Piece #10: Satu Kesalahan
Barina menyiapkan makan malam untuk Doni di saat suaminya mandi. Sejak di kantor wajah Barina sudah masam saat melihat sesuatu yang mengundang nuansa hatinya berubah dalam hitungan detik dan berakibat panjang. Setiap diajak bicara oleh Doni, wanita itu kerap menjawab dengan singkat. Doni menganggap kemungkinan istrinya sedang kelelahan. Dia tidak mengetahui isi hati Barina saat ini. Tepatnya, kurang peka.
Barina berharap dengan ditanggapi seperti itu, dapat membuat suaminya peka dan mengerti suasana hatinya. Namun, itu hanya menjadi harapan sia-sia. Lelaki itu bersikap seolah tidak terjadi masalah apapun.
Barina mengambil gelas lalu diisi air putih untuk Doni, namun lamunannya membuat gelas itu meleset dari tangan dan mendarat keras di lantai. Suara nyaring mengisi seisi rumah. Pecahan kaca berserak di bawah meja makan. Seketika membuat Doni bergegas ke ruang makan untuk melihat apa yang terjadi dan memastikan istrinya tidak apa-apa. Melihat respon suaminya, tidak membuat wanita itu terenyuh. Ada yang bergumul di dalam hati.
Barina meminta Doni untuk kembali ke kamar dan mengenakan pakaian, sedangkan dia membersihkan pecahan gelas itu. Saat Doni kembali ke kamar, pecahan kaca menggores salah satu jari Barina sehingga mengeluarkan setitik darah merah. Ini luka memang perih, namun tidak terasa karena sudah terbalut rasa yang membara di hati. Dengan sigap Barina mengambil tisu dan melilitkannya di jari yang berdarah untuk menghentikan darah. Rasanya dia ingin menangis saat itu juga, namun tetap harus ditahan.
Usai membersihkan pecahan gelas, dia kembali menyiapkan makan malam. Selain lauk dan sayuran yang tertata di meja, ada sebuah mangkuk putih keramik yang ditutup rapat dan diletakkan di depan piring Doni. Barina sudah duduk di meja makan dengan tatapan datar.
"Asik makan malam," ujar Doni sesaat menarik kursi makan. Wajahnya semangat seperti biasanya. Tak ada rasa curiga yang mengganggu pikirannya. Ekspresi Barina kali ini pernah dilihat saat wanita itu tengah mendapatkan tamu bulanan, makanya Doni berpikir istrinya tengah kedatangan tamu bulanan. "Apa ini, Sayang?" tanyanya ketika melihat mangkuk putih di depannya.
"Buka aja!" Barina menelik tajam.
"Kamu mau kasih kejutan ke aku, ya?" Doni belum mencurigai apapun.
"Iya," jawab Barina singkat.
Doni terkesiap saat membuka tutup mangkuk dan melihat isinya. Sebuah foto perempuan, parfum dan sebungkus rokok ditata di dalamnya. "Apa ini?" Dia berkerut kening.
"Justru aku yang harusnya tanya. Apa itu?" timpal Barina.
"Kamu dapat dari mana?" Wajah penuh kasih sayang Doni hilang seketika dan berubah menjadi datar.
"Laci Kak Doni."
"Laci mana?" Mata Doni mendelik tajam.
"Laci kantor." Barina berharap tidak ada introgasi seperti ini. Dia berharap suaminya segera menjelaskan tentang barang itu.
"Kamu nggak bilang." Nada Doni mulai tegas.
"Apa aku harus bilang?" tanya Barina sinis.
"Iya, dong. Menikah bukan berarti nggak punya privasi." Doni menghela napas, berusaha mengatur emosi.
"Oh, gitu. Jadi aku nggak boleh tau apa isi laci suami aku, dompet kamu, bahkan kontak telepon kamu? Begitu?" Barina mulai menyerang.
Doni tersadar ucapannya salah. Dia menyesal dengan perkataanya barusan, seharusnya tidak berkata seperti itu. "Sayang, bukan begitu maksud aku."
"Begitu juga nggak apa-apa. Aku jadi paham sekarang. Mungkin makna pernikahan kita memang beda. Kamu yang udah pernah menikah menganggap pernikahan sekedar hubungan suami istri dan penyalur nafsu belaka. Tapi, buat aku menikah itu keterbukaan. Mungkin aku terlalu naif dalam mengartikan pernikahan." Barina menarik napas panjang. "Ya, aku naif." Dia menunduk. "Aku mau tanya, apa boleh pasangan yang udah menikah menyimpan foto perempuan lain di dalam tempat yang dianggap privasi?" Barina masih menahan amarahnya. Dia masih berkata pelan.
"Sayang, jangan salah paham," sanggah Doni.
"Aku nggak akan salah paham kalau kamu terbuka sama aku. Oh iya, nggak mungkin juga. Privasi, kan?" Barina menyeringai sinis. "Tadinya, aku nggak mau ambil barang itu dari laci. Aku tunggu kamu jelasin ke aku, tapi nyatanya penantian aku sia-sia. Kamu nggak juga jelasin ke aku."
"Aku nggak tau ini semua ada di laci," bela Doni.
"Bohong!" kesal Barina. "Aku lihat kamu buka laci itu beberapa kali. Masa iya nggak lihat? Hah?" Dia mengatur napas. "Aku bukan wanita mudah dibohongi." Satu alisnya terangkat.
"Bisa aku jelasin, Sayang." Doni menjauhkan mangkuk itu dari wajahnya.
"Baik. Jelaskan!"
Doni terdiam dan tertunduk. Dia merasa salah. Sebenarnya sudah lama lelaki itu ingin membuang barang ini, tetapi kesibukan membuat dia lupa akan hal itu. Dia berpikir istrinya tidak akan mempermasalahkannya. Ternyata perkiraan dia salah. Justru kebalikannya. "Sayang, maafkan aku. Sudah lama aku niat mau buang itu tapi lupa terus. Aku nggak ada niat sedikitpun buat khianati kamu. Nggak ada, Sayang. Aku sayang banget sama kamu." Doni memandang lekat istrinya.
"Simpan rayuan kamu itu! Nggak mempan buat aku sekarang. Aku kecewa. Andaikan kamu nggak bilang soal privasi ketika aku bilang ambil dari laci, mungkin aku bisa terima penjelasan itu meskipun ada sedikit ragu. Tetapi karena kamu bicara soal privasi, aku kecewa. Ternyata kamu nggak semanis yang aku kira. Ketakutan aku kejadian. Aku butuh suami yang terbuka." Barina tak kuat lagi menahan air mata. "Kamu makan yang banyak. Aku udah kenyang, mau ke kamar dulu." Dia beranjak dari kursi dan masuk ke kamar lalu menutup pintu rapat-rapat dan menangis di dalam sana.
Doni masih terdiam di depan meja makan dan menenggelamkan wajahnya di atas lipatan kedua lengan di atas meja. Lelaki itu pun ingin menangis. Kenapa pernikahan gue selalu ada pertengkaran, ya, Tuhan? lirihnya. Dia mulai mengerti bahwa yang salah adalah pada dirinya. Selama ini Barina sudah terlalu baik untuknya dan menerima apapun kekurangan serta masa lalunya yang kelam. Dia sudah membuat wanita yang benar-benar mencintainya tulus kecewa. Rasanya Doni ingin menghukum diri sendiri atas kesalahan ini.
Doni bangkit dari kursi dan membuang ketiga barang yang ada di dalam mangkuk ke tempat sampah dan membuangnya ke tong sampah di luar. Dia merenung di kursi teras sambil memandangi langit malam yang sepi. Dari luar terdengar isakan tangis Barina. Mendengar itu, hatinya terasa tersayat. Perih. Baru satu bulan menikah sudah membuat istrinya menangis dan marah. Dia merasa gagal menjadi suami. Doni mengusap wajahnya yang sudah sembab dengan kedua telapak tangan, lalu kembali ke dalam. Dia berdiri di depan pintu kamar beberapa saat, kemudian mengetuk pelan. "Sayang, aku masuk, ya," pintanya pelan.
Ketika membuka pintu kamar, Doni mendapati Barina tengah duduk meringkuk di samping tempat tidur menghadap jendela sambil memeluk kedua kaki dan menenggelamkan wajahnya di sana. Perlahan Doni duduk di samping Barina. Mendengar tangisan Barina di depan telinga membuat hatinya semakin sakit. Dia memeluk istrinya perlahan, namun Barina menghempas pelukan itu.
"Aku tau, aku salah. Aku minta maaf. Seharusnya aku nggak bicara seperti itu ke kamu. Maaf." Doni memegang kaki Barina yang terasa dingin. "Aku memang nggak becus jadi suami," ucapnya parau. "Tolong, jangan marah sama aku. Aku butuh kamu. Aku butuh kamu." Dia tertunduk dan mulai terisak. "Aku nggak mau kehilangan kamu."
Tidak ada respon dari Barina membuat Doni memberanikan diri memeluk istrinya lagi. Dia tidak mempemasalahkan jika dihempaskan lagi. Ternyata, tidak ada penolakan dari Barina. Doni memeluk seakan tidak ingin melepaskannya barang sedetikpun. "Maafin aku." ucapnya lagi. "Biar aku jelasin. Foto dan parfum itu memang punya dia. Aku udah niat mau buang tapi lupa. Serius, Sayang. Kalau soal rokok, iya, aku dulu merokok tapi saat tertentu aja. Kalau lagi pusing sama masalah. Mungkin kamu bingung karena nggak pernah lihat aku merokok. Aku berhenti waktu sadar kalau aku punya perasaan sama kamu. Aku tau kamu nggak kuat sama asapnya, makanya aku berhenti buat kamu. Aku cuma mau kamu nyaman dekat aku." Doni membelai kepala Barina.
Doni memberanikan diri untuk mengakat wajah Barina. Wajah wanita itu sembab dan matanya merah. "Aku nggak mau kamu nangis. Udah, ya." Doni menyeka air mata Barina. "Maafin aku, ya." Entah ini kata maaf yang berapa kali. Dia tidak bosan mengucapkan itu. Ini pertengkaran pertama kali sejak menikah. Dia tidak ingin ada pertengkaran kedua kalinya atau kesekian kalinya karena satu kesalahan. Tidak ingin sama sekali. Dia hanya ingin selalu mesra dan melihat senyuman istrinya setiap waktu, bukan air mata.
Barina mengangguk dan mulai mengatur napas agar tidak lagi menangis. Dia juga merasa terlalu berlebihan menghukum suaminya seperti ini. Amarah membuat pikirannya tidak dapat berpikir bijak. Dia juga merasa bersalah.
Doni mengecup wajah istrinya, dari kening, mata, hidung, pipi dan bibir lalu memeluknya lagi sambil membelai. "Makasih, Sayang." Kini dia mengecup lembut ubun-ubun Barina, cukup lama sambil berdoa agar wanita ini bisa lebih sabar dalam menghadapi sikap buruknya. Dia memang sangat membutuh wanita ini.
-------
Semua itu harus dibicarakan. Jangan sampai malah berbalik menjadi bumerang.
Terima kasih sudah membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top