Piece #13: Kegelisahan

Satu hal yang luput untuk dipelajari Barina adalah menyesuaikan diri saat menghadiri acara penting kolega suaminya. Doni yang merupakan seorang bos dan didasari dari ayah mertua yang juga seorang pengusaha, seharusnya Barina belajar cara membawa diri di tengah acara para kolega. Namun, dia lupa untuk mempelajarinya dari mama mertua. Barina pernah dengar dari orang bahwa menjadi seorang istri dari pengusaha harus bisa bersikap elegan dan berkelas.

Doni dan keluarganya tidak pernah membahas soal itu, seakan hal itu dapat dilalui oleh siapapun. Namun, tidak bagi Barina. Semenjak diberitahu Yuni bahwa ada pertemuan kolega pada Jumat malam nanti, dia menjadi gelisah sendiri. Pasalnya, Doni tidak memberitahu soal ini. Lelaki itu lupa bahwa istrinya bukan dari keluarga pengusaha yang tahu cara bersikap elegan dan berkelas.

Setelah semua karyawan pulang, Barina mondar-mandir di depan meja kerja Doni di saat lelaki itu tengah memeriksa gambar yang akan dikirim esok pagi. Mendengar suara ketukan sepatu berhak milik istrinya, membuat konsentrasi Doni buyar. "Kenapa mondar-mandir?" tanyanya.

Barina menghentikan langkahnya dan berdiri di depan meja kerja Doni. "Kata Yuni besok malam ada pertemuan kolega. Benar?"

Doni mengangguk. "Iya. Kenapa?"

"Kenapa nggak kasih tau aku?"

Doni melepaskan pulpen dari jemari dan bersandar ke kursi. "Untuk apa? Aku kasih tau atau enggak, kamu pasti aku ajak. Kamu, kan, istriku."

"Itu masalahnya." Barina kembali mondar-mandir.

"Apa masalahnya?"

Barina tidak menjawab. Dia ragu untuk memberitahu kegelisahannya ini, takut Doni malah menertawakan dirinya. Gadis itu terus gelisah.

Doni beranjak dari kursi dan mendekati Barina. Dia menahan lengan Barina dan menghentikan langkahnya. "Bilang sama aku apa yang bikin kamu gelisah?"

"Pertemuan itu."

"Kenapa sama pertemuannya? Kamu mau aku nggak usah datang?"

Barina menggeleng dan menunduk. "Aku ... aku ...."

"Kamu kenapa?" Doni semakin tidak sabar.

"Aku nggak tau harus gimana. Aku nggak tau gimana harus bersikap elegan dan berkelas. Aku takut bikin Kak Doni malu." Barina tidak berani memandang suaminya.

Doni mengulum senyum. Dia ingin tertawa namun sebisa mungkin ditahan, takut istrinya tersinggung. Dia harus memahami ketakutan Barina. Doni menurunkan tangannya dari lengan Barina ke jemari wanita itu dan melingkarkannya di sana. "Kamu nggak perlu bersikap seperti kata orang. Cukup jadi diri kamu sendiri. Kamu mau seperti apa, tetap istri aku."

"Bukan begitu, Kak. Duh, gimana, ya." Barina kehabisan kata-kata untuk menjelaskan maksud.

Doni menarik tubuh Barina ke dalam pelukan. "Biar aku peluk kamu dulu." Mereka tanpa kata beberapa saat.

"Aku takut, aku bikin kamu malu. Aku bukan dari orang berkelas," lirih Barina.

"Kalau kamu takut, genggam tangan aku dan jangan pernah dilepasin. Oke?" Doni membelai kepala istrinya.

Barina mengangguk. "Aku pakai baju apa?"

"Baju apa aja kamu cantik, Sayang," jawab Doni. Dia masih tidak mengerti kenapa istrinya sebegitu gelisah tentang acara ini. Entah dari mana istrinya mendengar soal yang dikatakannya. "Kita pulang, yuk!"  ajak Doni.

Barina melepaskan pelukan. Dia menoleh ke tumpukan kertas di meja suaminya. "Itu belum selesai. Besok mau dikirim."

"Aku terusin di rumah aja. Tinggal dikit kok. Bentar. Aku beresin dulu." Doni merapikan tumpukan kertas dan memasukkannya ke dalam tas hitam.

Barina menyambar tas jinjing lalu membantu suaminya memasukkan kertas ke dalam tas hitam. "Mau makan malam apa?" tanya Barina saat perutnya terasa lapar.

Doni mendengar suara gemuruh dari perut istrinya. Dia mengulum senyum. "Kita mampir makan dulu aja. Kamu mau makan pasta? Aku lagi kepengin pasta."

Barina mengangguk. "Apa aja asal sama Kak Doni."

Mereka mematikan lampu dan mengunci pintu sebelum meninggalkan kantor. Mereka terus bergandengan dari keluar kantor, di dalam lift hingga tiba di depan mobil. Bahkan Doni mengenakan sabuk pengaman istrinya sambil sesekali mengecup pipi Barina. "Kita berangkat!" ujarnya sambil menghidupkan mesin dan meninggalkan gedung pencakar langit itu.

Perlahan Doni tahu cara menenangkan kegelisahan istrinya. Salah satunya seperti yang dia lakukan saat ini. Setibanya di rumah, mereka langsung mandi dan mengganti pakaian. Doni melanjutkan pekerjaan di meja makan, sedangkan Barina yang dikira sudah tidur datang menghampiri dan duduk di sampingnya. Doni memandang wanita itu. Dia tahu bahwa istrinya masih memikirkan soal acara besok malam. Meskipun Doni tidak mengerti alasan mendasar seolah masalah besar, dia tetap ingin menenangkan istrinya.

Doni meraih tangan Barina dan mendudukannya di pangkuan. "Kamu temani aku kerja, ya," ujarnya.

Barina kikuk dengan mata mengantuk.

"Tidur aja di sini." Doni menepuk bahunya sebagai arahan. Dia membelai wajah istrinya.

Barina melingkarkan kedua tangan di leher Doni dan merebahkan kepala di bahu lelaki itu, sedangkan Doni kembali meneruskan pekerjaan. Cara ini sangat ampuh untuk menenangkan istri yang sedang dihantui kegelisahan.

Usai meyelesaikan pekerjaan, dia menggendong Barina ke kamar. Perlahan merebahkannya di atas kasur dan menyelimutinya. Dia melintangkan lengan kanan di bawah leher Barina saat berada di samping wanita itu dan membawanya ke dalam pelukan. Doni memeluk Barina seakan tidak ingin melepaskannya sama sekali. Dikecup kepala istrinya dari belakang.

"Udah selesai kerjaannya?" tanya Barina tiba-tiba saat Doni baru saja terpejam.

"Udah. Belum tidur?"

"Kebangun."

"Maaf, ya, bikin kamu kebangun," ucap Doni mesra di dekat telinga Barina.

Wanita itu mengubah posisi tidur, menghadap dada bidang Doni. "Nggak ada yang perlu dimaafin," ucapnya sambil memeluk suaminya. Barina mendongak sedikit memandang lelaki itu. Ada kehangatan yang terasa saat memandangnya.

Begitupun dengan Doni tak kuasa menahan kecantikan istrinya. Kata orang kecantikan wanita akan terlihat alami saat sedang tidur, benar adanya. "Barina yang selama ini aku kenal mandiri, teryata bisa manja juga, ya," ucapnya sambil menyeka rambut wanita itu yang menghalangi mata.

"Aku manja?"

"Iya dan aku suka." Doni tersenyum hangat. "Wanita di depan aku ini udah membuat aku jatuh cinta bukan main."

"Masa?"

Doni mengangguk. "Iya."

"Jangan puji aku terus. Takut aku bosan."

"Aku nggak bisa berhenti puji kamu karena kamu pantas untuk dipuji. Aku pastikan kamu nggak akan bosan dengarnya."

Barina kehabisan kata-kata. Dia membelai wajah suaminya. "Lelaki di depan mataku ini juga udah membuat aku jatuh cinta bukan main."

"Nyontek."

"Biarin."

"Kreatif, dong."

"Mau aku kreatif gimana?"

Doni memandangnya lekat. Dia mengecup kening Barina dengan mata terpejam, dan membiarkannya lama. "Kamu udah nggak gelisah, kan?"

Barina menggeleng. "Berkat suamiku. Makasih, ya."

Tanpa berkata, Doni membawa wajah Barina tenggelam dalam pelukan seraya membelai rambut. Barina pun menguatkan pelukannya di pinggang Doni.

"Aku besok pakai baju apa?" Suara Barina terdengar samar karena terhalang oleh dada bidang suaminya.

"Pakai apa aja kamu udah cantik. Memangnya kamu mau tampil cantik buat siapa, sih? Sampai bingung."

Barina melonggarkan jarak. "Buat pria di depanku, lah. Aku nggak mau buat kamu malu."

"Malu? Emangnya kamu mau ngapain?" goda Doni.

Barina tersenyum nakal. "Udah, ah. Tidur!" Barina kembali menenggelamkan wajah ke pelukan suaminya. Pelukan itu yang selalu memberi kehangatan, kekuatan, perlindungan dan keberanian. Tidak pernah lelah untuk membuatnya selalu tersenyum. Menegarkan saat dirinya ragu dan rapuh dan siap menyeka air mata yang menetes. Semakin hari, Barina semakin mencintai suaminya.

-----
Terima kasih sudah membaca.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top