SEPULUH
Antusiasmemu dalam membaca cerita ini bisa menjadi acuan bagi teman-teman kita yang lain untuk ikut membaca juga. Aku sangat berterima kasih kepadamu yang tidak pernah lupa untuk memberiku hadiah kecil namun berarti besar itu. Kalau kamu belum pernah melakukannya, masih belum terlambat buat mengulangi dari part pertama :-) Jangan lupa untuk membaca The Game of Love dan A Wedding Come True, cerita-cerita sepupu Edvind yang nggak kalah manisssssss.
***
"Kenapa aku harus penasaran? Aku nggak peduli kamu berkencan dengan siapa."
"Oke." Edvind membuka mulutnya lebar-lebar, berusaha memasukkan seluruh es krim ke dalamnya. "Aku cuma memberi informasi. Siapa tahu kamu perlu."
Nalia tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat dan berkonsentrasi menikmati gelato rasa buah naga. Hampir setiap minggu Nalia ke sini dan selalu ada rasa baru. "Kenapa seorang anak di sana tadi bilang nggak ada biaya untuk sekolah? Padahal orangtuanya punya motor bagus? Kalau untuk bayar cicilan motor saja bisa, bayar keperluan sekolah semestinya lebih dari mampu."
"Motor itu buat dibawa pulang setiap lebaran. Supaya orang di kampung halaman berpikir mereka sukses hidup di kota. Susah diterima akal sehat memang. Kenapa demi pencitraan mereka sampai rela mengorbankan masa depan anak. Anak tidak diberi makan yang cukup, tidak boleh sekolah. Bahkan saat sakit pun tidak ada biaya berobat. Sebagian besar uang dialokasikan untuk membayar cicilan motor." Orang tidak akan menyangka ada motor sport bagus atau bebek automatic keluaran terbaru terparkir di dalam rumah kumuh tidak permanen di TPA.
"Walaupun mereka miskin, mereka tetap manusia seperti kita semua. How many of us don't like being impressive? Kita senang kalau orang lain terkesan dengan mobil baru kita, penampilan kita, pekerjaan kita. Di antara teman-teman kerjaku, aku tahu ada beberapa ... yang menjadi dokter ... only to impress other people. Orang di kampung halaman," lanjut Edvind.
"Dan kamu memilih punya banyak pacar untuk membuat orang lain terkesan?"
"Aku senang berteman dengan mereka dan sebaliknya. Tapi aku tidak pernah punya banyak pacar. Aku tidak pernah mengencani lebih dari satu wanita pada saat bersamaan. Kalau belum selesai dengan yang satu, aku tidak mendekati yang lain."
"Berapa lama biasanya kamu berkencan dengan mereka? Sehari? Dua hari?"
"Dengar, Nalia. Aku tidak peduli dengan orang-orang yang terlanjur, atau yang masih, menganggapku playboy, berengsek, atau apa pun nama yang mereka berikan. Tapi padamu, hanya padamu, aku pernah mengatakan aku berusaha berubah. Aku sudah memulai langkah pertama. Aku mendatangi psikiater. Karena aku perlu bantuan untuk mengindentifikasi masalah yang kuhadapi. Setelah aku tahu apa yang terjadi di keluargaku di masa lalu adalah faktor besar yang menyebabkan aku melakukan itu, aku bisa menyembuhkan diri."
"Apa kamu melewati masa kecil yang sulit?"
"Itu bukan topik yang kubicarakan saat kencan pertama. Kurasa kamu harus berkencan denganku selama dua atau tiga bulan, sebelum aku memercayakan rahasiaku yang paling kelam."
"Ini bukan kencan!" Demi apa pun di dunia, kenapa mampir ke kedai es krim, yang searah dengan jalan menuju tempat tinggal Nalia, dianggap kencan oleh laki-laki di depan Nalia ini?
"Kita duduk berdua, mengobrol, saling mempelajari apa yang disukai dan tidak disukai, bagiku itu namanya kencan. Dan bukan aku yang mengajak, tapi kamu. Kalau tunanganmu melihat kita dan dia marah, aku tidak mau disalahkan."
"Kita minum es krim untuk mendinginkan kerongkongan, Edvind. Jangan berlebihan!"
"Tapi aku tetap tidak akan membicarakan masa kecilku." Kecuali dengan psikiater.
"Kita bisa membandingkan mana yang lebih buruk. Masa kecilku atau masa kecilmu. Kamu duluan. Karena sudah terlanjur mulai tadi."
"Kita tukar cerita?" Baiklah. Kalau ini harga yang harus dibayar demi bisa menghabiskan waktu lebih lama bersama Nalia dan mengetahui sesuatu—walau sedikit—tentang Nalia, Edvind akan melakukan. Sebelum bicara, Edvind menghabiskan sisa ice cream cone-nya kemudian memimun salah satu air mineral di meja.
Setelah Nalia mengangguk, Edvind bicara. "Ayahku berubah setelah adikku, Garvin, lahir. Sejak dibawa pulang ke rumah, seingatku Garvin memang sangat sering menangis. Ayahku marah-marah setiap Garvin menangis. Juga Garvin sakit-sakitan. Jadi Mama menghabiskan banyak waktu bersama Garvin. Mama baru jadi dokter saat itu, jadi karier dan Garvin sangat menyita waktunya. Ayahku orang yang egois, tidak suka berbagi perhatian. Bahkan dengan anaknya sendiri.
"Hampir setiap hari dia menyalahkan Mama. Dia bilang gara-gara Mama melahirkan Garvin, Mama membuat Papa tidak bahagia. Mama jadi tidak ada waktu untuknya. Dia bicara kasar dan berteriak-teriak pada Mama. Mereka bertengkar tiap hari. Mama menangis tiap Papa pergi dan tidak pulang. Aku pernah melihat Papa melempar gelas kepada Mama. Saat aku umur sepuluh tahun, akhirnya mereka bercerai. Ayahku pindah kerja ke Singapura. Lalu Mama kenal dengan Adam. Ayah tiriku.
"Dua bulan kemudian Mama dan Adam menikah, kami pindah ke rumah Adam. Aku harus pindah sekolah, yang dekat dengan rumah, harus cari teman baru, menyesuaikan dengan lingkungan baru. Semua perubahan dalam hidupku ... aku tidak bisa memprosesnya dengan baik. Aku anak baru dan malas berteman. Guru tidak menyukaiku karena aku lambat belajar. Mama sibuk dengan suami barunya, tidak lama kemudian hamil bayi kembar, dan semakin tidak ada perhatian untukku.
"Psikiater menyimpulkan aku suka menghabiskan waktu dengan banyak wanita karena sejak kecil aku kekurangan perhatian wanita. Perhatian ibuku. Setelah punya adik aku tidak pernah merasa spesial. Aku berusaha menarik perhatian ibuku dengan berbagai cara, dapat nilai bagus, nakal, macam-macam, tapi ibuku tetap sibuk dengan Garvin. Lalu ada Adam, lalu anak mereka.
"Waktu remaja dan dewasa, dianggap hebat oleh wanita, menjadi pusat perhatian wanita, membuatku merasa lebih baik. Aku tidak lagi memikirkan perhatian yang tidak kudapat dari ibuku, karena di luar sana, teman-teman wanitaku siap menghujaniku dengan perhatian. Aku tidak perlu banyak berusaha, tidak perlu bersaing, bahkan tidak perlu membalas perhatian itu.
"Beberapa waktu lalu, aku mulai sadar aku tidak bisa terus hidup seperti itu. Aku semakin tua. Aku harus menemukan satu wanita yang mencintaiku dan aku mencintainya, lalu kami berkeluarga, kami saling memberikan perhatian dan kasih sayang, dan tidak mengulang kesalahan yang sama yang dilakukan kedua orangtua kandungku."
"Ah, jadi kamu sekarang playboy tobat?"
"Aku sedang berusaha menjadi orang yang lebih baik. Nanti kalau aku sudah jadi Edvind versi itu, aku berharap ada wanita yang bisa memaafkan masa laluku dan mau membangun masa depan bersamaku. So, aku sudah cerita. Apa ceritamu?"
"Aku lupa." Nalia mengangkat bahu.
"Lupa?!" Setelah Edvind susah-payah menceritakan apa yang dia alami semasa kecil dulu dan bagaimana dampak buruknya, yang tidak pernah dia ceritakan kepada siapa pun selain psikiater, sekarang Nalia tidak mau memenuhi janjinya untuk balas bercerita dan hanya mengatakan lupa? Benar-benar tidak bisa dipercaya.
"Lupa! Nggak ingat!" Nalia menukas dengan kesal. Apa Edvind tidak pernah mendengar kata tersebut sebelum ini?
"Aku tahu lupa itu apa, Nalia," sergah Edvind. "But you promised. Kalau tahu tahu kamu akan curang begini, aku tidak akan cerita tadi."
"Apa yang mau diceritakan? Memang aku nggak bisa mengingatnya. Ada beberapa hal yang bisa kuingat dari masa kecilku, tapi setiap aku berusaha mengingat apa yang terjadi pada hari itu, aku nggak bisa." Nalia berhenti sejenak. "Aku hanya tahu ibuku meninggal lalu ayahku pergi."
"Pergi? Menelantarkanmu maksudmu? Jadi kamu tidak punya orangtua lagi?"
Nalia menggeleng. "Oma membesarkanku."
"Kamu tidak tahu di mana ayahmu berada?"
"Aku tahu." Nalia tertawa getir. "Dia sering muncul di TV. Politisi yang katanya berpihak pada rakyat kecil. Anggota dewan. Punya istri lagi. Punya anak-anak lagi. Aku dan kakakku pernah berusaha menemuinya. Tapi sekretarisnya nggak mengizinkan. Macam-macam alasannya. Saat dia sakit, kami mencoba menjenguknya di rumah sakit. Kami tetap nggak diperbolehkan menemuinya. Katanya hanya keluarga yang bisa menjenguk. Dan kami bukan keluarganya."
"Jadi kamu tidak berhubungan sama sekali dengannya? Hubunganku dan ayahku memang tidak terlalu baik. Tetapi setahun sekali kami ketemu."
"Setiap bulan dia mengirim uang untuk biaya hidupku dan Jari, kakakku. Selebihnya kami nggak pernah bicara dengan Papa. Dia ... membenciku."
"Membencimu?" Bagaimana bisa ada orangtua yang membenci anaknya sendiri?
"Dia nggak pernahbilang, tapi dalam hati aku tahu dia membenciku. Sejak kecil aku seringbermimpi dan mendengar ayahku bilang aku membunuh ibu kandungku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top