaca komentar yang tertulis di sana.

Barina mengangguk. Dia merogoh tas berharap membawa pulpen atau spidol. Keberuntungan masih berpihak padanya. Di dalam tas kecil itu terdapat pulpen. Dia menuliskan kesan-kesan di sana setelah mendapatkan celah kosong untuk menulis. Barina menghela napas panjang setelah memasukkan pulpen ke dalam tas lagi. "Patung Freddie Mercury di mana?" Barina menoleh kiri-kanan.

"Di situ." Doni menunjuk arah yang dimaksud. "Ayo kita ke sana!" Dia menjulurkan tangan hendak meraih tangan Barina, disambut baik oleh istrinya. Mereka bergandengan lagi. "Kamu udah lapar belum?" tanyanya.

"Belum." Barina menggeleng.

Di depan patung legendaris ini, pengunjung bergantian mengambil foto, mengabadikan momen, termasuk sepasang pengantin ini. Banyak pengunjung yang menaruh buket bunga sebagai pemberian penghargaan kepada legenda kelahiran Zanzibar itu.

Usai berfoto-foto mereka duduk sejenak di depan danau Geneva sambil menikmati angin pagi di Montreux. Barina merebahkan kepala di bahu Doni. Sedangkan, lelaki itu merangkul bahu istrinya dengan mesra sambil sesekali membelai dan mengecup kepalanya. Ketentraman negara yang disebut Land of Milk and Honey ini membuat Barina dan Doni semakin tentram berdua. Rasanya ingin menghabiskan waktu lama dan enggan meninggalkan negara ini.

"Di depan Casino tadi, ada patung beberapa musisi, loh, Sayang." Doni membuka pembicaraan setelah beberapa saat terdiam menikmati keindahan perpaduan danau dan gunung.

"Oh, ya? Siapa aja?" Barina meletakkan tangan di paha Doni.

"Nggak tau. Kita, kan, belum mampir tadi."

Barina berdiri tiba-tiba membuat Doni ikut mendongak. "Ayo kita ke sana!" ajaknya sambil membersihkan bagian panggul bajunya.

Tanpa protes, Doni ikut beranjak dan mengikuti wanita itu pergi. "Mau aku fotoin nggak?"

Barina menggeleng. "Nggak usah. Aku nggak minat juga," jawab Barina sambil membaca keterangan yang tertulis di bawah patung-patung itu.

Selama Barina tengah melihat-lihat, seseorang menepuk bahu Doni dari samping. Lelaki itu terkejut bukan main ketika menoleh ke arah orang itu. "Nadine?" Dia tidak menyangka bertemu dengan wanita itu di sini.

"Halo, Doni! Long time no see," sapa Nadine dengan aksen Swiss Jerman sambil memeluk lelaki itu.

"Alone?" Doni berusaha untuk melepaskan pelukan itu dengan sopan.

"Ya. Since you left me, I've always been alone. I hate you, Doni." Nadine tidak benar-benar membencinya tapi memang kecewa. "You?" tanyanya balik.

"I'm with my wife." Doni menunjuk ke arah Barina yang sudah melihat mereka dari tadi. "Sayang, sini!" seru Doni.

Barina menghampiri Doni dan melontarkan senyuman kepada wanita Swiss itu.

"She's my wife." Doni memperkenalkan Barina kepada Nadine. "Sayang, ini Nadine, teman aku waktu di sini." Doni menjelaskannya kepada Barina.

Barina terdiam mendengar kalimat terakhir Doni. Seingat dia, suaminya tidak pernah menceritakan pernah tinggal di Swiss atau tentang wanita Eropa ini. Lagi-lagi dia dilanda kecurigaan. Barina menjulurkan tangan kepada Nadine, hendak bersalaman. Meskipun kecewa, dia tetap harus bersikap sopan untuk menjaga nama baik suaminya.

Nadine tidak menyambut tangan Barina. Dia hanya membalas dengan senyuman. "What? Friend?" Nadine memasang muka kesal. Meskipun tidak bisa berbicara Bahasa Indonesia, sedikit dia tahu beberapa kata. Hasil berteman dengan Doni selama setahun silam.

"Ya, friend," jawab Doni.

Barina mematung memperhatikan mereka dengan muka datar.

"Ya, friend. Special friend." Nadine menyeringai. "Next month, I'll go to Jakarta. Could we meet then?"  

"He can't. He's busy," jawab Barina spontan. Dia tidak mau suaminya bertemu dengan wanita Eropa ini di Jakarta, dan tidak akan pernah membiarkan pertemuan itu terjadi. "Aku lapar. Makan, yuk!" ajak Barina kesal.

"Iya, Sayang." Doni mejulurkan tangan hendak bersalaman dengan Nadine. "See you later."

Tanpa izin Nadine memeluk Doni di depan mata Barina. Doni melepaskan pelukan itu dengan senyuman terpaksa. "See you later, Doni." Wanita itu pergi meninggalkan peperangan yang sebentar lagi meledak.

"Nggak nyangka ketemu dia lagi," ujar Doni sambil melihat punggung Nadine yang sudah menjauh.

Kesal Barina sudah tidak terbendung lagi. "Kalian tidak akan bertemu lagi. Never!" Dia pergi begitu saja. Bukan ke arah mobil mereka terparkir.

"Kamu mau ke mana? Mobilnya di sana," seru Doni.

"Pulang sendiri aja." Barina terus menyusuri Danau Geneva dengan berjalan kaki. Hatinya kesal bukan main. Dia tidak habis pikir dengan mereka berdua. Apa wanita Eropa biasa peluk-peluk suami orang?" pikirnya. "Kalau memang biasa, jaga perasaan orang, kek. Kak Doni, kan, suami gue. Resek," gerutunya.

Doni diam sejenak memikirkan mana yang harus dipilih, mengejar Barina atau mengambil mobil. Dia memilih mengejar istrinya meskipun sudah jauh. "Jalannya cepat juga," ucapnya sambil berlari. Doni meraih tangan Barina dan menghentikan langkahnya. "Kamu marah kenapa?" Napas Doni tersengal-sengal.

Kening Barina mengerut. "Kenapa? Masih tanya kenapa? Kak Doni punya perasaan, nggak, sih?" Suara Barina meninggi. Dia melepaskan tangannya dari genggaman Doni dan melanjutkan jalan.

Doni memilih tidak mengejar Barina, melainkan kembali dan mengambil mobil lalu menyusuri jalan yang Barina tempuh. Dia mengawasi istrinya dari mobil. Menurutnya, jika Barina sudah marah lebih baik dibiarkan dulu sampai mereda. Apalagi tidak baik bertengkar di jalan. Pertengkaran ini benar-benar di luar dugaan. Doni mengusap wajah dan menenangkan pikiran agar tidak ikut kesal. "Menghadapi wanita harus sabar," lirihnya.

-------

Lagi senang-senang, orang dari masa lalu datang. Rasanya itu ....

Terima kasih sudah membaca 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top