Piece #1: Memasak Pertama untuk Suami

Di hari Sabtu pertama setelah menikah, Barina masih belum terbiasa harus bangun pagi. Meskipun sebelum menikah sudah sempat belajar, tiba-tiba kebiasaan itu hilang seketika. Malas dan kantuk menggerayangi seluruh sarafnya.

Jam menunjukkan pukul tujuh. Tirai kamar belum dibuka. Lelaki yang berada di samping masih tertidur lelap sambil memeluk tubuh Barina. Napas lelaki itu terasa di telinga. Tangan Barina yang menempel di dada lelaki itu pun dapat merasakan degup jantungnya. Damai rasanya. Barina lama memandang suaminya. Sebelum beranjak dari ranjang, Barina menyempatkan untuk membelai dan mencium kepala Doni. Barina memindahkan tangan Doni pelan-pelan agar dia tidak terbangun. Lelaki itu hanya menggeliat kemudian melanjutkan tidur setelah Barina berhasil lepas dari tubuh suaminya.

Lepas membuka tirai kamar dan ruang tamu, Barina segera keluar mencari tukang sayur setelah menyisir rambut, membasuh muka dan menggosok gigi. Dia tidak mau keluar rumah dengan penampilan kusut.

Kata tetangga sebelah, tukang sayur lewat sekitar jam tujuh pagi. Barina berdiri di depan rumah, belum ada tanda-tanda tukang sayur lewat.

"Nunggu tukang sayur, ya, Mbak?" tanya seorang wanita berdaster coklat dengan corak bunga-bunga saat melewati rumah Barina sambil menenteng plastik berisi sayur dan bumbu dapur.

"Iya, Bu Tati." Barina melirik tentengan wanita itu. "Sudah lewat, ya, Bu?"

"Sudah. Itu lagi berhenti di depan rumah Bu RT," jawab wanita berdaster dengan aksen Sunda yang kental.

"Terima kasih, Bu." Barina segera menuju ke tempat yang diberitahu oleh wanita tadi. Di sana masih ada beberapa ibu-ibu berdaster. Barina memandang dirinya yang menggunakan baju tidur. Apa ibu-ibu harus berdaster, ya? gumamnya saat mendekati tukang sayur.

Usai belanja, Barina segera mengolah bahan masakan itu di dapur. Dia membumbui beberapa potong ikan laut yang sudah dilumuri perasan lemon, membuat sambal dan memotong bawah putih untuk sayur bayam.

Aroma masakannya membuat Doni terbangun. Dia keluar kamar dengan rambut berantakan dan wajah kusut. Dia menghampiri istrinya lalu memeluk dari belakang. "Pagi, Sayang!"

"Pagi. Nyenyak tidurnya?" Barina mengusap tangan suaminya.

"Nyenyak, dong." Doni mencium rambut Barina. Dia menoleh ke arah penggorengan. "Kapan belanja?"

"Barusan di tukang sayur lewat." Barina memutar badan dan mendapati penampilan semraut suaminya. "Cuci muka dan gosok gigi dulu, gih!" pintanya.

Tanpa protes, Doni melakukan apa yang diminta Barina. Setelah itu, dia duduk di sofa depan televisi sambil membuka email dari laptop. Dia nampak serius membuka satu persatu pesan masuk di email, sampai tidak mendengar saat istrinya mengerang di dapur.

Saat Barina mengerang lagi, lelaki itu hanya berkata, "hati-hati, Sayang." Matanya masih menatap layar laptop. Tidak menoleh sedikit pun, bahkan tidak mengecek keadaan istrinya ke dapur.

Sedangkan, Barina berharap suaminya mendatanginya dan bertanya tentang keadaannya, atau paling tidak menghampirinya meskipun tanpa berkata-kata. Bagi perempuan, itu sudah cukup membuat bahagia dan merasa diperhatikan.

Karena tidak ada respon dari Doni sesuai yang diinginkan, Barina membawa piring yang berisikan pisang goreng ke depan televisi. Di beberapa jarinya terdapat olesan putih bekas odol. Dia menaruh piring di atas meja dengan sedikit keras sehingga timbul bunyi nyaring yang mengagetkan suaminya.

Doni memandang istrinya heran. Bukan wajah manis yang didapatkan, melainkan wajah yang ditekuk. Dia memandang punggung Barina yang masih tergantung tali celemek. Tak hanya sampai di situ perubahan sikap Barina yang membuat Doni bingung. Di meja makan pun, Barina menaruh piring berisikan ikan goreng cabe merah dengan agak nyaring. "Kamu kenapa, sih? Tiba-tiba mukanya begitu?" tanyanya sambil menutup laptop.

Tak ada jawaban Barina. Dia kembali ke dapur, menyelesaikan memasak sayur bayam. Suara tutup panci jatuh pun berhasil membuat Doni terperanjat. Dia beranjak dari sofa dan menghampiri istrinya. "Kamu kenapa, sih, Sayang?"

Barina mengaduk sayur dan mematikan kompor, kemudian memutar tubuhnya menghadap Doni. "Kak Doni dengar aku teriak, nggak?"

"Dengar."

"Berapa kali?"

"Dua kali." Wajah Doni datar. "Aku, kan, udah bilang hati-hati."

Barina menarik napas dalam-dalam. "Aku tanya, memang ada orang yang melakukan sesuatu disengaja nggak hati-hati? Setiap orang melakukan sesuatu pasti hati-hati. Meskipun udah hati-hati, tetap aja ada musibah," ujarnya kesal.

"Kamu kena musibah?" Kening Doni mengerut.

"Menurut Kak Doni?" Barina membulatkan matanya lebar-lebar.

Doni diam sejenak memahami maksud istrinya yang tiba-tiba kesal. Dia memandangi Barina dari atas hingga bawah dengan teliti, berharap ada clue yang didapatkan. Lelaki itu mendapati jari tangan istrinya yang dipenuhi dengan olesan odol. "Tangan kamu kenapa?" tanyanya tanpa berpikir.

Barina mendengkus sebal. Dia mengambil mangkuk kemudian memasukkan sayur bayam ke dalamnya dengan hati-hati. Dia melewati suaminya dengan langkah kesal.

Saat kembali ke dapur, langkah Barina dihentikan oleh Doni. "Aku nggak suka tebak-tebakan begini. Kamu kenapa?"

Barina mengangkat tangannya memperlihatkan beberapa olesan odol kepada suaminya.

"Aku udah tau itu, tapi aku nggak paham kenapa kamu oles odol di tangan?"

Jawaban Doni semakin membuat Barina sebal. "Aku kecipratan minyak panas, Pak Doni," jelasnya dengan nada sebal. "Aku teriak dua kali gara-gara itu." Barina menyipitkan mata.

Doni diam sejenak mencerna ucapan Barina. Dia masih tidak mengerti kenapa istrinya bisa kecipratan minyak panas. Mata lelaki itu beralih ke ikan goreng yang ada di atas meja. Dari situ dia mengerti. Wajahnya berubah seakan baru saja memecahkan misteri. "Kamu kecipratan minyak panas waktu goreng ikan?" Dia menunjuk ikan goreng di atas meja.

Barina memutarkan bola mata. Baru saja dia melangkahkan kaki, Doni mencium pipi Barina. Seketika ekspresi kesal wanita itu mereda. "Makasih, ya, udah masakin sarapan buat aku." Dia mengusap wajah Barina lembut lalu mencium kening wanita itu.

Barina tersenyum seakan lupa kekesalannya barusan. Dia menyadari bahwa gara-gara ikan goreng bisa menimbulkan pertengkaran di dalam rumah tangga. Dia mengulum senyum, mentertawakan diri sendiri. "Ayo makan. Duduk sana! Aku mau ambil air minum dulu."

Tanpa protes Doni melepaskan istrinya dan mendekati meja makan. Dia menggeleng sambik tersenyum. 'Wanita, wanita," gumamnya.

Dasar ikan goreng!

-------
Hai, teman-teman! Karena banyak yang penasaran dan gemas dengan kehidupan Barina dan Doni setelah menikah, maka saya buatkan potongan-potongannya saja, ya.

Semoga suka, ya. 🙏

Salam,

Author

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top