SEMBILAN

Hell, bahkan tidak bersama Nalia juga Edvind tidak fokus mengerjakan apa pun. Sibuk bertanya apa Nalia juga memikirkannya. Kemudian Edvind akan mengumpat panjang karena sadar wanita yang akan menikah pasti tidak memikirkan laki-laki selain calon suaminya.

"Kak Nali!"

Nalia beringsut menjauh dari Edvind.

Edvind mengamati gambar yang sedang dibuatnya. Sebuah rumah. Rumah masa kecilnya dulu, yang penuh dengan kenangan buruk. Saat dia masih tinggal di sana bersama ibu dan ayah kandungnya. Pada waktu kecil dan remaja, Edvind merasa dirinya tidak cukup baik untuk disayangi, untuk diperhatikan, jika dibandingkan dengan anak-anak lain. Tidak pintar, tidak bisa main sepak bola, tidak tahu seni, tidak pandai mencari teman, dan tidak tampan. Jangankan bicara dengan anak perempuan, memandang dari jauh saja Edvind tidak berani.

Namun semua berubah saat Edvind masuk SMA. Jerawat hilang dari wajahnya. Berat dan tinggi badannya bertambah dengan cepat. Guru olahraga menawarinya bergabung dengan tim basket sekolah, walau kemampuan Edvind tidak terlalu istimewa. Karena tidak ingin terlihat payah, Edvind berlatih setiap hari di rumah. Adam mengajarinya, juga memasang ring basket dan menggambari lantai di depan garasi. Menandai titik free throw dan lingkaran three point. Begitu tim sekolah mereka masuk final pertandingan basket antar-SMA seprovinsi dan Edvind mencetak lebih dua puluh poin setiap dimainkan, mendadak semua anak perempuan di sekolah menyadari keberadaan Edvind. Mereka mengidolakan Edvind. Kepopulerannya terus meningkat. Dan Edvind menikmati keberuntungannya. Lambat-laun Edvind mulai pandai bicara dengan orang lain, termasuk anak perempuan.

Di kampus, Edvind juga menjadi bintang. Tahun pertama, Edvind masuk unit kegiatan mahasiswa bola basket. Banyak mahasiswa perempuan menyebutnya tampan. Sudah begitu, Edvind kuliah kedokteran. Semakin mereka terpukau, karena tidak hanya tampan, Edvind juga cerdas dan bermasa depan cerah. Edvind bergaul dengan kelompok orang yang menganggap diri mereka keren. Ke kampus, Edvind mengendarai mobil bagus atau motor sport. Adam yang membelikan dan meminta Edvind dan Garvin bergantian memakainya.

Kombinasi tersebut tidak bisa ditolak oleh wanita mana pun. Mereka bangga jika bisa berangkat dan pulang kampus bersama Edvind, jika bisa duduk semeja dengan Edvind di kafetaria, dan bangga mengakui mereka dekat dengan Edvind. Mahasiswa wanita berebut menjadi pacar Edvind. Sedangkan yang laki-laki ingin berada di lingkaran yang sama dengan Edvind, supaya terciprat rezeki diperhatikan wanita.

Banyak orang menyukaiku. Ingin mendapatkan waktuku. Menarik perhatianku. Aku hebat. Aku istimewa. Itu yang dirasakan Edvind dulu. Edvind sangat menyukai semua perhatian yang dia terima. Edvind tidak perlu berusaha keras untuk punya pacar. Edvind hanya tinggal menjentikkan jari dan wanita mana pun akan menjadi miliknya. Setelah bosan, Edvind berpindah ke target selanjutnya. Begitu terus sampai Laura menyumpahi Edvin. Baiklah. Malam nanti Edvind akan menelepon Laura dan meminta Laura berhenti berdoa. Karena doa Laura sudah terkabul. Edvind  jatuh cinta dengan Nalia tapi Nalia punya calon suami.

***

Edvind mendorong pintu kaca di depannya kemudian memberi kesempatan kepada Nalia untuk masuk terlebih dahulu. Saat hendak meninggalkan kampung di tempat pembuangan sampah tadi, Nalia ditolak terus oleh pengemudi taksi online. Your loss, my gain. Siapa yang menyangka hari ini adalah hari keberuntungan Edvind. Sudah lama Edvind menunggu kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu bersama Nalia, berdua saja? Tanpa ada anak-anak yang berusaha menarik perhatian Nalia? Terlalu lama. Baru pada minggu kedelapan, Edvind mendapatkan kesempatan lagi. Karena tidak dapat taksi, mau tidak mau Nalia menerima ajakan Edvind untuk pulang bersama.

"Aku ke toilet dulu," kata Nalia.

Edvind memutuskan untuk memesan gelato nanti saja dan duduk menunggu Nalia di kursi di samping jendela. Tidak pernah sekali pun pada masa dewasanya Edvind berkencan di kedai es krim. Ini terlalu cute. Teman kencan Edvind lebih memilih minum kopi di salah satu gerai kopi jaringan internasional. Itu juga saat duduk lebih banyak mereka sibuk dengan ponsel masing-masing. Bukan mengobrol. Karena Laura dan yang lain tidak punya banyak pengetahuan dan tidak punya pendapat untuk disampaikan. Berbeda jauh dengan Nalia.

"Edvind!" Seorang wanita yang tengah menggandeng anak perempuan mendekati tempat duduk Edvind. Setelah wanita itu berbisik, gadis kecil berbaju kuning mengangguk dan berlari menuju konter pemesanan.

Edvind berusaha menggali ingatannya. Mencari tahu siapa nama wanita ini. Fiona? Maria? Siapa? Walaupun tidak bisa mengingat namanya, tapi Edvind tahu dulu mereka pernah berteman dekat. Agak lama, sekitar dua minggu. Kalau tidak salah wanita ini bekerja sebagai pramugari. Tidak ada drama sama sekali ketika Edvind mengakhiri hubungan. Sebab wanita tersebut, pada waktu bersamaan, mengaku telah berkenalan dengan laki-laki lain. Yang jauh lebih kaya dan lebih tua daripada Edvind. Tidak jelas apakah dia mengatakan itu untuk menyelamatkan harga dirinya atau untuk membuat Edvind tampak buruk.

"Hei." Edvind tersenyum, merasa bersalah karena tidak juga ingat namanya.

"Nomor HP-mu ganti, Ed? Aku menghubungi kamu beberapa kali nggak bisa masuk."

Karena Edvind sudah mengeblok nomornya. "Iya, sibuk di rumah sakit, jadi sering mati."

"Aku base di sini sekarang. Kapan-kapan kita harus jalan lagi kalau aku nggak terbang dan kamu nggak ada shift di rumah sakit. Aku kangen banget sama kamu." Tanpa meminta izin terlebih dahulu, wanita yang belum bisa diingat namanya oleh Edvind itu duduk di depan Edvind.

Sebelum Edvind menjawab, Nalia keluar dari pintu di samping konter dan melempar pandangan tidak suka kepada Edvind. Atau jijik.

Nalia berjalan menuju konter dan melihat isi kulkas.

Edvind mendorong mundur kursinya. "Sorry, I'll pass. Aku sudah bersama orang lain."

"Dia? Sampai kapan? Masih baru? Seminggu lagi? Atau hari ini hari terakhir?" Tatapan wanita tersebut mengikuti ke mana mata Edvind bergerak. Jatuh pada punggung Nalia yang tengah berdiri bersisian dengan anak perempuan yang tadi datang bersamanya.

"Calon istri." Dalam mimpiku. "Apa pun yang terjadi di antara kita di masa lalu, tidak akan bisa diulangi lagi. Atau dilanjutkan."

Gonta-ganti pacar itu satu hal. Tetapi punya pacar saat sudah punya calon istri, hanya orang tidak berotak yang melakukannya. Jika seseorang sudah menjanjikan kesetiaan, maka dia tidak boleh menyalahi. Namun jika tidak punya cukup keteguhan hati, tidak usah menikah sama sekali. Edvind tertawa dalam hati. Sejak kapan Edvind menjadi orang yang suka berangan di siang bolong begini? Berandai-andai Nalia adalah istrinya. Calon istrinya. Berjanji setia padanya. Dream only works when you do. Semua orang tahu itu. Tetapi apa yang bisa dilakukan, kalau seseorang yang dimimpikan sudah menjadi milik orang lain?

Dengan mulut ternganga wanita tersebut mengambil ponsel dan jarinya bergerak cepat di atasnya. Edvind meninggalkannya dan mendekati Nalia. Mungkin benar kata Alesha dulu. Para wanita yang pernah berkencan dengan Edvind membentuk asosiasi. Di sana mereka berkomunikasi secara rutin. Baik untuk menyumpahi Edvind atau mencari tahu—bahkan menyerang—target Edvind selanjutnya. Mungkin saja wanita itu sekarang sedang mengirim pesan darurat kepada anggota yang lain. Benar atau tidak, Edvind tidak tahu. Tetapi satu yang pasti, Edvind akan melindungi Nalia. Privasi dan keselamatan Nalia.

"Rasa cokelat, dua scoop." Edvind memberi tahu gadis muda di balik konter.

"Cokelat?" Cela Nalia. "Orang yang suka es krim cokelat adalah orang yang suka main aman, nggak berani mengambil risiko." Kepribadian seseorang bisa dilihat dari rasa es krim yang sering dipilih. Karena cokelat sudah ada sejak zaman dulu kala dan orang sudah familier dengan rasanya, maka suka bermain aman dan tidak mau mengambil risiko adalah kepribadian yang terbaca.

"Salah. Pecinta cokelat adalah orang yang menawan, manis, dan pandai menggoda."

"Manis?" Nalia mendengus keras.

Setelah menerima dua scoop besar gelato rasa mangga dan buah naga, Nalia berjalan menuju tempat duduk di teras kedai. Dalam perjalanan dari kampung tadi Nalia setuju Edvind membayar makanan penutup ini, setelah Nalia mentraktir Edvind dan semua anak makan siang. Makan ayam goreng cepat saji yang membuat anak-anak gembira.

"Old business." Edvind menyusul, meletakkan dua botol air mineral di meja, lalu duduk di depan Nalia.

"Huh?" Nalia mengangkat kepada dari es krim besar di tangannya.

"Kalau kamu penasaran siapa yang menyapaku tadi. Dia dari masa lalu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top