[TPS] Part 8 - Get Caught
BRUUKKK
Tubuh besar yang sempat memerangkap ke dalam dekapan itu ambruk menimpanya seketika, membuatnya hampir terjatuh ke lantai, untung saja keduanya terjatuh di atas sofa dengan tubuh perempuan itu di bawah.
Tidak perlu ditanya bagaimana shock dan sakitnya.
"Arrrghhh!!! Brahms... get up!" Cleo terengah, tubuh Jaeden benar-benar tak sebanding dengannya. Apalagi tepat menimpa bagian dadanya. Sial!
Itu membuatnya kesulitan bernapas. "Brahms..." Cleo menepuk punggung pria itu.
"Get up!" Cleo meninggikan suaranya. Namun tetap saja, menyahut pun tidak. Ia mengamati kepala Jaeden yang berada di bahunya.
Sial!
Apa pria ini pingsan? Kesalnya dalam hati.
"Brahms... sadarlah! Astaga... kau ini!" Cleo terus mengoceh sembari menepuk punggung pria itu.
Haruskah ia mencari bantuan?
Tentu saja! Ia tidak akan kuat mengangkat tubuh besar ini sendirian.
"Henleeeeyyy!!!" teriaknya. Ia berharap Henley—pelayan tadi mendengarnya.
"Henleeeeyyy!!!" teriaknya lagi. Dan benar saja, Henley langsung datang dengan terburu-buru menuju ke arahnya. "Yes, Miss?"
Belum sempat Cleo berucap, Henley tampak begitu terkejut melihat badan siapa yang menimpa Cleo. "Ya Tuhan!"
"Bagaimana ini bisa terjadi, Nona?" tanyanya. Ia masih berdiri di hadapan Cleo.
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan, cepat bantu angkat dia kumohon... Aku kesulitan bernapas," ucap Cleo terengah.
Henley mengangguk. Ia mencoba mengangkat tubuh Jaeden namun tidak bisa.
"Maaaaac!!!" panggilnya. Dengan segera yang dipanggil pun berjalan cepat. "What's going on?" sama seperti ekspresi Henley tadi, Mac tampak terkejut.
"Cepat bantu angkat!" Mac mengangguk dan segera menyingkirkan tubuh Jaeden dari atas tubuh Cleo ke samping. Dilihatnya, Jaeden masih tidak sadarkan diri.
"Apa dia pingsan?"
"Sepertinya tidak, Nona. Ini efek dari alkohol, mungkin Tuan Jaeden meminum dalam jumlah yang banyak. Matanya akan sulit terbuka dan merasakan kantuk yang berat," jelas Mac.
"Bagaimana Tuan Jaeden bisa seperti ini? Dan... kapan dia pulang?" tanya Mac masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Cleo menggeleng. "Aku tidak tahu. Tiba-tiba dia keluar dari pintu itu. Cleo menujuk pintu yang terbuka oleh Jaeden tadi.
"Tuan Theo dan Mrs. Emma pasti akan sangat marah," ucap Henley khawatir. Cleo memandang wanita itu lalu Mac bergantian.
"Ya, Tuan Theo pasti akan sangat marah."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Cleo tampak khawatir dan gelisah.
Mac terlihat berpikir sejenak. Lalu pandangannya tertuju pada pintu di sebelah kanan stage teater. Di bagian bawah.
"Sebaiknya kita bawa Tuan Jaeden ke kamar itu," tunjuknya. Henley mengangguki.
"Ide bagus Mac." Dengan segera tubuh kekar Mac mengangkat tubuh Jaeden ala bridal style. Sedangkan kedua wanita itu mengekor di belakangnya. Mereka menuruni setiap anak tangga dengan berhati-hati.
"Kamar?" Cleo mengerutkan kening.
"Ya, Nona. Di dalam ruangan ini terdapat kamar. Kamar itu ditujukan untuk tempat istirahat saja. Sepertinya jarang ada yang menempati," jelas Henley seraya berjalan di belakang Mac.
Cleo manggut manggut.
"Henley, buka pintunya," perintah Mac.
Henley lalu berjalan cepat ke depan pintu yang terkunci. Jemarinya terarah ke mesin pengunci pintu.
"Kau tahu password-nya, Mac?"
"13-09-1990," eja Mac.
Henley menekan tombol angka seperti apa yang dikatakan Mac. Detik selanjutnya pintu terbuka. Mac segera membaringkan tubuh Jaeden ke atas ranjang yang tidak begitu besar namun pas ditempati oleh dua orang.
"Nona, jika Anda tidak keberatan, maukah Anda berada di sini menemani Tuan Jaeden? Karena jika Tuan besar mengetahui, Tuan Jaeden akan berada dalam masalah," ucap Mac. Heney mengangguki, ia menatap penuh harap pada Cleo.
Cleo mengernyit kebingungan dan menimang-nimang ucapan Mac barusan.
"Kami mohon Nona... ini demi Tuan Jaeden. Karena jika Tuan Theo mengetahui ini, ia akan sangat marah besar dan kami..." Henley menggantung ucapannya, berharap Cleo mengerti apa yang dimaksudkannya.
Cleo mengembuskan napas pasrah. Sepertinya yang dikatakan Mac dan Henley benar. Masalah besar akan muncul jika tidak ada penghalang yang mencegah sebelum terjadi.
"Miss?" tegur Henley.
"Bagaimana?"
Cleo tampak bingung seketika. "Ouw— iya. Baiklah. Lalu bagaimana jika mereka mencariku?"
"Nona tenang saja. Saya akan mengatakan bahwa Anda bersama Tuan Jaeden. Pasti mereka akan percaya. Biar saya yang akan memberitahu penjaga untuk menjaga ruang teater ini," ucap Mac.
"Jangan khawatir, Nona. Saya bersama yang lain akan siap membantu. Nona akan aman di sini."
"Aku tidak mempermasalahkan itu. Maksudmu... aku harus bermalam di sini?" Cleo mentap keduanya.
"Ya... kami mohon Nona. Jika tidak, Tuan Theo akan sangat marah. Mengingat ini pertama kalinya Tuan Jaeden kembali ke mansion setelah hampir tiga tahun pergi berada di luar Washington," tambah Mac. Wajah keduanya tampah sangat bergantung menunggu jawaban Cleo.
"Baiklah."
Keduanya langsung tampak senang mendengar jawaban Cleo. "Jika Nona butuh sesuatu, tekan saja tombol ini. Saya akan datang." Henley menunjukkan layar yang menempel di dinding.
Cleo mengangguk. "Hmm... baiklah."
Setelahnya kedua orang itu meninggalkan Cleo dengan Jaeden yang masih tertidur di atas ranjang.
➰➰➰
Sepeninggal keduanya, Cleo tidak henti-hentinya menghela napas berat.
"Arrggghh!!! Kau membuat masalah Brahms!"
"Hei! Bangunlah!" Cleo menggoyang-goyangkan bahu pria itu.
Tetap saja! Tidak berhasil.
Cleo mendekatkap wajahnya mengamati Jaeden. "Kau benar-benar.... Arrrggghh!!! Bagaimana kau bisa mabuk, hah?! Gayamu saja selangit tapi ternyata kau lemah karena alkohol. Berapa banyak minuman yang kau habiskan hah?!" Cleo membentak kesal. Tentu saja tidak ada sahutan. Ia seperti orang gila jika seperti ini.
Untung saja di kamar itu tidak terdapat CCTV atau kamera pengintai. Cleo memperhatikan setiap sudut ruangan yang tidak terlalu besar tersebut. Bahkan kamar Jaeden di mansion Lancaster saja delapan kali lipatnya ruang kamar ini.
"Brahms... bangunlah!" Cleo menepuk lengan atas pria itu terus menerus.
"Ash...." Cleo mengerutkan kening. Lagi-lagi Jaeden mengigaukan nama itu.
"Ashley...." Suara Jaeden terdengar sangat berat.
"Brahms... sadarlah," ucap Cleo pelan.
Perlahan mata pria itu bergerak.
"Brahms...."
"Water..." Jaeden berucap seraya terengah. Kedua matanya tidak begitu terbuka namun tubuhnya bergerak mencoba bangkit.
"Water?"
Cleo segera mengedarkan pandangan mencari air minum. Tidak ada di kamar itu.
Di atas meja depan sofa tadi! Ya! Segera Cleo membuka pintu dan berlari menaiki setiap anak tangga teater. Ia berlari menuju tempat tadi. Di bagian atas. Cleo mengambil air mineral di atas nampan. Lalu kembali menuruni setiap anak tangga dan membuka pintu yang otomatis terkunci dengan memasukkan password.
"Bangunlah!" Cleo membantu Jaeden duduk. Pria itu duduk dengan hanya sedikit kesadaran.
"Minumlah." Cleo menyodorkan botol yang sudah dibukanya.
Dengan sigap Jaeden menerima botol itu lalu meminumnya.
"Do you fell better than before?" tanyanya.
Jaeden menatap Cleo. Ia tidak berucap apa-apa. Sepertinya kesadarannya belum kembali sepenuhnya.
Jaeden menyodorkan botol itu pada Cleo dan perempuan itu langsung menutupnya. Jaeden menggeser tubuhnya lalu menggapai lengan Cleo. Pria itu tidak berucap apa-apa.
Cleo mengamati raut wajah Jaeden seperti—
Ah tidak! Tidak! Tidak mungkin!
Ghuk!!!
Cleo mengernyit. Jangan bilang....
Ghuk!!!
Byurrr...
"HEEEYYY!!!"
Ya! Jaeden memuntahkan isi perutnya.
Ghuk!!!
Byurrr...
"Kau!" Cleo mengarahkan telunjuknya tepat di depan wajah Jaeden dengan kesal.
"Brahms!!!" teriaknya kesal bercampur kaget. Ia tidak menyangka kenapa Jaeden menggapai lengannya tadi. Ternyata ia dijadikan tempat pembuangan muntahan?
Ingat!
Muntahan!
Sial!
"Kau!" Cleo mengepalkan tangan. Ia menengok bagian bawahnya.
"Arrghhh..." Jaeden terengah setelah memuntahkan isi perutya pada dress yang dipakai Cleo. Alhasil, lantai serta dress bagian bawahnya terkena muntahan yang kebanyakan ia yakin itu minuman beralkohol.
"Brahms!!!"
Shit!
Jaeden langsung melepas jaket serta T- Shirt-nya lalu kembali menidurkan badannya dengan sesuka hati. Tidak menggubris protesan Cleo.
"Kau benar-benar membawaku dalam masalah." Cleo menghentakkan kaki kesal. Membiarkan pria itu berbaring telentang setelah melepas pakaiannya.
Ia berjalan menuju layar yang menempel di dinding. Ia menekan tombol seperti apa yang dikatakan Henley.
"Henley!"
"Yes, Miss?" sahut Henley di seberang sana.
"Bawakan baju untukku. Apapun, sekarang!"
"Piyama?" tawar suara itu.
"Ya, terserah. Cepatlah!"
"Baik, Nona."
"Thank you." Cleo menekan tombol untuk mengakhiri panggilan di layar tersebut.
Tidak berselang lima menit Cleo menunggu dengan gelisah serta rasa kesal yang teraduk-aduk, pintu kamar terbuka. Henley membawa pakaian yang diletakkan dalam paper bag.
"Thank you Henley." Cleo mengambil pakaian itu. Sedangakn Henley menatap Cleo lalu bergantian menatap Jaeden dalam kamar tersebut.
"Ya Tuhan!" Henley tampak terkejut melihat lantai samping ranjang tersebut.
"Bisakah kau membersihkan itu?" Cleo menunjuk muntahan Jaeden di lantai.
Henley mengangguk. "Ya tentu."
"Maaf aku tidak bisa melakukannya atau aku.... akan muntah juga," ucap Cleo jujur.
"Tidak apa, Nona. Tidak perlu meminta maaf." Segera Henley membuka lemari kecil yang berada di kamar tersebut dan mengusap lantai tersebut hingga bersih.
Henley bangkit. "Sudah, Nona."
Cleo tersenyum kecil. "Ya, kau bisa keluar. Oh ya, tunggu! Apa Mrs. Lancaster bertanya tentangku?"
"Mac pasti sudah mengatakannya Nona," jawabnya.
Cleo manggut-manggut. "Henley! Can you show me where's the bathroom?"
"Over there!" tunjuknya pada pintu sebelah kiri ranjang.
"Okay, Thanks."
"You're welcome, Miss."
"Saya harap Nona dapat memaklumi hal ini," lanjutnya.
"It's fine Henley. Thanks for your help. You can go now. I wanna take a shower." Henley mengangguk lalu segera keluar dari kamar tersebut.
➰➰➰
Selepas membersihkan diri terutama dari muntahan Jaeden, Cleo sudah mengenakan pakaian yang dibawakan Henley tadi, sebuah piyama selutut yang sedikit kebesaran. Tapi itu tidak masalah.
Ia berjalan menuju Jaeden seraya melepas handuk di kepalanya.
Ia mendekati Jaeden.
Sial! Pria itu masih tertidur dengan tenangnya seakan tidak ada yang terjadi.
Napasnya teratur.
Sebenarnya Cleo sedang menahan amarah karena pria itu sedari tadi, hanya saja percuma jika diluapkan sekarang. Tidak akan ada yang menggubris.
Cleo menatap Jaeden yang berbaring telentang dengan keadaan.... Shirtless.
Jujur saja, Cleo adalah perempuan normal, melihat itu membuatnya.... salah tingkah. Ya! Tentu saja!
Namun segera ia menggeleng. Tidak ada yang pantas dipuja dari diri pria iblis itu. Cleo mengingat-ingat betapa menyebalkannya pria itu.
Ia berjalan menuju pinggiran ranjang. Haruskah ia tidur satu ranjang dengan pria ini? Ia mengamati kamar tersebut. Ada sebuah sofa panjang.
Lebih baik di sana daripada satu ranjang dengan pria diktator ini. Pikirnya.
Namun saat ini Cleo tanpa sadar mengamati wajah pria itu.
Jaeden terlihat lebih.... Tampan! Oops! Ralat! Lebih manusiawi tepatnya! Wajah damai terlelap seperti tanpa ada tanggungan sedikit pun lebih enak dipandang dari pada wajah datar dan menyeramkan yang selama ini ditunjukkan pada Cleo.
Cleo mendekat lagi. Ia memperhatikan wajah Jaeden dari dekat dan lekat.
Wajah pria ini benar-benar penuh karisma. Wajar saja jika banyak wanita yang menginginkannya. Seperti apa yang dikatakan Ashley tadi.
Jaeden seorang player. Tidak mengherankan.
Perlahan pandangannya terarah ke tubuh berisi Jaeden. Benar-benar bersih tanpa noda serta beberapa bulir keringat tampak menghiasi dada bidangnya. Sepertinya pria ini selalu berada di dalam ruangan. Tidak heran, penjaga yang dimiliki Lancaster saja tidak bisa dihitung. Belum yang ia ketahui. Pikirnya.
Cleo duduk di pingiran ranjang. Entah dorongan dari mana jemarinya dengan lancang begerak menyingkap rambut yang menutupi kening Jaeden.
Bibir merah Jaeden menjadi pusat perhatian kedua matanya. Hidungnya yang runcing, rahangnya yang tajam serta alis yang tebal. Membuat Jaeden benar-benar pria yang sempurna di mata semua wanita. Tapi tidak di mata Cleo. Ia tidak memiliki rasa apapun pada pria itu! Menurutnya Zander lebih baik dan lebih segala-galanya daripada pria ini.
Jemari Cleo menyentuh sekilas kening Jaeden. "Kau seperti bukan Brahms yang kutahu," ucapnya pelan.
Tangannya begerak ke depan wajah Jaeden. Menggerak-gerakkan, mencoba memastikan.
"Apa dia sudah tidur?" tanyanya sendiri.
"Huff..." ia mengembuskan napas lega. Cleo berjalan menuju pintu dan membukanya.
Lampu teater menyala dengan terang.
Baiklah. Ia harus bermalam di kamar ini? Sebenarnya tidak masalah untuknya, tapi....
Cleo menoleh ke arah Jaeden.
Dengan dia? Pikirnya.
Arrrghhh!!! Dosa apa yang telah ia lakukan hingga Tuhan mempertemukannya dan mengatur hidupnya menjadi seperti ini? ia benar-benar tidak mengerti!
Ia mengamati Jaeden lagi.
"Ash..." igaunya. Jaeden sedikit menggeliat.
"Kenapa kau terus mengigau memanggil nama Ashley?" tanyanya pelan.
Cleo berpikir sejenak. Apa mungkin benar igauan Jaeden tadi? Ashley? Ia tidak salah dengar, bukan?
Apa mungkin pria itu menyukai iparnya sendiri?
"Ash..." Jaeden menggeliat.
Tangan pria itu menggapai tangan Cleo dengan kedua mata masih tertutup. Cleo membulatkan mata.
"Ash jangan tinggalkan aku...."
Jaeden menggenggam erat tangan Cleo. Cleo mengernyit kebingungan.
"Please...."
Srreeet
Brukk
"Awwwshh!!!" keluh Cleo. Tubuhnya seakan terhempas begitu saja.
Jaeden menarik tangannya dalam satu tarikan cepat. Belum sempat Cleo memberontak, lengan Jaeden melingkari perutnya.
"Brahms..."
"Don't go anywhere. You know, I still love you, Ash..." racau Jaeden dengan suara beratnya.
Cleo tak berkutik, mendengar ocehan yang keluar dari mulut Jaeden terus menerus.
"Why did you love Shawn than me?!..."
"Brahms..."
"Lepaskan aku!" Cleo bergerak gelisah. Namun dekapan itu makin erat. Semakin Cleo memberontak, Jaeden makin mengeratkan pelukannya.
Akhirnya, karena tak ada gunanya ia melawan, Cleo dengan geram memutar tubuhnya menghadap Jaeden.
Dilihatnya pria itu tertidur pulas. Ocehannya sudah tidak terdengar lagi.
Posisi mereka saat ini benar-benar... intim.
Ya Tuhan... ini adalah kali pertamanya ia satu ranjang bersama seorang pria.
Secara tidak langsung kulit mereka bersentuhan.
Cleo berusaha menahan napas sedikit, aroma alkohol masih membekas pada tubuh Jaeden. Namun ada juga aroma lain. Aroma yang lebih maskulin.
Entah dorongan dari mana ia mendekatkan wajahnya ke leher Jaeden dan menghirup aroma tersebut.
Ya! Benar saja itu aroma tubuh Jaeden.
Cukup menenangkan.
"Kenapa kau selalu menyebalkan? Aku yakin kau tidak seperti itu... dan itu bukan sifatmu." Lagi, Cleo berucap sendirian.
Tidak ada sahutan...
Cleo terus saja bertanya sendiri seperti orang gila yang berbicara dengan patung hingga wanita itu tidak sadar lagi di mana dia dan siapa yang berada di hadapannya. Wanita itu perlahan menyusul Jaeden. Ia tertidur dengan lengan atas Jaeden sebagai tumpuhan kepalanya.
Hening... tidak ada suara apapun selain napas teratur keduanya.
Keduanya pun juga tidak menyadari jika lampu kamar tersebut tiba-tiba redup. Seakan mencoba menyembunyikan keduanya dari siapapun. Membiarkan mereka terlelap dalam damai untuk malam ini...
Tapi entah untuk keesokannya.
➰➰➰
Mac baru saja akan menyampaikan pada Theo jika Cleo bersama Jaeden. Ia bersama penjaga lainnya juga mencoba menutupi keberadaan Jaeden dan kondisinya yang mabuk. Mereka tahu jika Theo dan Emma pasti akan sangat marah mengetahui puteranya pulang dalam keadaan mabuk berat.
Sesampainya Mac di ruang utama, dilihatnya Emma berjalan akan keluar mansion.
"Mac!" panggil Emma. Mac segera mendekat.
"Do you know where is Cleo? Ashley said she was at theater."
"Yes Mrs. Miss Cleo bersama Tuan Jaeden di sana."
"Brahms? Dia sudah pulang?"
Mac mengangguk. "Ya, mereka sedang berada di teater dan Tuan Jaeden bilang akan berada di sana semalaman," ucap Mac mencoba meyakinkan Emma.
"Maksudmu di kamar yang berada di dalam teater?"
"Benar, Mrs."
"Baiklah aku akan ke sana." Emma melangkahkan kakinya.
"Sorry, Mrs..." potong Mac cepat. Menghentikan langka wanita itu.
"What?"
"Tuan Jaeden bilang jika jangan ada satu orang pun mengganggu mereka di teater."
"Really?"
"Yes, Mrs."
"Hm... anak ini!" geram Emma gemas.
"Baiklah. Katakan padanya jika kau ke sana, jangan bertindak bodoh," ucap Emma.
"Baik, Mrs."
"Ya, kau bisa kembali." Mac mengangguk lalu melangkah keluar menuju pintu.
Setelahnya Emma berjalan menaiki anak tangga. Ia melihat sang suami di sana.
"Hey! Where's Cleo?"
"She's with Brahms."
"Benarkah? Dia sudah pulang? Di mana dia sekarang?" tanyanya. Theo mengedarkan pandangannya ke lantai atas.
Emma mengendikkan bahu. "Entah. Yang jelas sekarang mereka berada di teater dan akan bermalam di sana."
"Hah.... Putraku sudah makin dewasa. Aku bangga!" ucap Theo dengan bangganya.
"Theo!" tegur Emma kesal. Sifat sang suami ternyata masih sama saja seperti di masa muda mereka. Kepercayaan diri yang berlebihan.
"Why?"
"Dia duplikatmu!" ucap Emma kesal. Ia melanjutkan langkah kakinya.
Theo menoleh pada Emma. "Kurasa tidak." Theo langsung merangkul pinggang Emma sambil tersenyum kemenangan.
"Tapi kurasa Jaeden mulai memiliki sifat sepertimu. Bahkan Shawn yang lebih pendiam sekarang."
Theo manggut-manggut. "Ya, aku juga merasa jika Shawn lebih pendiam setelah masalah beberapa tahun yang lalu. Dan keberadaan Ashley adalah kebahagiaannya."
"Hm... ya, kuharap begitu untuk selamanya." Emma mengangguk. Keduanya berjalan menaiki anak tangga perlahan.
"Theo, kau tahu? Brahms sekarang bukan seperti Brahms yang dulu," ucap Emma.
"Maksudmu?"
"Dia sangat keras. Kutanya Owen ia sering memecat pegawai di New York, sering marah-marah dan tidak dapat mengontrol emosinya."
"Biarlah!" jawab Theo santai.
"Kau ini!" Emma beruca kesal.
"Jangan memusingkan itu. Jaeden sudah dewasa. Sekarang yang jelas ikutlah aku." Theo tersenyum penuh arti.
"Ke mana?"
"Kau masih tetap Emma yang dulu ternyata. Sangat naif. Menurutmu ke mana lagi?" Lagi, seringai nakal ia tunjukkan pada sang istri. Emma yang langsung peka akan maksud Theo segera memukul lengan pria itu.
"Kau ini sudah tua!"
Theo menatap Emma tak terima. "Hey! Umur bukan penghalang, Sayang."
Emma memutar bola matanya. Jengah. Tidak ada gunanya berdebat dengan seorang Theodore James Lancaster.
"Baiklah."
"I Love You Emma Lancaster."
"I Love You too Theo James Lancaster."
Keduanya tersenyum lalu Theo memberikan kecupan di pipi sang istri.
➰➰➰
Perlahan tapi pasti kedua mata yang tertutup selama beberapa jam sebelumnya saat ini mencoba terbuka. Mencoba menyesuaikan indera penglihatannya dengan cahaya kamar tersebut. Sinar mentari mengintip dari balik gorden kamar tersebut. Membuatnya yakin, pagi sudah tiba.
"Eghm...." Ya, Jaeden membuka matanya. Satu hal yang pertama kali dilihat saat kedua matanya terbuka sempurna adalah wanita di dekapannya.
Tunggu!
Dekapannya?
Jadi semalaman ia tertidur sembari mendekap tubuh hangat wanita ini?
Pantas saja ia merasa nyenyak.
Dan... tidak untuk saat ini. Ia baru menyadari lengan atasnya terasa keram.
Jaeden mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi padanya semalam
Ia memejamkan mata sejenak tanpa banyak bergerak. Lalu kembali memandang wajah damai perempuan itu. Cleo tertidur di lengannya dengan menghadap ke arahnya. Tepat di depan lehernya.
Bagaimana ia bisa tertidur di sini?
Tunggu!
Di mana dia?
Ini bukan kamarnya.
Shit!
Ia mengingat semuanya!
Ya!
Kemarin setelah makan siang ia memutuskan pergi ke tempat teman-temannya dan berakhir di club. Dan setelahnya ia tidak begitu mengingatnya.
Apa dia minum banyak tadi malam?
Apa dia mabuk?
Tanyanya sendiri dalam diam.
Tidak mungkin ia mabuk! Ia tidak pernah terkalahkan oleh alkohol. Pikirnya.
Lalu.... Bagaimana ia bisa sampai ke kamar ini bersama... Cleo?
Arrrgggh!!!
Sial! Ia benar-benar tidak begitu mengingat apa yang terjadi padanya tadi malam.
Ia menggelengkan kepala seraya mengacak rambut dengan tangan kirinya.
Yang jelas sekarang... ia berada di kamar ini bersama Cleo dalam posisi yang terbilang... intim.
Oh My Gosh!
Ke mana jaket dan T- Shirt-nya?
Ia menatap tubuhnya. Shirtless?
Jaeden mengedarkan pandangannya.
Itu mereka! Di bawah kakinya.
Sial! Bagaimana ia tidak mengingat sepenuhnya?
Jaeden menghela napas perlahan. Ia menengok jam tangan di lengan kirinya, jam sudah menunjukkan pukul 07.13 pagi.
Cleo masih belum terbangun dari tidurnya. Perempuan itu tertidur dengan nyenyak seakan tengah berada di tempat yang benar-benar nyaman. Membiarkan mimpi-mimpi indah bersemayam di alam tidurnya untuk beberapa saat.
Hal itu secara tidak langsung mencuri pandangan Jaeden. Entah kenapa ia tidak sadar dan tidak mempermasalahkan posisi mereka seperti ini. Lengannya yang keram tak digubrisnya lagi. Hal yang lebih menarik saat ini adalah mengamati wajah wanita itu dari dekat tanpa harus banyak beradu omongan.
Jemari Jaeden bergerak menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik Cleo. Cleo tidak merasa terusik sedikit pun.
Kembali, Jaeden mengamati setiap inci wajah di hadapannya.
Dan yang pasti tatapannya mengarah pada bibir merah Cleo. Bibir yang membuatnya tidak tahan untuk merasakannya.
Ia terus mengamati wajah Cleo. Pria itu bahkan tidak mengetahui jika Cleo tidak memakai make up sedikitpun. Wajahnya terlihat sama cantik seperti kemarin.
Jemari telunjuknya bergerak menyentuh bibir bawah Cleo perlahan. Jaeden tanpa sadar tersenyum tipis.
"You're beautiful," bisiknya pelan seraya mengusap pelan bibir ranum tersebut.
"Eghm..." Cleo menggeliat pelan. Merasakan sesuatu menyentuh bibirnya. Perlahan tapi pasti ia membuka mata dan langsung membulat melihat siapa yang berada di hadapannya.
Jaeden sendiri membulatkan mata tak percaya Cleo membuka mata secepat itu.
Sial!
Ia seakan tertangkap basah oleh penguasa alam dengan tangannya masih berada di bibir perempuan itu!
Membeku!
Ya!
Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Ya Tuhan... jika ia mempunyai mantra sihir seperti dalam film Harry Potter atau portal ke mana saja, ia akan merapalkan saat ini juga! Beberapa detik mereka saling pandang tanpa berucap sepatah kata pun.
Gugup, tentu saja.
Detakan jantung yang terpompa tak beraturan seakan memperkeruh suasana. Dan tidak dapat diajak bekerja sama.
"Brahms...." Cleo berucap pelan.
Hancur sudah!
Hancur reputasinya seketika.
Apa yang harus dilakukannya? Ya Tuhan....
Image seorang Jaeden Brahms Lancaster! Hancur seketika di pagi hari!
➰➰➰
If you like this story give votes and comments below!
Thank you so much for reading this story guys!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top