TIGA BELAS

Kamu kangen Edvind nggak? Dia belum akan muncul hari ini :-(  Tapi, ada Mara! Kita semua kangen sama Mara kan? Jangan lupa baca kisah si kecil Mara dalam mencairkan laki-laki berhati batu--Alwin--di The Game of Love. Kalau kamu menyukai cerita ini mohon tinggalkan komentar+bintang untukku ya. Mungkin tampak tidak ada artinya untukmu, tapi bagiku itu sangat sangat berarti. Aku bahagia tiap membacanya dan merasa dekat denganmu.

Love, Vihara(IG/FB/Twitter ikavihara, whatsapp 0895603879876)

***

"Biru buat Dean. Kuning buat Jenna. Merah buat Mara. Hijau buat Faris." Mara membariskan empat krayon di meja di depannya. "Mau kasih warna mobil."

Di kelas tersisa Mara dan Jenna—keponakan Nalia—yang belum dijemput orangtuanya. Masing-masing orangtua mereka menghubungi sekolah dan meminta maaf karena terlambat. Gloria, istri Jari, masih di rumah sakit memeriksakan kandungan. Dokternya datang terlambar. Sedangkan Alwin, ayah Mara, belum bisa keluar dari kemacetan akibat kecelakaan. Nalia menyediakan empat lembar kertas seukuran kartu pos bergambar mobil—seperti yang diminta Mara—untuk diwarnai. Untuk mengisi waktu sampai orangtua Mara tiba. Sedangkan Jenna sejak tadi duduk sambil menggerakkan mobil-mobilan di atas meja.

"Mobil buat Faris!" seru Mara.

Nalia, yang mengawasi mereka sambil beres-beres, terkejut melihat Jenna mengambil krayon berwarna hijau dan mengulurkan kepada Mara. Mara menerima tanpa mengatakan apa-apa—seolah setiap hari Jenna bekerja sama dengannya—lalu menunduk dan mewarnai sebuah mobil dengan penuh konsentrasi. Wajah manisnya serius sekali. Hanya Mara satu-satunya anak di kelas ini yang bisa mewarnai gambar tanpa melewati garis.

"Buat Jenna!" Mara kembali berseru.

Nalia menghentikan kegiatannya merapikan buku-buku bergambar di rak ketika Jenna kembali mengambil krayon dengan warna yang tepat. Dua atau tiga cara sudah dicoba dan Nalia belum berhasil membuat Jenna menunjuk benda dengan warna yang disebutkan Nalia. Tetapi lihat sekarang! Dengan mudah Mara menunjukkan kepada Nalia bahwa Jenna mengerti konsep warna. Hanya saja Nalia dan Jenna belum punya cara komunikasi yang tepat. Cepat-cepat Nalia mengambil buku penghubung orangtua dan guru untuk mencatat perkembangan Jenna dan Mara hari ini. Masing-masing dari mereka mendapatkan satu stiker bintang tersenyum.

Tadi Nalia menuliskan kata 'tertunda' pada kolom tujuan pembelajaran di buku milik Jenna. Tertunda karena guru belum menemukan cara belajar yang cocok untuk Jenna. Kata gagal tidak ada dalam kamus Nalia. Tertunda selalu terdengar lebih optimis. Sangat positif. Kereta yang tertunda keberangkatannya nanti akan berangkat dan sampai di tujuan. Pertemuan yang tertunda nanti akan terlaksana. Anak yang belum memahami pelajaran hari ini, besok akan mengerti.

"Papa!" Mara berteriak melihat ayahnya muncul di ambang pintu. "Mara belum selesai!"

"Bawa pulang kertasnya, Mara. Mara bisa selesaikan di rumah." Nalia mendekati Mara.

"Buat Jenna." Mara meletakkan gambar mobil yang sudah diwarnai kuning di depan Jenna. Di kelas ini, hanya Mara juga yang ingat Jenna tidak suka disentuh. "Dadah, Jenna."

Nalia menyerahkan buku penghubung kepada Alwin. Setelah bersalaman dan mencium tangan Nalia, Mara berjalan meninggalkan kelas digandeng ayahnya. Dari dalam kelas masih bisa terdengar Mara menceritakan apa saja yang mereka lakukan di sekolah hari ini kepada ayahnya. Begitu suara Mara menghilang, Jari—kakak Nalia—masuk ke kelas.

"Jenna dijemput Papa." Nalia menyongsong kakaknya. "Gloria ke mana?"

"Papa," kata Jenna tanpa intonasi. Tanpa antusiasme. Tanpa memandang wajah ayanhnya.

"Mama tidak bisa menjemput, Sayang." Jari tersenyum dan menatap Jenna penuh cinta. Ketika orangtuanya mengatakan sayang atau cinta, Jenna bisa membalas. Hanya saja kalimat Jenna terasa kosong dan tanpa kehangatan, seperti diucapkan oleh robot. Jenna hanya menghafal, tidak mengeluarkan dari hati. Namun, Jari dan Gloria tidak pernah mempermasalahkan. "Sorry agak lama, Nalia, Gloria merasa kurang sehat, mau langsung pulang dari rumah sakit."

"Nggak masalah. Mara juga baru dijemput kok. Oh, Jari, apa kamu tahu Mara dan Jenna tadi ngapain?" Dengan mata berkaca-kaca Nalia menceritakan kejadian luar biasa tadi.

"Anak-anak beruntung punya guru sepertimu, Nalia. Aku dan Gloria sangat berterima kasih padamu. Kalau Jenna bisa menyampaikan, pasti dia akan berterima kasih juga." Jari menyentuh lengan adiknya, lalu memandang Jenna penuh penghargaan.

Bukan. Nalia yang beruntung memiliki murid-murid yang luar biasa. Mereka mengajari Nalia satu pelajaran penting; untuk hidup bahagia seseorang tidak harus memenuhi kriteria sempurna sesuai standard yang berlaku di masyarakat. Tetapi mereka boleh menentukan seperti apa sempurna dalam kamus hidup mereka. Mereka boleh membuat standard sendiri.

"Sampai besok, Jenna," kata Nalia sebelum Jari dan Jenna meninggalkan kelas.

Tidak jarang suami dan istri bercerai setelah melahirkan anak autis. Jika hal tersebut terjadi, biasanya ibulah yang membesarkan sang anak. Membesarkan anak bukan tugas yang mudah dilakukan oleh orangtua lengkap. Mau anak tersebut genius atau autis. Sedangkan membesarkan anak seorang diri? Dalam pikiran Nalia ibarat berjalan mundur di atas seutas tali tambang dengan mengenakan sepatu berhak dua puluh centimeter. Sepatunya kebesaran pula. Seperti itu susahnya. Hebat sekali para orangtua tunggal yang bisa mengerjakan tugas dua orang dengan baik. Gloria pernah melakukannya, selama setahun. Ketika Jari meninggalkannya.

Setelah kelas kosong. Nalia meneliti seisi ruangan. Memeriksa apa yang perlu dikurangi dan ditambahkan. Tidak hanya mengandalkan suara, Nalia juga menggunakan berbagai macam alat peraga untuk mengajar. Poster, mainan, video dan lain-lain.

Poster mengenai warna harus dilepas dan diganti. Anak-anak sudah paham. Besok para siswa akan belajar menamai perasaan. Sedih, gembira, takut, dan lain-lain. Ada banyak cara untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Poster dengan gambar yang menarik, sejauh ini, merupakan salah satu media yang efektif. Yang tidak cocok belajar dengan gambar, Nalia sudah menyiapkan lagu. Seperti yang diyakini Nalia, tiap anak memiliki cara belajar sendiri. Ada anak yang lebih bisa memahami penjelasan melalui gambar, ada yang dengan suara, dan sebagainya.

Kelas ini adalah satu-satunya kelas bebas gangguan. Baik gangguan suara maupun visual. Gangguan suara seperti dengungan mesin AC, kursi yang bergesekan dengan lantai, suara dari luar kelas, dan suara-suara lain yang tidak perlu, semua diredam. Atau, kalau bisa, dihilangkan. Sama halnya dengan visual. Pada layar LCD tidak dipasang screensaver yang bergerak dan tempat duduk siswa diatur supaya tidak menghadap lapangan olahara atau lapangan bermain—kelas lain yang sedang melakukan aktivitas di sana bisa menjadi pengganggu konsentrasi.

Semua orang yang berada di lingkungan sekolah—mulai dari kepala sekolah hingga petugas kebersihan—mendapatkan pemaparan dari Nalia. Mereka harus memahami keberadaan mereka bisa menjadi salah satu gangguan belajar. Misalnya jika mereka bicara dengan suara keras di dekat ruang kelas.

Nalia tidak mengenakan jam tangan dan perhiasan, tidak mewarnai kuku, dan tidak memakai baju dengan wana mencolok sebab bisa jadi siswa menganggap hal-hal tersebut menarik dan perhatiannya tertuju ke sana. Bukan pada pelajaran yang disampaikan.

Sambil menanamkan optimisme di dalam dirinya—bahwa suatu hari nanti akan tercipta kelas-kelas yang dibangun bukan untuk satu ragam syaraf saja—Nalia memeriksa ponselnya dan melihat nama Astra di sana. Nalia tahu Astra terbang ke Indonesia kemarin. Akhir pekan nanti Nalia berencana bicara dengan Astra. Baru saja Nalia berniat menghubungi Astra, Astra sudah lebih dulu mengirim pesan. Mengatakan ada suatu hal penting yang ingin dibahas dengan Nalia. Semoga bukan tanggal pernikahan yang akan dibicarakan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top