Piece #15: Dugaan

Sudah dari kemarin Barina merasa tidak enak badan. Setiap hari selalu saja merasa pusing, namun tidak mau menampakkan keadaannya kepada Doni. Dia ingin terlihat sehat. Tidak dengan malam ini. Dari siang sudah merasakan kepala pusing, rasanya mau pingsan. Niat ingin pulang cepat tidak dapat diwujudkan karena harus menunggu suaminya pulang rapat.

Doni mendapati Barina yang terbaring di sofa di dalam ruangannya. Tidak biasanya dia melihat istrinya sudah tidur jam segini. Mungkin kecapekan, pikirnya. Doni sedikit berjongkok di depan sofa lantas memegang kepala istrinya dan malah membangunkannya. "Kamu capek, ya?" tanya lelaki itu.

Dengan sedikit membuka mata, Barina mengangguk. Rasanya kedua kelopak mata terasa berat dan kepala seperti ditimpa batu besar, berat sekali. "Aku mau pulang," lirihnya.

"Iya kita pulang. Maaf ya bikin kamu nunggu. Sebenarnya aku kepengin kamu langsung pulang tapi satu sisi aku nggak mau sendirian di jalan pulang. Takut ngebut kepengin cepat-cepat ketemu kamu."

Barina menyungging senyum terpaksa. Bahkan menarik ujung bibirnya pun terasa berat. Barina berusaha membangunkan tubuhnya. Baru saja mengangkat kepala, dunia rasa mau runtuh. Saat Doni meletakkan tas rapat, Barina berusaha membangkitkan badan dari sofa. Sayangnya, dia oleng dan terduduk kembali. Memandangi punggung suaminya, seakan membisikkan semangat kepada diri sendiri.

Doni melihat istrinya berusaha berdiri sempoyongan. Dia mengernyit. Tak lama Barina oleng dan akan jatuh, namun dengan sigap Doni menahan tubuh wanita itu. "Kamu sakit?" tanyanya.

Barina menggeleng. "Cuma capek aja," jawabnya pelan.

"Jangan bohong. Kamu kalau nggak enak badan, bilang aja. Jangan sok sehat."

Barina tidak berkomentar. Lidahnya terasa berat. Doni memapah wanita itu berjalan, namun sayang baru saja beberapa langkah, dia kembali oleng. Doni kembali mendudukkan istrinya ke sofa lantas mengambil air hangat ke pantry. "Minum dulu!" Dia menyodorkan segelas air putih hangat dengan tambahan satu sendok madu. "Kamu kuat jalan, nggak?" tanyanya seraya meletakkan kembali gelas di meja setelah Barina meneguk habis air madu hangat.

Barina terdiam. Ingin menggeleng tetapi tidak enak. Mana mungkin minta digendong? Dia merasa tubuhnya berat. "Aku ...." Perkataan Barina terhenti saat Doni melingkarkan tangan wanita itu di bahunya.

Tanpa bicara, Doni membopong tubuh istrinya dan meninggalkan kantor. Barina meletakkan kepala di bahu suaminya. Ini memang romantis, tetapi Barina tidak bisa menikmati keromantisan ini. Pikirannya berantakan gara-gara sakit kepala.

Sesampai di parkiran, untung saja Bono belum pulang. Doni meminta Bono mengantarkan mereka pulang. Dengan sangat hati-hati dia mendudukan istrinya di jok belakang dan dia di sampingnya. Bono melajukan kendaraan menuju rumah setelah mendapat intruksi dari Doni.

Di sepanjang perjalanan, Doni meminta Bono untuk mengantarkan ke rumah sakit namun disanggah istrinya. Dengan bicara agak berbisik, Barina berkata ingin pulang dan tidur di rumah. Tanpa protes Doni menuruti.

Tidak sedetikpun Doni melepaskan genggaman istrinya. Tangan yang lain membelai kepala Barina yang tertumpu di bahunya. Beberapa kali Doni mengecup kepala istrinya diiringi doa untuk kesehatan wanita yang sangat dicintainya itu.

"Apa tanda-tandanya?" tanya Arti dari balik sambungan telepon saat Doni menghubunginya setelah tiba di rumah dan memastikan Barina sudah tertidur.

"Pusing katanya, Mbak," jawab Doni.

"Muntah?"

"Enggak, Mbak."

"Kapan terakhir dia menstruasi?"

"Mana aku tau, Mbak." Doni menarik kursi makan.

"Harusnya tau. Suami harus tau biar bisa lihat jadwal kesuburan istri. Mau punya anak, kan?"

"Aku gimana dikasihnya aja, Mbak."

Arti terdiam sambil berpikir. "Kalau nanti dia muntah bisa jadi Barina hamil."

Doni terkesiap saat mendengar ucapan kakaknya. Apa mungkin tanda-tanda kehamilan bisa terlihat dari sekedar sakit kepala dan muntah? pikirnya. Meskipun pernah menikah sebelumnya, tidak membuat Doni belajar dari pengalaman untuk soal seperti ini. Pasalnya, dia tidak pernah melihat mantan istrinya pucat seperti Barina. Lebih tepatnya, dia tidak peduli. Doni yang dulu adalah lelaki yang egois dan tidak memedulikan orang lain. Berbeda dengan Doni yang sekarang yang tidak mau melihat istrinya menderita sedikitpun. "Nanti kalau ada perkembangan, aku telepon Mbak lagi," ucapnya sebelum menutup sambungan telepon. Dia memandang Barina dari meja makan ditemani segelas kopi hitam yang diseduh sendiri, biasanya Barina yang membuatnya. Dia pun lupa untuk makan malam. Sudah tidak terpikir lagi soal makan dan dirinya sendiri.

Hingga tengah malam Barina belum juga terjaga. Sepertinya sakit kepala membuat wanita itu tidak sadarkan diri. Doni berinisiatif untuk mengganti pakaian istrinya agar bisa bernapas dan bergerak bebas. Kemudian, dia tidur di sampingnya seraya menggenggam tangan Barina. Sedetikpun tidak mau terlepas. Sesekali Barina meringis sambil memegang kepala dan perutnya, dan saat itu pula Doni memeluknya, berharap dapat membantu mengurangi sakit. Andaikan sakit yang dirasakan Barina dapat dipindahkan, dia siap menerima penyakit itu.

Keesokan paginya, Doni terbangun karena mendengar Barina muntah-muntah di kamar mandi. Lelaki itu langsung beranjak dari tempat tidur, padahal baru tidur dua jam karena tidak bisa tidur. Di ambang pintu kamar mandi, Doni melihat istrinya susah payah mengeluarkan mual dari dalam perut. Lelaki itu mengusap punggung istrinya.

Saking mualnya, Barina tak kuasa menahan. Bahkan, sampai memuntahkan cairan kuning yang berasal dari lambung. Kata orang, kalau sudah keluar cairan kuning, berarti lambung benar-benar kosong. Dia terduduk di samping toilet duduk dengan rambut berantakan, mata berair, wajah memerah, tangan dingin, badan hangat.

Mata Doni berkaca-kaca melihat keadaan Barina. Baru kali ini melihat istrinya seperti ini. "Ke dokter, ya," pintanya seraya membelai kepala istrinya.

Barina berusaha mengatur napas dan sensasi mual yang mulai mereda. Dia menggeleng. "Aku cuma pengin istirahat aja," jawabnya dengan suara parau. Dia berusaha berdiri namun terduduk lagi karena saking sempoyongan. Pandangannya berputar-putar bagaikan dunia akan runtuh.

Lagi-lagi Doni melingkarkan tangan Barina di bahunya lalu membopong ke tempat tidur. "Ya udah, kamu makan, ya. Semalam kamu belum makan," ujar Doni setelah merebahkan Barina.

Barina hanya mengangguk.

Doni bergegas ke dapur untuk membuatkan oatmeal dan air madu hangat. "Aku nggak mau kamu sakit, Sayang," ucapnya saat menyuapi oatmeal ke Barina.

Barina menatap suaminya dengan sayu. "Aku juga nggak mau sakit. Tiba-tiba aja."

Entah kenapa, Doni teringat ucapan Arti mengenai dugaan kehamilan. Dia bertanya-tanya soal kemungkinan itu di dalam hati. "Jangan-jangan kamu hamil, Sayang," ucapnya hati-hati.

Barina terdiam. "Memang tanda kehamilan apa aja selain muntah-muntah?" Dia tahu soal pertanda itu tapi apa yang dia rasakan hanya pertanda umum. Penyakit pun ada yang memiliki pertanda yang sama. Kini Doni yang terdiam, dia tidak bisa menjawab. Dia meraih ponsel dan mulai menjelajah tentang tanda kehamilan. Namun Barina menurunkan tangan lelaki itu. "Nggak usah dicari. Kalau memang aku hamil, alhamdulillah. Kalau enggak, berarti aku sakit. Jangan terlalu berharap yang belum pasti, nanti kecewa kalau nggak sesuai harapan."

Doni menyuapi istrinya lagi. "Kalau gitu, kita ke dokter biar tau kamu sakit atau hamil," pinta Doni.

Barina mengangguk.

Usai menghabiskan beberapa sendok oatmeal, mereka berangkat ke dokter untuk memastikan penyebab Barina pusing dan muntah-muntah.

Saat mereka tiba lagi di rumah, Barina tersenyum melihat ekspresi suaminya yang ditekuk. "Aku udah bilang, muntah-muntah itu penyebab penyakit juga. Kayaknya Kak Doni lupa kalau aku punya sakit mag kronis." Dia terkekeh sambil menahan sakit di ulu hati. "Kecewa, ya?" Wajah Barina berubah murung.

Doni memeluk istrinya. "Aku nggak kecewa."

"Bohong!" Barina melepas pelukan Doni.

Doni menghela napas. "Iya, aku kecewa tapi bukan sama kamu tapi ke diri aku sendiri yang gampang menyimpulkan sesuatu seolah paling tau aja." Sebenarnya dia kecewa dengan Arti yang seakan memberi harapan kosong. "Tapi aku janji, nggak akan nyerah bikin kamu hamil." Dia tersenyum nakal.  "Kamu cepat sehat, ya. Kita, kan, mau bulan madu." Doni mengecup kening istrinya yang masih terasa hangat. "Kamu minum obat dulu terus istirahat."

"Kak Doni nggak ke kantor?"

"Enggak. Aku nggak mau ninggalin kamu sendiri."

Barina merasa terenyuh dengan perlakuan Doni kepada dirinya. Dia merasa spesial dan selalu diperlakukan spesial oleh suaminya.

--------
Terima kasih sudah membaca

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top