[TPS] Part 10 - Apologize
"MEET my friend! Gorgeous!" Jaeden berucap dengan santai seakan tengah memperkenalkan rekannya.
"Brahms..." Cleo mencicit ketakutan melihat hewan besar di samping pria itu.
"Hei! Jangan takut," kata Jaeden.
"Bagaimana aku tidak takut, hah? Kau gila!" Cleo membentak kesal. Ia bangkit seraya membersihkan pakaiannya karena terkejut hingga terjatuh tadi.
"Come here!" kata Jaeden.
"No!" Cleo menggeleng seraya mengelus lembut hewan di tangannya.
"C'mon!" bujuk Jaeden.
"No!" bentaknya. Ia menggeleng mantap. Bagaimana bisa ia berdekatan dengan hewan buas itu! Yang benar saja! Dilihatnya hewan itu merangkak mengitari Jaeden dan sesekali mengeruk tanah.
"Kau ini! Dia tidak akan memakanmu!" ucap Jaeden lagi.
"No, I'm scared."
"Ouw, ayolah... Lepaskan saja hewan di tanganmu itu," ucap Jaeden seraya menunjuk hewan kecil yang berada di tangan wanita itu.
Cleo melihat hewan kecil yang sedari tadi dipegangnya. "Tapi..."
"Tidak masalah jika kau melepasnya di sini. Nanti akan mudah ditemukan, kau tenang saja. Kau tidak perlu khawatir." Dengan pasrah Cleo melepaskan hewan itu ke tanah.
"Kemarilah! Lawan rasa takutmu atau kau akan hanya menjadi seorang pengecut!"
Cleo mematung. Kata-kata Jaeden bak sebuah tamparan keras baginya.
Karena tak kunjung mendekat, Jaeden akhirnya menarik lengan Cleo untuk mendekat. "Kemarilah!" Cleo tetap menggeleng takut.
"I said closer Miss. Rachesky..."
"No."
Dilihatnya beruang hitam itu mencoba berdiri dengan kedua kaki setelah terduduk di tanah. Cleo tidak berani menatap mata hewan buas itu.
GRUARRGHHH
"Brahms!!!" sontak Cleo berlindung di balik tubuh Jaeden mendengar raungan yang cukup menakutkan dan mengejutkan tersebut.
"I told you, I'm scared."
Jaeden memegang lengan Cleo. "Open your eyes, look! It's fine."
"No."
"Oh, C'mon!" bentak Jaeden.
"Dia menakutkan, Brahms!"
"Menakutkan karena kau belum mengenalnya." Jaeden menoleh, Cleo mengintip di balik bahu Jaeden.
"Ulurkan tangamu dan elus perlahan." Jaeden menuntun tangan Cleo untuk menyentuh bulu hewan itu. "Elus perlahan, dia akan jinak dengan sendirinya," kata Jaeden.
Cleo mengernyit ketakutan ketika permukaan telapak tangannya menyentuh bulu-bulu kasar hewan itu.
Ada rasa takut dan khawatir secara bersamaan.
"Brahms...."
"Sudah kubilang, bukan?"
"Tapi... tetap saja ini menakutkan." Cleo menarik tangannya cepat. Ia menatap Jaeden yang terlihat tersenyum kemenangan.
Kurang ajar!
"Kau mau memeluknya?"
"Memeluk?"
"Hm..."
"Tidak. Dia sangat besar. Kau mau membunuhku? Bilang saja jika kau membenciku Brahms tapi kenapa secara terang-terangan seperti ini? Haish... aku tidak habis pikir, memangnya apa salahku padamu, hah?!" kesalnya panjang lebar.
GRUARGGGHH
"AAAA!!!" Cleo menjerit. Jantungnya berdetak begitu kencang seketika. Hewan itu mengaung tepat di hadapannya. Sontak saja ia kembali berlindung di balik tubuh Jaeden.
Jaeden dengan santainya menertawai aksinya. "Hahaha heeeyy!!!"
"Jangan berteriak di dekatnya. Dia sangat sensitif," ucap Jaeden memperingatkan.
Cleo tidak habis pikir bagaimana Jaeden bisa memelihara hewan buas yang ukurannya saja bukan main.
"Up," perintah Jaeden pada beruang hitam itu, tanpa diduga hewan itu menyentuhkan tangan besarnya ke atas kepala Jaeden. Dan pria itu tampaknya tidak keberatan.
"Give him a hug."
"Tidak! Aku tahu kau sengaja melakukan ini padaku, bukan? Kau mau membunuhku, bukan? Kau saja sendiri!" Cleo menatap Jaeden kesal.
"Tentu saja tidak."
"Bullshit!"
"Mendekatlah."
"I SAID NO! YOU! YOU'RE SUCH A JERK!" bentaknya dengan penuh amarah hingga mendorong tubuh Jaeden ke arah beruang besar itu.
Brukkk
GRUARGHHH
Srttt
"ARRRGHH!!!" teriak Jaeden.
Cleo membulat tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
GRUARGGHHH
"ARRRGHH ASSSH..."
"STOP IT! GORGEOUS!"
GRUARRRGHH
DOR!
Seorang penjaga langsung menembakkan sesuatu yang membuat hewan itu tergeletak lemas di sebelah tubuh Jaeden yang tak bergerak lagi.
"Sir! Sir! Tuan Lancaster!"
"Cepat panggil yang lain!" Penjaga itu langsung berteriak melalui earphone yang menempel di telinganya. Dan secepat kilat beberapa penjaga menghampiri mereka.
Sedangkan Cleo, terjatuh lemas tidak jauh dari tempat itu. Ia sontak mundur ketika melihat Jaeden diserang hewan buas tadi. Cleo melihat dengan mata kepalanya sendiri, hewan itu menyerang Jaeden dengan brutal sebelum akhirnya pria itu tidak sadarkan diri.
"Nona, Anda tidak apa-apa?" tanya seorang penjaga. Cleo tidak menjawab. Ia mematung tak percaya dengan kejadian yang baru saja terjadi. Ia memandang ke depan di mana tubuh Jaeden diangkat oleh penjaga dengan darah di mana-mana.
"Tuan! Tuan! Anda mendengar saya, bukan?" Teriakan panik penjaga tersebut makin membuat pikiran Cleo kacau.
Tangan dan kakinya bergetar sebelum akhirnya semua menjadi gelap.
➰➰➰
"Hiks.... Hiks.... Brahms..." Air mata wanita itu tak terbendung lagi melihat siapa yang berada di ruang operasi.
"Theo..." Emma menangis di pelukan sang suami. Di sana, ada Theo, Emma serta Cleo. Setelah mendengar kabar jika Jaeden diserang beruang besar tadi, Emma langsung megikuti ke rumah sakit. Begitu pun Cleo yang sempat tak sadarkan diri.
Cleo mencoba menahan tangisnya.
Rasa bersalah terus seja menghampirinya seakan memaksanya melakukan sesuatu.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa Brahms... hikss..."
"Tenanglah..." ucap Theo menenangkan.
"Bagaimana aku bisa tenang?! Aku baru saja melihatnya, selama beberapa tahun tidak dan sekarang..." Emma tak kuasa melanjutkan ucapannya. Ia menangis di dekapan sang suami.
Cleo menatap sedih Emma yang terus saja menangis di pelukan sang suami. Ia bisa membayangkan bagaimana khawatirnya seorang ibu melihat sang anak tergeletak lemah tak berdaya di ruang operasi. Mengingat penyebabnya sampai seperti itu.
Tidak berapa lama, seorang dokter keluar. "Bagaimana keadaannya?" Theo langsung mendekat.
"Luka cakaran sudah kami jahit, Mrs. Namun ada beberapa bagian tubuh yang mengalami memar akibat serangan itu. Sehingga, Tuan Jaeden harus beristirahat untuk sementara."
"Brahms...."
"Tuan Jaeden sudah sadar saat ini."
"Aku ingin masuk." Emma langsung menghambur memeluk sang anak yang tengah bersandar pada kepala ranjang rumah sakit. Dilihatnya lengan dan bahu Jaeden dibalut oleh kain putih. Memperlihatkan tubuh bagian atas Jaeden yang penuh luka serta memar.
"Hiks... hiks... kau membuatku khawatir setengah mati!" Emma memeluk Jaeden erat.
"Ugh Mom... I can't breath..."
"Em..." Theo mencoba menjauhkan sedikit tubuh Emma dari sang anak.
"Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi!" desak Theo. Ia tak menjawab.
Jaeden menatap Cleo yang perlahan menuju ke arahnya. Dilihatnya wanita itu menunduk.
Ia berdiri di samping Theo. "Ehm itu..." kata Cleo pelan.
"Apa yang ingin kau katakan, Cleo?"
"Sebenarnya Brahms..."Cleo berkata dengan ragu.
"Aku melakukan hal ceroboh, Mom," potong Jaeden cepat.
Cleo menatap Jaeden tak percaya. Harusnya Jaeden menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dan karenanya lah pria itu terluka.
Tapi kenapa Jaeden tidak mengungkapkan hal yang sebenarnya?
"Sudah, Mommy bilang berapa kali. Jangan menghampiri hewan itu lagi. Terakhir kali Daddy-mu yang menjadi sasaran amukannya. Apalagi sudah lama kau tidak menghampirinya, mungkin saja ia mengira kau orang asing. Hiks..." ucap Emma seraya menghapus air matanya.
"Hm..." Jaeden mengangguk malas.
"Mommy sangat mengkhawatirkanmu." Emma menyentuh kening anaknya yang juga terluka.
"Don't worry about me, Mom. I'm fine."
"Aku ingin kembali ke kamarku," lanjut Jaeden.
"Tidak! Kau harus di sini saja," kata Theo.
"Tidak Dad. Aku tidak suka di sini. Aku ingin berada di kamarku." Jaeden berucap keukeuh.
"Tapi kau harus mendapat perawatan."
"Mom, aku juga seorang dokter. Aku tidak butuh hal yang berlebihan."
"Jaeden!" bentak Theo. Cleo sendiri menatap mereka takut.
"Aku ingin kembali. Jika tidak aku akan kembali sendiri! Persetan dengan semua ini!" ancam Jaeden. ia sudah siap ingin mencabut selang infuse di punggung tangannya.
"Ouw no!"
"Brahms!" peringat Emma.
Theo dan Emma sama-sama mengembuskan napas pasrah. Sifat Jaeden benar-benar tidak dapat dikompromi.
"Jadi?" tanya Jaeden memastikan.
"Ya, baiklah. Kau boleh kembali ke mansion."
➰➰➰
Malam hari, setelah kejadian memilukan tadi, Jaeden dipulangkan dari rumah sakit. Dan sekarang pria itu sudah berada di kamarnya sendiri atas permintaannya.
"Cleo, apa kau sudah makan?" tanya Emma. Setelah kembali dari rumah sakit tadi, Cleo terus membuntuti Emma. Ia tidak berani menghampiri Jaeden. Saat ini mereka berada di ruang makan bersamaTheo, Ashley dan putri kecilnya.
"Hah? Ehm... aku masih kenyang."
"Mom lihat kau hanya sarapan di pagi hari tadi. Makanlah kau pasti lapar. Jangan terlalu khawatirkan Jaeden. Anak itu memang keras kepala. Aku tidak tahu kenapa. Dulu tidak seperti itu."
"Mom, I'm sorry," ucap Cleo penuh penyesalan. Ia menunduk takut.
"For what?"
"Atas apa yang terjadi pada Jaeden," ungkapnya.
"Maksudmu?"
Cleo termenung. "Sudahlah tidak apa. Kau tidak tahu apa-apa. Itu semua pasti karena hewan buas itu tidak pernah melihat Jaeden selama bertahun-tahun. Hewan buas akan tetap menjadi hewan buas," ujar Emma kesal.
Cleo terdiam. Ia tidak dapat menceritakan apa yang sebenarnya pada Emma.
"Bagaimana itu terjadi, Mom? Brahms yang malang," kata Ashley menyahuti dengan wajah tampak prihatin.
"Untungnya beruang itu tidak menyerang bagian tubuh vital Brahms," kata Emma.
"Uncle Brahmsy kenapa?" tanya Fleur penasaran. Bocah kecil itu tengah asyik menikmati salad buah di hadapannya.
"Uncle sedang sakit dan butuh istirahat yang cukup, Sayang." Ashley membalas.
"Bolehkah aku menemuinya?"
"Sebaiknya tidak untuk sekarang. Uncle butuh istirahat yang cukup. Kau lupa, hm? Setelah ini Daddy pulang dan akan mengajak kita keluar."
"Hm. Baiklah." Cleo tersenyum tipis melihat kelucuan Fleur, begitu pun dengan sang ibu dan Emma.
"Apa beruang itu mati?" tanya Ashley.
"Tidak, Dylan hanya menembakkan cairan pelumpuh syaraf saja," sahut Theo.
"Hm..." Ashley mengangguk paham. Cleo merasa sangat bersalah dengan keluarga ini. Terutama pada Jaeden yang seakan melindunginya dari keluarganya sendiri.
"Makanlah, Nak," kata Theo pada Cleo ia menyodorkan sepiring menu lobster pada Cleo.
"Yes, Sir."
"Ouw no. Just call me 'daddy'."
"Ha? Ouw ehmm.. yeah," Cleo menjawab dengan gugup.
"Makanlah. Aku ingin mengantarkan ini," Kata Emma.
"Ehm.... Mom, biar aku saja." Cleo bangkit dari duduknya.
"Tidak apa. Kau makan saja," ucap Emma. Wanita itu membawa nampan yang berisi semangkuk makanan, sepertinya bubur dengan taburan daging kepiting serta roti. Dan juga minuman serta beberapa buah segar yang telah dikupasnya.
"Tidak apa. Aku ingin menengok Brahms juga," katanya. Jujur, ia masih ragu untuk menemui pria itu.
"Baiklah bawa ini juga ke kamarnya. Kau harus makan." Emma memberikan semangkuk salad buah serta makanan yang sama ke atas nampan yang dipegang Cleo.
"Baik."
"Thank you Cleo. You're so kind." Cleo tersenyum kecil. Kemudian melenggang menuju lift.
Sesampainya di lantai atas yang dituju, Cleo mengarahkan telapak tangannya ke pintu kamar. Dan pintu pun terbuka.
"Brahms...." panggilnya. Cleo melihat Jaeden tengah bersandar di kepala ranjang. Pria itu mengenakan piyama tanpa dikancingkan. Lengan kanannya berbalut kain serta gendongan yang melekat dan tergantung pada lehernnya. Serta selang infus yang masih terpasang di punggung tangan kirinya.
"Keluarlah! Aku ingin beristirahat," ucap Jaeden malas tanpa menatap wajah wanita itu. Pandangannya terarah pada invisible screen yang menyala, berjarak dua meter dari tempatnya. Cleo tidak dapat melihatnya karena terletak di atas.
"Aku membawakan makanan untukmu."
"Di mana Mom?"
"Aku yang mengambil alih ini," ucapnya gugup.
"Jangan menyibukkan dirimu hanya untuk ini," ucap Jaeden dingin.
"Tidak apa."
"Taruh saja di sini." Jaeden menunjuk sisi ranjangnya menggunakan dagu. Cleo berjalan dan menaruh nampan tersebut.
"Kau boleh keluar," ucap Jaeden kemudian.
"Tapi... aku ingin... mem-"
"Aku ingin beristirahat dengan tenang. Jangan mencampuri urusanku!" potongnya cepat.
"Baiklah."
Cleo berjalan perlahan sembari melirik Jaeden yang meletakkan nampan di atas pahanya.
"Haish...." Cleo menoleh mendengar desisan Jaeden. Dilihatnya pria itu kesulitan menyuapi dirinya sendiri dengan tangan kiri. Apalagi kalau bukan karena luka di lengan serta dadanya.
"Lengamu sakit?"
"Bukan urusanmu, sudah keluarlah!" Jaeden menatapnya dengan tatapan ketus.
"Tapi..."
"Kau mengerti bahasaku atau tidak hah?! " bentaknya.
Cleo mengamati Jaeden.
"Arrgghh..."
Tak
Jaeden membuang sendok dengan kesal ke atas nampan.
"Biar kubantu." Cleo berjalan mendekat.
"Aku tidak butuh bantuanmu!" Lagi-lagi Jaeden menolak bantuan wanita itu.
"Kau tidak dapat makan sendiri karena lenganmu." Cleo mendekat dan menggapai sendok.
"Buka mulutmu Brahms, aku tahu kau lapar."
Jaeden mengembuskan napas pasrah. Ia menatap Cleo dengan tatapan datar.
"Brahms..."
Akhirnya pria itu membuka mulutnya. Cleo dengan sabar menyuapi pria itu hingga menuntun pelan gelas berisi air putih untuk diminumkan pada Jaeden.
"Kau mau buah?"
"Tidak!" Lagi-lagi jawaban ketus yang didapatnya.
"Keluarlah!" usir Jaeden.
Cleo berlutut di samping ranjang.
"Brahms... aku minta maaf. Gara-gara aku kau..." Cleo menjeda ucapannya.
"Lupakan itu!"
"Aku merasa sangat bersalah karena membuatmu terluka." Cleo menunduk.
"Maafkan aku Brahms... hiks hiks..." Jaeden terkejut melihat Cleo menangis pelan.
"Aku tahu kau sangat marah. Kumohon maafkan aku hiks... hiks... Brahms...kau hampir meregang nyawa karenaku..."
Jaeden termenung. Ia membiarkan Cleo berucap seraya tersedu-sedu. "Aku tahu kau benci padaku... kau boleh melakukan apapun padaku Brahms..."
"Bangkitlah," kata Jaeden pelan.
"Apologize me...." Cleo mengatupkan kedua telapak tangannya dengan masih terisak.
"Jangan menyalahkan dirimu. Itu juga kesalahanku," ungkap Jaeden.
Jaeden memindahkan nampan dengan tangan kirinya dengan susah payah ke atas meja di samping ranjang lalu menarik pelan lengan Cleo untuk duduk di pinggiran ranjang.
"Kemarilah."
Jaeden tersenyum kecil tanpa sepengetahuan Cleo. Ia mengamati Cleo yang terisak.
"Apologize me Brahms... kau hampir mati karenaku hiks.... Kau boleh menghukumku. Kau boleh...."
"Look at me," kata Jaeden. Cleo menggeleng. Wanita itu menunduk sambil terus mengusap air matanya sendiri.
"Look at me." Jaeden menyentuh tangan Cleo.
"Semua sudah terjadi dan itu bukan sepenuhnya salahmu. Aku juga terlibat. Aku melakukan hal ceroboh."
"Aku.... Aku sudah membuatmu terluka. Lenganmu, serta kakimu..." Lagi, Cleo tidak dapat membendung air matanya.
"Ssssttt.... sudah diamlah, jangan menangis. Aku tidak ingin mommy-ku membunuhku karena melihatmu menangis." Jaeden menyunggingkan senyum seraya menghapus air mata wanita itu dengan telapak kirinya.
"Sekarang tatap aku," perintahnya.
"Berhenti menangis, oke?" Cleo menatap Jaeden.
"Aku tahu kau membenciku hingga menolakku untuk membantumu. Kau boleh berbuat apa saja untuk membalas dendam padaku, Brahms," kata Cleo frustasi. Sedari tadi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Rasa bersalah mendominasi di pikirannya.
"Kumohon maafkan aku. Kau boleh menyuruhku melakukan apapun - "
"Benarkah?" potong Jaeden cepat dengan intonasi licik.
"Hm. Jika itu membuatmu puas."
"Baiklah, aku ingin.... Kau menciumku."
Cleo membulatkan mata sempurna.
"Kau keberatan, hm? Baiklah aku tidak akan memaafkanmu dan aku memaksamu untuk...." Jaeden menampilkan seringai iblisnya.
Cleo menghapus air matanya. "Baiklah. Sekarang?"
"Tidak, lima tahun mendatang," kesal Jaeden.
"Sekarang, cepatlah. Aku akan sembuh jika kau memberiku itu."
"Harus?"
"Tentu saja!" Jaeden mengangguk mantap.
"Ehm...."
"Tidak ada CCTV. Kau tenang saja. Cepat lakukan atau aku akan meminta yang lain."
"Ehm baiklah, baiklah."
Cleo menurut bak anak anjing yang diperintah oleh majikannya. Sebenarnya dalam hati, ia tahu jika ini hanya akal-akalan Jaeden.
"Tutup matamu," kata Cleo.
"Tidak. Kau pasti akan mencekikku, bukan?"
Cleo mengembuskan napas berat lalu menggeleng. "Tidak, bagaimana bisa? Itu sama saja aku menggali kuburanku sendiri. Kau sudah tahu itu."
Lagi, keduanya berdebat.
"Kau mau atau tidak?"
"Ouw baiklah, sepertinya gaya ciumanmu ekstrem."
Plakkk
"Awshhh..." Jaeden langsung mengeluh kesakitan pada lengannya.
"Oh... I'm sorry Brahms..."
"Kau hampir membunuhku lagi."
"I'm sorry..." Cleo mengelus lembut lengan kiri Jaeden yang menjadi sasaran pukulannya.
"Diamlah. Jika kau bicara, aku tidak akan mau," ancam Cleo.
"Baiklah. Cepatlah!"
Arrrghhh...
Cleo menjerit dalam hati. Ia benar-benar seperti boneka mainan pria itu. Cleo sedikit mendekat. Ketika jarak wajah mereka hanya tinggal sejengkal, Cleo diam-diam mengamati wajah Jaeden.
Rahang Jaeden terluka. Melihat itu membuatnya semakin merasa bersalah. Lalu, kening pria itu.
Jujur saja, wajah Jaeden Benar-benar penuh karisma.
Ia meneguk ludah. "Kenapa kau meneguk ludah, huh?" Jaeden berucap dengan mata masih tertutup.
Cleo tersentak "Diamlah..."
Cleo kembali fokus pada wajah Jaeden yang terlihat damai jika dengan mata tertutup. Jantung Cleo berdetak kencang, embusan napas terasa begitu kentara menerpa permukaan wajah keduanya.
Cleo mendekatkan wajahnya.
Perlahan...
Dan...
Cup
Ciuman singkat itu berhasil membuat Jaeden bagai di awang-awang. Walau hanya singkat namun euphoria yang dirasakan benar-benar membawanya seakan dibawa ke langit ketujuh!
Sial!
Cleo benar-benar memberikan sesuatu yang tidak pernah didapatkan dari wanita mana pun.
Cleo menarik dirinya. Dilihatnya Jaeden tersenyum kemenangan. Ia tahu pria itu sengaja membuatnya malu.
"Sangat manis," kata Jaeden.
Cleo menundukkan wajahnya.
Pria ini berhasil membuat pipinya memanas hanya dengan kata-kata seperti itu.
Jaeden mengamati Cleo yang menunduk.
Jemari tangan kirinya bergerak perlahan menyelipkan rambut wanita itu yang menghalangi wajah cantiknya.
Jaeden menyentuh dagu Cleo agar menatapnya. "Aku masih belum sembuh. Kau harus bertanggung jawab."
"Ha?" Cleo menganga tak percaya dengan apa yang diucapkan pria di hadapannya saat ini.
Bukk
Jaeden mendorong bahu Cleo sampai wanita itu terhuyung dan terbaring di ranjang. Sedangkan Jaeden sudah mengubah posisinya secepat kilat menjadi membungkuk di atas wanita itu dengan satu tangan menahan tubuhnya.
"Brahms..."
"Aku menginginkan obatku. Diamlah."
Perlahan Jaeden mendekatkan wajahnya. Dilihatnya Cleo memejamkan mata.
Ia mendekat dan semakin dekat hingga bibirnya dapat merasakan benda kenyal yang selama ini selalu membuatnya salah fokus.
Jaeden melumat pelan, Cleo yang mengetahui hal ini akan terjadi hanya bisa pasrah seraya mengimbangi perlakuan pria di atasnya tersebut. Berciuman dengan Jaeden membutanya ketagihan secara tidak langsung.
Oh God... ia seperti wanita yang...
Arggh.... Tidak-tidak!
Jaeden menutup mata seraya meresapi aktivitas keduanya. Sekilas ia menghentikan ciumannya untuk memberi Cleo jeda mengambil napas lalu melanjutkan kembali. Tangan Jaeden mengelus perlahan pipi, kening serta rambut Cleo sembari mulutnya begelut dengan mulut Cleo.
Sedangkan kedua tangan Cleo meremas kuat piyama yang dikenakan Jaeden.
Jaeden mengakhiri ciuman mereka.
Keduanya saling tatap. Dilihatnya wajah Cleo semakin merona hingga wanita itu memalingkan wajah ke kiri.
Dengan cepat Jaeden mencuri ciuman lembut.
Cup
"I fell better now," ucap Jaeden.
Entah apa yang membuat mereka terkikik konyol setelahnya. Jaeden ikut tertawa kecil seraya terus menatap wajah cantik wanita di bawahnya.
Sial! Kenapa berakhir seperti ini?
Sebenarnya siapa yang menciptakan alur seperti ini? Sang penulis atau mereka yang sengaja membelokkan alur?
Haish...
Shit!
➰➰➰
Finally i can publish this new chapter ;)
Enjoy this!
Give me vote and comments if you like this story. Thanks for reading this story, put in your RL. I appreciated it.
Dan mungkin beberapa chapter kedepan akan kuprivat karena ada sesuatu yang yah... berarti buatku. Kalau kalian mau baca, follow dulu ya ;) biar bacanya enak nggak kepotong-potong.
Oke lah
Bye
Have a nice day people!
Sending love to you all...
➿➿➿
You can check this story guys! The first Lancaster series
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top