[TPS] Part 3 - Kidnapper

"CLEO tunggu! Kenapa kau buru-buru sekali?" Helena mengejar Cleo dengan tergesa-gesa setelah mereka berdua baru saja selesai bersorak bahagia di lapangan bersama para wisudawan lain. Melempar topi toga yang dikenakan serta berfoto bersama. Namun bagi Cleo momen itu tidak begitu menyenangkan.

Cleo menghentikan langkahnya. "Tidak, tidak mungkin, Hel... tolong aku." Wanita itu menggeleng seraya menyentuh wajahnya. Kemudian tangannya menggenggam telapak tangan Helena dengan cemas.

"Maksudmu apa?" Helena bertanya keheranan.

"Apa yang harus kulakukan?" Cleo berucap gusar.

"Cle, katakan dengan jelas. Aku benar-benar tidak mengerti," ujar Helena.

"Kau tahu siapa dia, bukan? Dia memilihku dan aku..." Suara Cleo makin mengecil dan kegelisahannya begitu nampak jelas. Beberapa pasang mata sempat menatap mereka keheranan.

"Maksudmu Jaeden?"

Cleo mengangguk. "Hm..." Helena mengukir senyum seraya mengelus pundah sahabatnya itu "Kau harusnya senang Cle. Dia memilihmu karena kemampuanmu. Tidak mungkin dia asal memilih. Apalagi kau begitu jenius dalam hal ilmu forensik."

Cleo menatap Helena serius. "Senang bagaimana? Ini kutukan! Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi?"

"Mungkin itu hanya kebetulan. Dan ingat Cle, kesempatan tidak datang dua kali. Kau bilang ingin menjadi orang yang sukses dan membahagiakan orang tuamu, bukan?"

"Ya, kutahu, tapi kenapa harus dia? Aku rasa itu bukan awal yang baik," balas Cleo.

"Jangan cepat menilai. Kau tidak akan tahu sebelum merasakannya sendiri, Cleo..." Helena menepuk lembut bahu Cleo.

Cleo memijat pelipis dengan jemarinya. Ia mengingat betul apa yang diucapkan pria menyebalkan tadi. Setelah Jaeden menyampaikan sedikit sambutannya di hadapan semua orang, semua siswa yang telah dipilih maju untuk menerima penghargaan lebih dulu dari kampus. Mereka berjalan ke atas podium dimana Jaeden di paling ujung.

Ketika giliran Cleo naik ke atas, Jaeden terus saja menatapnya, langkah demi langkah hingga akhirnya berada di hadapannya.

"I told you. We'll meet again, Miss Rachesky." Jaeden menampilkan seringai iblisnya. Patut memang pria itu diberi julukan 'Iblis di balik wajah malaikat penolong'.

"Kau! Arggh!!!" Cleo memelototi pria itu seraya tangannya menjabat tangan pria itu.

"Kau tidak dapat menolak ini atau kau harus membayar ganti rugi," ucap Jaeden dengan senyum tipisnya. Tapi tidak untuk Cleo. Ia mencoba memaksakan senyum karena puluhan kamera menyorot mereka saat ini.

"What?"

"Selamat untuk wisudamu, Nona." Jaeden kembali tersenyum tanpa dosa dan tidak memberi waktu Cleo berucap lagi. Kilauan flash kamera tak henti-hentinya menyala, setelah bersalaman, Cleo berjalan menuruni podium dengan jengkel.

"Aku benci Lancaster!" Cleo mengepalkan tangannya geram.

Sedangkan Helena malah terkekeh melihat sahabatnya sedang bad mood setelah mengetahui kenyataan pahit tersebut. "Cleo... Cleo... aku yakin kau akan merubah pikiranmu jika sudah mengenalnya."

"Tidak akan!" jawabnya dengan mantap.

"Hah... sudahlah, oh ya, aku akan menemui Mom dan Dad. Kau mau ikut?" tanya Helena.

"Kurasa tidak. Professor Arnold menyuruhku mendatangi ruang rektorat pukul 12 nanti." Cleo menengok jam tangannya.

"Setelah ini?"

"Iya, aku akan segera ke sana."

"Baiklah hati-hati. Bagaimana kau akan pulang nanti?"

"Jangan khawatirkan aku."

"Baiklah. Aku menyayangimu, Cle." Sebuah kecupan ringan di dipi kanan Cleo diberikan wanita itu sebelum berjalan menjauh.

➰➰➰

Cleo's POV

"Excuse me!" Ya, saat ini aku sudah berada di depan gedung yang kumaksud. Setelah berucap demikian, pintu otomatis terbuka dengan lebar.

"Come in!" itu suara Professor Arnold. Salah satu professor panutanku di sini.

Kuhadapkan wajah ke depan dan melihat siapa saja yang berada di ruangan tersebut.

Sial!

Di sana, iblis terkutuk yang sudah mengacaukan hariku tengah duduk di sofa dengan santainya dengan menaikkan sebelah kaki pada kaki satunya. Kulangkahkan kakiku mendekat. Kuyakin pria berjas hitam itu sedang menatapku. Aku dapat melihatnya dari ujung mata.

"Duduklah, Miss. Rachesky!" perintah Professor Arnold.

Aku menurut dan duduk di sofa yang berhadapan dengan pria menyebalkan itu.

Argghh!!! Tidak bisakah dia berhenti menatapku?

Professor Arnold pun juga duduk di hadapan kami. "Kau sudah tahu dia, bukan?"

"Of course, Sir," hah... kenapa aku jadi gugup? Tidak seperti biasanya.

"Kau tahu Mr. Lancaster? Miss. Rachesky sangat pandai dalam hal anatomi dan morfologi tubuh manusia maupun hewan," ucap Professor Arnold. Kutunjukkan senyum tipis.

Kuarahkan sekilas pandangan ke depan. Hah.... Apa pria ini memang wajahnya selalu meremehkan siapapun? Aku tidak menyukainya!

"Hm. sudah bisa kutebak, Sir. Aku sangat beruntung jika Miss. Rachesky benar-benar mau bekerja sama denganku, benar begitu?"

Sial! Apa dia sengaja?

"Miss. Rachesky?"

"Ah... ya?"

"Bagaimana? Apa kau menerima tawaran ini? Jika iya, saat ini juga silakan tanda tangan sehingga kami dapat memastikan semua mahasiswa yang dipilih Mr. Lancaster telah menyetujui semua persyaratan dan bersedia bekerja di Lancaster Corporation." Professor Arnold berucap, mencoba meyakinkanku. Jujur, aku tidak dapat menolak ini.

"Pikirkanlah dengan matang. Kau adalah murid yang jenius. Dengan Lancaster Corporation, kau akan menjadi seperti yang kau inginkan, lagi pula tidak ada ruginya. Kau pandai. Ku akui itu," lanjutnya lagi. Seketika kuingat kata-kata Helena. Kesempatan tidak datang dua kali. Jadi... apa boleh buat?

"Bagaimana? Maaf aku tidak memiliki waktu lama di sini." Sial! Angkuh sekali pria ini. aku baru kali ini menemui pria semacam Lancaster ini.

Ku embuskan napas berat. "Ya. Aku menyetujuinya."

"Keputusan yang tepat. Kuyakin kau akan senang dengan perekrutan ini." Professor Arnold tersenyum senang. Kubalas dengan anggukan dan tersenyum tipis untuknya dan untuk.... si Lancaster itu.

Professor Arnold menyerahkan sebuah pena. Segera aku menandatangani kertas di meja itu.

"Dan ya, pastikan Senin besok kau sudah mengemasi barangmu. Karena Mr. Lancaster akan segera membawa kalian ke New York," jelasnya lagi.

"What?"

"Ya, Senin besok." Pandanganku terarah pada si Lancaster itu. Dia hanya menampilkan wajah santainya. Like a big boss. Ya!

"Apa ini tidak terlalu cepat, Sir?" kutatap pria itu. Ia tersenyum seraya menurunkan kaki yang sedari tadi ditumpukan pada kaki lainnya.

"Tidak. Semakin cepat semakin bagus pula."

Sial! Senyumnya membuatku muak. Aku tahu pasti ada maksud yang terselubung di balik wajah tanpa dosa itu.

"Oke I think that's all. Thanks for coming." Ucapan Professor Arnold membuyarkan tatapanku pada pria di hadapanku ini.

Kulangkahkan kakiku mendekat dan menyalami mereka dan tentu... pria sialan ini! Hah.... Senyum itu lagi yang ditunjukkan.

"Berhenti mengumpatiku, Nona." Bisiknya.

Arrggghh! Iblis ini menampakkan seringai konyolnya di hadapanku lagi dan lagi!

➰➰➰

Setelah menemui Professor Arnold dan bertemu dengan Jaeden lagi, Cleo bergegas menuju sebuah tempat, masih dalam kampus tersebut. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Sedang mencari seseorang.

Seketika senyum merekah tercetak jelas di wajahnya. Ia melangkah mendekati sosok yang tengah berdiri membelakanginya itu.

"Zander?"

"Oh hai!" Pria yang dipanggil Zander itu berjalan dan menghambur memeluk Cleo dengan senang.

"Congratulations on your graduation!"

"Thanks a lot."

Pria berambut pirang tersebut tersenyum manis pada Cleo. Sedangkan wanita itu terlihat malu-malu.

"You did the best!" puji pria itu. tangannya bergerak menyentuh bahu Cleo.

"Ah, bukan apa-apa." Cleo merendah.

"Itu sebuah kebanggaan. Kau menyelesaikan kuliahmu dengan cepat. Aku dengar kau direkrut Lancaster Corporation, apa itu benar?"

"Ya."

"Wah... kau hebat!"

"Hehehe." Cleo terkekeh pelan.

Cleo menoleh ke sekitar.

"Kenapa?" tanya Zander penuh perhatian.

"Hah?"

"Kau terlihat tidak nyaman di sini. Apa perlu kita mencari tempat yang lain?"

Cleo mengangguk. "Boleh."

Pria itu berjalan berdampingan dengan Cleo. Jujur, wanita itu benar-benar gugup ketika lengan Zander merangkulnya dari samping.

Yeah! Zander's her crush.

"Bagaimana kalau di sana?" Zander menunjuk tempat dekat gerbang keluar kampus. Cukup teduh.

"Boleh."

Mereka duduk di bangku panjang. Tercetak jelas sekali jika wanita itu begitu gugup. Zander menatapnya dengan lembut.

"Cle?"

"Ya?"

"Aku ingin mengajakmu malam ini. Maukah?" tanya Zander. Suara pria itu begitu lembut didengar.

"Maksudmu?"

"Aku ingin mengajakmu dinner jika kau mau. Bagaimana?" tanya Zander lagi.

Cleo menunduk seraya meremas jemarinya. "Zander..."

"Ya?"

Cleo mentap Zander. "Kenapa kau mau mengajakkku? Kau tidak malu?"

Zander menyunggingkan senyum sekilas. "Kenapa harus malu?"

"Aku bukan orang yang asyik untuk diajak keluar." Cleo merendahkan diri.

"Kenapa kau merendah, Cle?" tanya Zander penasaran.

"Zander... can i ask something?"

"Yes, please."

"Kenapa kau selalu peduli denganku?"

"Karena aku menyukaimu Cle," jawab Zander mantap.

"Tapi... aku tidak pantas untukmu"

"Berhentilah merendah! Kau lebih baik dari yang kau kira."

Zander berdiri lalu memegang kedua tangan Cleo untuk berdiri.

"Zander...."

TIIINNN!!!

BRUSHH!!!

Sebuah mobil sport berwarna hitam melaju dengan kecepatan tinggi dan hampir menabrak mereka, menghancurkan momen yang dibuat Zander.

Mereka selamat. Namun, air dari banyak sekali kubangan setelah hujan di depan mereka menyiprati pasangan tersebut.

"FUCK YOU!" umpat Zander pada pengendara mobil yang mendadak menghentikan mobilnya.

"KAU PIKIR INI SIRKUIT, HAH?!" bentak Zander sambil menunjuk mobil itu.

Sang pemilik mobil terlihat tak gentar dan tak menggubris. Ia lebih memilih melajukan mobilnya lagi setelah sejenak berhenti.

Setelah menghela napas, Zander beralih pada Cleo. "Kau tidak apa-apa?" Dengan lembut ia bertanya.

"Ah... tidak apa-apa." Cleo tersenyum seraya membersihkan pakaian wisudanya.

Zander balas tersenyum. "Kutunggu kau di café. Kukirimkan lokasinya nanti. Maaf karena aku tidak bisa menjemputmu. Aku akan menunggu di sana."

"Baiklah." Cleo mengangguk.

➰➰➰

"Woah.... Kau cantik sekali." Begitulah reaksi pertama Helena ketika melihat room mate nya telah selesai bersiap-siap. Cleo mengenakan dress selutut bewarna hitam dan sedikit polesan make up yang membuatnya tampak anggun.

"Ah... tidak aku hanya memakai make up sedikit." Cleo menyelipkan rambut di belakang telinganya, merasa gugup. Dia kurang terbiasa dengan pujian seperti itu.

"Serius Cle. Kau tampak sangat cantik. Hm.... Mungkin karena kau jarang memakai make up," Helena menyimpulkan sepihak.

"Oh ya, apa Zander menjemputmu?"

"Tidak, dia menunggu di sana. Kau tidak apa kan aku tinggal?"

Tanpa menggubris pertanyaan dari Cleo, Helena bertanya dengan dramatis. "Apa?! Dia tidak menjemputmu?! Bagaimana bisa dia membiarkanmu?"

"Ah, tidak apa. Jangan mendramatisir. Mungkin dia ada urusan," kata Cleo.

"Mendramatisir?" gumam si pirang dengan ekspresi berpikir. Sedetik kemudian, dia kelihatan telah mendapatkan jawaban. "Woho.... Aku tahu sekarang. Sepertinya sahabatku ini sedang terlena oleh cinta si British itu," ujarnya sembari menaik-turunkan alisnya.

"Shut up!" Cleo menutup kedua telinganya, namun kedua pipi yang bersemu itu tak dapat membohongi siapapun.

Setelahnya Helena malah terkekeh. Wanita itu benar-benar jahil.

"Kau mau keluar juga?" tanya Cleo setelah sahabatnya berhenti terkekeh dan mengendalikan rasa malunya.

"Ya."

"Kau memiliki kekasih?" tanya Cleo. Dengan sikapnya yang begitu ceria dan bersemangat, sebenarnya tidak heran Helena memiliki kekasih, namun Cleo belum pernah bertemu sebelumnya.

Helena mengendikkan bahu, bosan. "Aku tidak dapat memastikan dia kekasihku atau bukan. Yang jelas aku akan berkencan dengannya."

"Ya sudah cepat kau berangkat. Have fun."

"Tentu saja."

➰➰➰

"Good evening, Miss. Can i help you?" seorang pelayan bertanya dengan ramah ketika Cleo baru saja memasuki area sebuah cafe. Lebih tepatnya menyerupai club. Ia belum pernah ke tempat ini sebelumnya. Karena itu ia terheran-heran setelah turun dari taxi tadi. Zander mengirimi alamat yang dimaksudkan akan menjadi tempat mereka berdua dinner sesuai kata pria British itu.

"Ini." Cleo menunjukkan layar ponselnya. Di ponsel itu sudah tertera jika Zander memesan sebuah tempat untuk mereka.

"Baiklah, silakan. Mari saya antar." Pelayan laki-laki itu mengarahkan Cleo menuju lantai atas. Sebelum naik ke lantai atas, Cleo sekilas mengamati keramaian di lantai bawah. Benar-benar sebuah club malam. Dentuman musik keras menyambutnya di lantai tersebut.

"Silakan tunggu di sini, Miss." Pelayan itu menunjuk tempat yang berada di paling ujung lantai tersebut. Cleo duduk di sofa dengan meja di depannya.

Cleo menatap ngeri ruangan yang sangat luas. Dentuman music dari seorang DJ di sebelah kanan Cleo begitu keras terdengar. Jujur, untuk pertama kalinya Cleo memasuki tempat seperti ini.

Wanita itu menatap sekeliling. Benar-benar bukan kehidupannya. Ia tidak tahu dunia malam walaupun bisa dibilang ia sudah lama hidup di Negara Adidaya tersebut.

Cleo mengecek ponselnya.

"Kenapa lama sekali?" gerutunya.

Cleo memijat pelipisnya sejenak. Beberapa pemandangan yang menurutnya tidak menyegarkan mata tersaji dengan gampangnya di hadapan wanita itu.

Cleo menatap ponselnya lagi.

Haruskah aku menghubunginya? Pikirnya.

Setelahnya jemarinya menyentuh layar ponsel untuk menghubungi seseorang yang sedari tadi ditunggunya.

"Zander?" ukiran senyum tampak jelas setelah mengetahui panggilannya diangkat.

"Hai! Kau sudah sampai? Maaf, aku ada urusan sebentar. Kumohon tunggu sebentar, okey?" ucap Zander di seberang sana.

"Ehm... baiklah." Cleo menghela napas pasrah.

"Seorang pelayan di sana akan membawakan pesanan. Kumohon tunggu sebentar ya," kata Zander lagi. Cleo mengangguk paham.

"Ya," jawabnya.

Cleo menghela napas.

Tidak lama kemudian seorang waiter membawakan sebuah minuman bewarna merah tua dan menaruhnya di meja hadapannya.

"Silakan, Mr. Hodgson memesan ini untuk Anda," ucap waiter tersebut.

"Really? Thanks." Cleo membalas dengan senyuman mengembang.

Wanita itu mengambil gelas tersebut dan mencicipi perlahan.

"Argghh, apa ini?" Bergegas Cleo menaruh kembali minuman tersebut. Dan sedetik selanjutnya terdengar suara kekehan mengejek dari arah samping.

"Nona... Nona... sudah kuduga kau tidak pernah masuk ke dunia malam."

Cleo mengangkat wajahnya dan - "Kau!" sontak wanita itu menunjuk seseorang di hadapannya dengan telunjuk.

Ya. Seperti sebuah kutukan. Jaeden Lancaster berada tepat di hadapannya saat ini.

Jaeden!

"Sepertinya kita harus berkenalan lagi. Kurasa kau tidak pernah menyebut namaku, bukan?" Jaeden berucap dengan nada mengejek.

"Tidak perlu! Aku sudah tahu namamu... Jad.... Jae..." Cleo menjeda ucapannya.

"Hah... sudah kuduga kau bukan pengingat yang ulung!" Jaeden berucap dengan gamblangnya. Cleo dibuat terpaku di tempat.

"Call me 'Brahms'!"

Cleo mengerutkan keningnya. "Brahms?"

"That's my middle name, Miss. Rachesky..." Lagi, Jaeden mengejeknya.

Cleo masih belum paham dengan apa yang dimaksud pria di hadapannya saat ini. "Sepertinya kau kesulitan mengucapkan nama orang yang terdiri dari dua suku kata. Ck... ck..." Jaeden menggeleng. Tatapannya benar-benar mengejek.

"Tidak!" bentak Cleo.

"Sudahlah, Nona. Panggil aku Brahms. Mudah, bukan? Hanya sekali ucap. Satu-suku-kata," kata Jaeden menyindir.

Cleo tetap bergeming, jemarinya mengepal, membiarkan Jaeden menatapnya seraya menyesap minuman putih bening yang dibawanya.

Wanita itu menghela napas. "Baikah. Jadi sekarang lebih baik kau pergi, Mr. Lancaster." Cleo berucap menantang dengan wajah tak kalah mengejek pria itu.

"Apa? Kau mengusirku?" Jaeden menatap tak percaya.

"Hei, Nona. Kau tahu? Club dan restoran yang ada di sini bisa saja kubeli jika aku mau. Memangnya siapa kau? Dan lagi, kau masih memiliki hutang padaku." Jaeden berucap dengan santainya, telunjuknya terkadang menunjuk wanita di hadapannya.

"Hei, kau! Kau memerasku, hah?!" Cleo bangkit dari posisisnya. Wanita itu berjalan mendekat.

"Hei, Nona, apa kau tidak salah berucap? Kau sudah membuatku kehilangan benda berhargaku dan sudah melukai tanganku," jelas Jaeden kembali mengingatkan tragedi di MacD waktu itu.

"Tapi..." sanggah Cleo.

"Aku tidak ingin tahu banyak alasanmu. Yang jelas ikut aku sekarang!" Jaeden menarik lengan Cleo dengan paksa.

"Lepaskan aku berengsek! Lepaskan!"

"Seseorang tolong aku!!! Dia ingin menculikku!!!" Cleo terus berteriak tetapi tidak ada yang memedulikan. Pria itu menariknya keluar dari kerumunan orang di ruangan tersebut.

"Help me! He's a kidnapper!!!" Cleo terus saja memberontak, sedangkan Jaeden, ia hanya menyunggingkan seringai iblisnya seraya terus membawa wanita itu keluar dari club.

➰➰➰

I hope you like this part.
Leave vote and comments below!
I still learn west background.

Thanks for reading

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top