TUJUH BELAS

Teman, kalau kamu mau mendengar suaraku, kamu bisa menyimak aku bercerita tentang dunia menulis yang kusukai--mulai dari inspirasi, tantangan, dan banyak lagi. Besok malam, 30 Desember 2020, jam 20.000 sampai jam 21.00. Kamu bisa mendengarkan live di  Youtube Channel RRI NET Bengkulu atau Facebook Produa Bengkulu. Kan selama ini kamu cuma membaca tulisanku :-D

***

"Melupakan...." Edvind mengulangi satu kata tersebut perlahan. Seperti dia sama sekali belum pernah mengucapkan sebelumnya. "Bagaimana aku bisa melupakan ciuman itu, kalau setiap saat aku terus memikirkan cara mendapatkan kesempatan untuk menciummu lagi? Pagi, sore, siang, malam. Saat aku di rumah sakit, di rumah, di tempat tidur. Apa kamu mau tahu apa yang kupikirkan saat aku sendirian malam-malam di tempat tidur?"

"Nggak!" sergah Nalia. "Yang kuinginkan adalah kamu nggak menciumku lagi!"

"Aku nggak akan minta maaf karena menciummu. Aku nggak menyesali ciuman itu."

"Aku nggak mengharap permintaan maafmu! Aku ingin kamu berhenti menggangguku! Kamu ini sudah kehabisan stok teman wanita atau gimana?! Perlu kucarikan?!"

Kenapa Nalia masih mau datang ke sini kalau tidak ingin bertemu dengan Edvind, setelah ciuman yang membuat Nalia tidak bisa tidur tanpa melihat wajah Edvind di dalam mimpinya? Karena Nalia tidak bisa menyalahi janji pada dirinya sendiri. Janji untuk membantu anak-anak di sini hingga semua lancar menulis dan membaca.

Salah satu di antara mereka—yang beruntung masih bisa sekolah—telah menyelesaikan satu cerita pendek dan Senin besok Nalia akan mengikutkan naskah tersebut pada sebuah kompetisi. Setelah Nalia selesai mengetik naskahnya, karena anak itu menulis dengan bolpoin di dalam sebuah buku tulis.

"Sejak bertemu denganmu, aku sudah nggak punya lagi teman wanita. Aku nggak mencari. Hanya kamu satu-satunya wanita di hidupku." Jawaban Edvind membuat langkah Nalia terhenti.

Ya Tuhan, jadi memang benar. Edvind jatuh cinta. Padanya. Kenyataan ini menakutkan bagi Nalia, tapi pada saat bersamaan, Nalia merasa bangga. Karena bisa membuat Edvind—yang dipuja banyak wanita di kota ini—jatuh cinta kepadanya.

"Iya, aku jatuh cinta padamu, Nalia." Tanggapan Edvind membuat Nalia tersadar mulutnya menyuarakan pikirannya. "Sejak pertama kali kita bertemu di rumah sakit dulu."

"Tapi aku nggak mencintaimu!" Nalia menukas. Semoga Edvind tidak bisa mendeteksi kebohongan dalam suara Nalia. Karena Nalia tidak akan berurusan dengan cinta, Nalia akan menyebut apa yang dia rasakan kepada Edvind—sejak mereka pertama kali bertemu dulu—sebagai ketertartikan belaka. Bukan cinta.

"Nggak masalah. Kita tetap bisa mencintai seseorang walau dia nggak mencintai kita." Kini Edvind berdiri di depan Nalia. Posisi yang tidak disukai Nalia. Sebab kalau ingin bicara sambil menatap mata Edvind dengan berani, Nalia harus mengangkat kepala.

"Kita bisa tetap berteman." Memutus tali silaturahmi berarti menutup satu pintu rezeki. Nalia tidak akan melakukannya. "Asal kamu nggak menciumku lagi. Friends don't kiss."

"Oke. Aku hanya akan menciummu kalau kamu menginginkan ciuman itu. Janji. Dan janjiku yang kedua, aku akan membuatmu mencintaiku. Membuatmu jatuh cinta padaku." Karena cinta bertepuk sebelah tangan hanya boleh hidup di dalam lagu. Bukan di hidup Edvind.

"Edvind...." Nalia tidak tahu lagi harus berkata apa. "Kita berteman belum lama, kenapa kamu sudah ngomongin cinta? Minggu depan ngomongin apa? Pernikahan?"

"Aku ingin menikah."

"You what?!" Nalia tidak bisa memercayai apa yang baru saja dia dengar. " Edvind? Ingin menikah?! Wow, aku nggak sabar mau ngasih tahu Alesha. Dia pasti nggak bisa percaya. Kalau kamu ingin menikah, Ed, umumkan pada semua pacar, sorry, teman-teman wanitamu, pasti mereka berebut ingin menikah denganmu."

"Aku ingin menikah denganmu." Suara Edvind tegas dan tanpa keraguan.

Laki-laki di depannya ini memang sudah gila. Nalia menggelengkan kepala. "Kalau kamu sudah mengenalku, sebenar-benarnya diriku, kamu nggak akan bilang begitu."

"Aku sudah cukup mengenalmu dan aku yakin aku menginginkanmu dalam hidupku."

"Aku sudah menjadi bagian hidupmu, sebagai temanmu." Tuhan, tolong, Nalia memohon dalam hati. Kepala Nalia mendadak pusing sekali. Bagaimana Nalia akan bisa berteman dengan Edvind setelah ini? Setelah Nalia dengan jelas mendengar bahwa Edvind mencintainya dan Edvind menginginkan Nalia menjadi istrinya. Kenapa takdir menempatkan Nalia pada posisi sulit seperti ini? Lepas dari satu rencana pernikahan, kini Nalia dihadapkan pada lamaran berikutnya.

***

"Kenapa wajahmu kusut begitu, Nalia?" Alesha, yang baru saja keluar dari kolam renang, berdiri di depan Nalia. "Kayak ada yang baru saja membunuh kucing kesayanganmu."

Siang ini adalah jadwal berkumpul Nalia dan para sahabatnya; Edna, Alesha, dan Renae. Biasanya pertemuan rutin setiap akhir pekan diadakan di café E&E milik Edna. Tetapi karena Edna masih trauma pascaledakan dan belum kembali bekerja di sana, pertemuan dipindahkan ke rumah superbesar milik Edna. Hampir tidak ada beda dengan di E&E, di sini pun Edna menyediakan berbagai macam kue dan biskuit, juga makan siang. Demi acara ini, Edna mengirim suami dan anaknya ke rumah mertuanya. Karena hari sudah teduh, Alesha dan Renae memutuskan untuk berenang di kolam milik Edna. Sedangkan Nalia duduk mengobrol bersama Edna, yang perutnya semakin membulat.

"Itu bukan wajah duka. Itu wajah kangen." Edna ikut memperhatikan Nalia. "Kayaknya wajahku gitu juga kalau aku nggak bercinta sama Alwin seminggu aja."

"Eww, Nya, aku nggak perlu tahu seperti apa kehidupan seksual kakakku. Aku nggak mau tahu seberapa sering kalian melakukannya." Alesha mengerutkan hidungnya menahan jijik.

"Ini wajah pengin liburan," tukas Nalia menyudahi percakapan Edna dan Alesha.

"Sama banget, aku juga pengin liburan." Alesha setuju. "Kayaknya kita cewek jomlo harus liburan bareng deh, Nalia. Mau minggu depan? Mumpung aku masih nganggur. Ada vila punya Mama di Bali, kosong."

Nalia mendesah kecewa. "Aku baru bisa liburan kalau anak sekolah libur."

Padahal berlibur adalah sesuatu yang paling diperlukan Nalia saat ini. Demi membuat kepalanya lupa mengenai pernikahannya yang tidak jadi terlaksana dan pernyataan cinta Edvind yang terlalu tiba-tiba. Nalia pernah berpikir Edvind adalah kandidat yang tepat untuk menggantikan Astra. Sebab sama dengan Astra, Nalia yakin Edvind tidak akan jatuh cinta padanya. Sejarah pertemanan Edvind dengan para wanita panjang, dan tidak pernah satu kali pun Edvind jatuh cinta kepada salah satu di antara mereka. Semestinya Edvind adalah pilihan yang aman. Semestinya.

Selama ini Nalia tidak pernah berusaha menarik perhatian Edvind. Tidak pernah sengaja menunjukkan sisi-sisi baik dirinya, bahkan berdandan habis-habisan saat bersama Edvind pun Nalia tidak melakukan. Bagaimana Edvind bisa jatuh cinta padanya?

"Kayaknya memang bener Nalia punya pacar." Alesha kembali menyuarakan analisisnya. "Yang suka nggak nyambung diajak ngomong karena banyak melamun itu orang yang lagi jatuh cinta. Atau orang yang baru pacaran dan lagi anget-angetnya."

Nalia memutar bola mata. Tidak bisakah seorang wanita punya rahasia tanpa terus dipaksa untuk menceritakan? "Kalau kalian memang nggak ada kerjaan dan lagi pengin usil ngurusin orang lain, jawab pertanyaan ini. Aku mau dengar jawaban kalian satu per satu."

Edna tertawa sambil meraih gelas berisi jus jeruk di meja piknik di depannya. "Nggak enak jadi muridnya Nalia. Nganggur dikit dikasih kuis."

Renae dan Alesha mengeringkan rambut dengan handuk dan duduk di kursi kayu. Mereka berempat mengelilingi meja yang penuh dengan makanan.

Nalia mengabaikankomentar Edna. "Apa yang akan kamu lakukan kalau ada laki-laki menciummu, lalumengatakan dia mencintaimu dan ingin menikah denganmu?" 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top