Piece #17: Bukan Kompetisi
Semalam hujan turun derasnya. Aroma hujan masih terhidu di rongga penciuman pengantin yang baru menikah genap empat bulan. Masa romantis mereka cicipi setiap hari. Bahkan pagi ini pun mereka masih menggeliat berdua di atas ranjang. Kesejukan dari luar pasca hujan ditambah dinginnya pendingin ruangan membuat mereka malas untuk beranjak. Hanya ingin bergumul di balik selimut sambil bercumbu mesra.
Semakin hari, mereka semakin merasakan problematika berumah tangga. Semalam, baru saja berdebat soal Doni pulang rapat hingga malam tanpa kabar sama sekali. Padahal Barina sudah menunggunya hingga larut dan tertidur di meja makan dengan nasi goreng buatannya. Alhasil, nasi goreng pun tidak dimakan.
Perdebatan alot itu berakhir dengan penyesalan dari Doni yang lupa mengisi baterai ponselnya. Katanya, jika istri marah karena kesalahan suami, jangan cepat-cepat meminta maaf. Lebih baik menyadari kesalahan dan cepatlah menyesal serta berjanjilah untuk tidak mengulanginya lagi. Dengan itu, amarah istri akan mereda. Jika istri sudah mereda, kecuplah dia dengan mesra, ini akan benar-benar mengembalikkan moodnya. Saran tersebut pernah Doni baca dari sebuah website yang berisikan keluh kesah para suami. Banyak yang berhasil. Oleh karena itu, Doni mencobanya apakah berpengaruh terhadap Barina. Maka, perdebatan itu ditutup dengan penyesalan dan kecupan mesra Doni yang berlanjut di atas ranjang. Ternyata, sangat berpengaruh bagi Barina. Doni tidak menyesal pernah masuk ke website curhatan para suami.
Pagi itu, dengan berat hati, Barina beranjak dari ranjang lalu mencuci muka dan menggosok gigi. Dia ingin masak pagi ini setelah masakan tadi malam terbuang begitu saja. Dia ingin menyajikan sarapan yang lezat untuk suaminya. Hanya berpakaian dress tidur abu-abu selutut dan celana hotpants warna senada, dia keluar rumah menuju tukang sayur untuk membeli bahan masakan. Rambut pendek dibiarkan tergerai sambil sesekali menyugarnya.
"Pagi, Mbak Barina!" sapa Bu RT dengan daster merah mencolok bermotif bunga-bunga.
"Pagi, Bu RT," sahut Barina dengan senyuman.
"Tumben masak," balas wanita tua berdaster hijau lumut yang terlihat memudar.
Barina hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu.
"Kan, kerja, Bu," jawab Tati, tetangga Barina yang rumahnya berdampingan. Dia melontarkan senyum ke Barina seolah tahu isi hatinya. "Iya, kan, Mbak?" tanyanya kepada Barina.
Barina hanya tersenyum.
"Saya dulu juga wanita karir. Jarang masak. Masak cuma Sabtu, Minggu. Itupun nggak setiap minggu. Saya ngerti posisi Mbak Barina." Ucapan Tati membekuk lidah wanita tua berdaster hijau lumut yang terlihat memudar.
Barina memandang Tati seakan ingin mengatakan terima kasih. Baru saja merasa lega, obrolan ibu-ibu ini kembali mengacak emosi Barina dengan sindiran yang seakan mengarah padanya.
"Anaknya Bu Marwan yang bulan lalu nikah, sudah hamil, loh." Bu RT membuka pembicaraan selepas Tati menyelesaikan belanja dan kembali pulang.
"Oh, ya? Wah cepat, ya, dikasih kepercayaan," sahut wanita berdaster putih kusam dengan jilbab besar.
"Tokcer," bisik wanita lain sambil terkekeh.
Barina mulai gerah dengan gosip ibu-ibu ini. Sebenarnya dia malas belanja di tukang sayur bukan karena sombong atau sok kaya belanja di supermarket tetapi tidak tahan dengar gosip ibu-ibu ini. Dia tidak bisa membayangkan mendengar gosip mereka setiap pagi. Bisa negatif terus auranya. Barina mengambil wortel, kentang, cabe merah, bawang merah, bawang putih dan dua batang seledri lalu menyerahkannya ke tukang sayur untuk dihitung.
Saat tukang sayur menghitung belanjaannya, Bu RT melontarkan pertanyaan lagi yang sukses menyulut emosi Barina. "Mbak Barina kapan?"
Beberapa pasang mata mengarah pada Barina. Dia terdiam mengatur emosi. Dalam hati berkata, 'bang, cepatan hitung belanjaanya!'
"Masa kalah sama anaknya Bu Marwan?" tanya wanita tua berdaster hijau lumut yang terlihat memudar.
"Sepuluh ribu, Mbak," jawab tukang sayur.
Barina menyerahkan selembar uang sepuluh ribu kepada tukang sayur.
"Menikah dan punya anak bukan kompetisi. Kalau Ibu dan Bu RT mau tau kapan saya dikasih keturunan, saya minta tolong boleh?" tanya Barina sebelum meninggalkan mereka.
"Apa?" Bu RT menunggu lanjutan ucapan Barina.
"Tolong Ibu temui Tuhan lalu tanya ke Tuhan kapan saya dikasih keturunan. Kalau Ibu sudah dapat jawabannya, kasih tau saya, ya." Barina melontarkan senyuman sinis.
"Maksudnya?" Kening wanita nomor satu di RT itu mengerut.
"Ibu meninggal dulu buat bisa ketemu Tuhan. Itu juga kalau ketemu," celetuk tukang sayur sambil mengulum senyum lalu menutup mulutnya saat lirikan Bu RT mengarah padanya.
"Permisi!" Barina meninggalkan ibu-ibu dengan perasaan puas setelah melihat ekspresi kesal Bu RT. "Pagi-pagi bikin moody aja," lirihnya sambil mempercepat langkah.
Sesampainya di rumah, dia menghambur ke kamar setelah meletakkan belanjaan di sofa. Dia berteriak kesal sehingga membangunkan suaminya.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Doni dengan mata berat untuk dibuka.
"Kesal aku."
"Kenapa?" Doni meraih tangan istrinya.
"Masa tadi di tukang sayur Bu RT tanya kapan aku punya anak. Pake bandingin sama anaknya Bu Marwan, lagi. Dikira hamil itu kompetisi. Kesel aku." Barina meracau tanpa jeda. Dia meluapkan kekesalan yang tertahan selama di tukang sayur.
Doni membangkitkan badan dan duduk di samping Barina. Satu tangannya melingkar di pinggang Barina sambil membelai kepala istrinya. Dia mengecup kening dan kepala Barina sambil berdoa agar emosi istrinya mereda. "Kamu nggak usah dengerin omongan ibu-ibu. Mereka banyak ngegosipnya."
"Tapi kesal, Sayang." Barina memukul-mukul kasur.
"Wajar. Aku paham." Doni memeluk Barina. "Mereka mana tau kalau aku sering buahin kamu. Memang Tuhan belum kasih aja. Kita harus sabar. Jangan mudah terpancing. Aku nggak mau emosi kamu labil. Nggak baik buat kesuburan kamu."
Barina terdiam mendengar ucapan suaminya, namun ada yang aneh dengan lelaki itu. Barina menoleh. "Kak Doni tau dari mana soal kesuburan?" Dia memicingkan mata.
Doni jadi salah tingkah. "Baca di website." Dia menyeringai.
Barina hanya tersenyum. Dia tidak menyangka bahwa suaminya selangkah lebih dulu peduli dengan hubungan rumah tangganya. Satu sisi, Barina bersyukur karena memiliki suami yang peduli melampaui dirinya sendiri. Kini Barina mengerti apa yang dirasakan Nurulia selama bertahun-tahun. Dia baru satu kali diusik pertanyaan brengsek itu, sudah senewen. Apalagi Nurulia yang berkali-kali? Barina menyandarkan kepala di dada telanjang Doni. Dia menghidu aroma tubuh lelaki itu sambil mendengar detak jantung suaminya, lelaki tersabar yang pernah dia miliki. "Ya udah, aku masak dulu."
Doni menahan tangan Barina. Dia ingin memeluk istrinya lebih lama lagi untuk beberapa saat. "Sebentar lagi, ya," pintanya.
Barina menuruti permintaan Doni dengan pelukan erat. Namun, kata sebentar itu tidak benar-benar sebentar. Mereka berlanjut dalam cumbuan mesra. Barina teringat ucapan suaminya bahwa orang lain tidak tahu berapa kali mereka melakukan pembuahan. Yang orang lain tahu adalah yang terlihat oleh mata mereka.
Lidah memang tidak bertulang tetapi lidah dapat dikendalikan oleh otak dan perasaan.
----------
Terima kasih sudah membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top