SEBELAS

Aku mengalami masalah dengan bab ini yang kuunggah pada hari Rabu. Saat aku berniat membetulkan typo, lalu membaca komentar, aku terus mendapatkan pop up pesan bahwa bagian ini tidak bisa dibuka. Jadi aku uggah sebagai bab baru.

Semoga tulisanku berkontribusi membuat kita semua menjadi manusia yang lebih baik esok. Satu orang terhibur dan mendapat manfaat, jauh lebih berarti daripada 1000 orang hanya terhibur saja.

Love, vihara(FB/Twitter/IG ikavihara)

***

"Nalia ikut, Papa...." Isak Nalia sambil memeluk perut Papa. "Nalia nggak mau ditinggal. Nalia mau ikut Papa. Jangan tinggalkan Nalia, Papa. Nalia nggak berani sendirian di sini."

"Kamu tidak akan sendirian kalau kamu tidak membunuh ibumu!" Papa melepaskan tangan Nalia dari tubuhnya dan mundur dua langkah. "Kita semua kehilangan Mama, itu karena salahmu! Hukuman untukmu adalah hidup sendirian!"

"Papa!" teriak Nalia sambil berlari mengejar Papa. "Nalia ikut...."

"Diam di situ, Nalia! Papa tidak akan membawamu!" Suara keras Papa membuat Nalia menunduk ketakutan.

Papa tidak pernah marah kepada Nalia. Papa tidak pernah berteriak kepada Nalia. Papa tidak pernah membuat Nalia menangis. Nalia terisak-isak dan mendekap erat Ollie di dadanya.

"Papa ... Nalia sayang Papa...." Bisik Nalia tanpa menatap Papa.

"Kalau kamu sayang Papa, Nalia, kamu tidak akan membunuh Mama! Kamu tidak akan membuat kita semua menderita!" Papa berjalan dengan cepat menuruni tangga, meninggalkan Nalia yang semakin bercucuran air mata.

"Jangan pergi, Papa ... Jangan pergi ... Papa ... Jangan tinggalkan Nalia ... Nalia akan jadi anak yang baik ... Nalia nggak akan nakal ... Nalia akan menuruti semua kata Papa...." Ingin Nalia berteriak, supaya Papa dengar. Tetapi Nalia tidak tahu kenapa suaranya tidak keluar dan kakinya tidak bisa digerakkan. Nalia ingin mengejar Papa. Nalia ingin mencium kaki Papa, mengiba supaya Papa tidak meninggalkannya sendirian di sini.

Papa! Jerit Nalia ketika bisa mengeluarkan suaranya. Namun sosok Papa sudah lebih dulu menghilang sebelum Nalia sempat mencegahnya. Tubuh Nalia terguncang-guncang hebat. Mana Papa?! Ke mana Papa pergi?! Papa?! Tunggu Nalia, Papa! Nalia ikut Papa! Jangan tinggalkan Nalia, Papa! Nalia—

"Nalia, bangun, Sayang!"

Mata Nalia tidak mau terbuka. Ada yang memanggil namanya. Tetapi bukan Papa. Juga Mama. Ke mana Mama dan Papa pergi? Kenapa mereka meninggalkan Nalia sendirian di sini. Papa! Papa! Nalia ikut, Papa!

"Nalia! Bangun!" Guncangan itu terasa semakin kuat. "Oma di sini, Sayang...."

"O ... ma...?" Nalia terduduk. "Oh!" Kemudian tersadar dia ada di mana. Delapan belas tahun sudah berlalu sejak hari itu. Masa kanak-kanaknya sudah tertinggal di belakang. Tetapi kenapa mimpi buruk itu tidak pernah mau menghilang? "Maaf ... aku ... bangunin Oma."

"Oma habis ke kamar mandi tadi." Oma—wanita hebat yang telah membesarkan seorang anak, kemudian membesarkan anak-anak dari anaknya—tersenyum menenangkan dan mengelus kepala Nalia. "Minum dulu, Sayang." Setiap malam sebelum tidur, Nalia selalu membawa gelas berisi air putih ke kamar. "Pikirkan hal-hal yang menyenangkan. Oma menandai, kamu mengigau memanggil ayahmu kalau kamu sedang stres, sedang tertekan. Apa ini karena Astra? Karena kamu tidak ingin menikah dengannya?"

Nalia mengangguk pelan. Meski tidak yakin apakah itu penyebabnya. Bisa jadi karena sebelum tidur Nalia berandai-andai hidupnya berbeda. Kalau saja dia masih punya dua orangtua. Seandainya ayahnya tidak membencinya dan tidak meninggalkannya.

"Nalia, Oma memang ingin, sebelum Oma meninggalkan dunia ini—

"Oma, jangan bilang gitu, Nalia nggak suka. Oma masih sehat." Nalia memotong. Setelah kehilangan kedua orangtua, Nalia tidak ingin kehilangan Oma. Tidak bisa kehilangan Oma. Akan seperti apa hidupnya kalau dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini?

"Nalia, tidak ada manusia yang hidup selamanya. Teman-teman Oma sudah banyak yang tidak ada. Kamu harus ingat ini, Nalia. Oma memang ingin kamu menikah, karena Oma tidak ingin kamu sendirian waktu Oma pergi nanti. Seperti kakakmu yang punya Gloria. Walau begitu, Oma berharap kamu menikah dengan seseorang yang kamu inginkan. Yang kamu cintai. Yang bisa melengkapimu. Memahamimu. Menerima apa adanya dirimu. Bukan sembarang orang.

"Sekarang, Oma akan merevisi keinginan Oma. Oma bukan ingin melihat cucu kesayangan Oma menikah, tapi Oma ingin melihat Nalia jatuh cinta. Setelah Astra kembali ke Indonesia, segera sampaikan padanya. Akhiri pertunangan kalian. Supaya kamu tidak terus-terusan tertekan seperti ini. Supaya kamu bisa segera menyiapkan hati untuk dokter itu. Apa ... malah sudah siap?"

"Oma...." Nalia merengek seperti saat masih kecil dulu. "Dia bukan siapa-siapa."

"Kamu ingat nasihat Oma, Nalia? Kamu tidak akan bisa menemukan kebahagiaan dalam pernikahan. Kamu harus memiliki kebahagian di dalam dirimu dulu baru kemudian membaginya dengan orang lain. Bisa lewat pernikahan. Bisa lewat persahabatan. Sejak awal Oma berpikir kamu dan Astra tidak ditakdirkan menjadi lebih dari sekadar sahabat." Oma menepuk lengan Nalia dan tersenyum sekali lagi. "Kalau dokter itu tidak spesial, kenapa kamu sangat senang dan bersemangat setiap kali kamu mau bertemu dengannya? Oma juga pernah muda, Nalia. Dan Oma juga pernah melihat anak Oma ... ibumu ... jatuh cinta kepada ayahmu."

Setelah Oma keluar kamar, Nalia menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur. Pernikahan kedua orangtua Nalia dipenuhi cinta dan kebahagiaan. Dua atau tiga kali Nalia melihat kedua orangtuanya—yang mengira anak-anak sudah tidur—berciuman di ruang tengah. Sesekali Nalia melihat Mama tertawa bahagia, duduk di pangkuan Papa. Nalia mengambil bingkai foto dari meja di samping tempat tidurnya. Foto Nalia bersama Papa. Diambil pada ulang tahun Nalia yang kesepuluh. Papa berdiri di belakang Nalia yang memakai topi pesta. Tangan Papa memegang bahu Nalia. Bibir Nalia mengerucut, siap meniup lilin di atas kue ulang tahun di depannya. Senyum lebar menghiasi wajah Papa. Sejak dulu Nalia selalu berpikir Papa adalah laki-laki paling tampan di dunia. Seperti para pangeran di buku dongeng kesukaan Nalia.

Sebagai hadiah ulang tahun, Papa mengajak Nalia ke Disney World. Bersama Mama dan Jari, kakak laki-laki Nalia. Hidup Nalia sempurna sekali saat itu. Mereka semua bergembira. Mereka semua bahagia. Tidak ada yang menyangka satu bulan kemudian maut mencerai-beraikan keluarga Nalia. Tepat tiga puluh hari setelah hari istimewa itu, Nalia meringkuk di atas tempat tidur, memeluk Ollie—boneka panda kesayangannya—dan memejamkan mata erat-erat. Berusaha menghilangkan suara-suara orang mengaji di lantai satu. Sesekali dengan punggung tangannya, Nalia menghapus air mata yang tidak berhenti mengalir di pipinya. Perutnya berbunyi. Tetapi Nalia tidak berani minta makan. Tidak ada Mama. Kepada siapa Nalia bilang Nalia lapar?

Sejak siang Nalia diam di dalam kamar dan tidak ada satu pun orang yang mencarinya. Rumahnya ramai sekali sehingga Nalia takut keluar. Hanya Jari yang masuk ke kamar Nalia, kemudian mengajak Nalia mengikuti prosesi pemakaman Mama. Teringat ibunya sudah dikubur dan tidak lagi di sini bersamanya, Nalia kembali menangis terisak-isak. Sampai kepalanya pening dan hidungnya tidak bisa dipakai bernapas.

"Mama meninggal, Nalia," kata Jari waktu itu. Mata Jari merah dan suaranya serak, bekas menangis. "Kamu tahu meninggal itu apa, kan? Kita nggak akan bisa ketemu Mama lagi. Mama harus dibawa ke pemakaman. Mama akan dikuburkan di sana."

Hari itu adalah kali pertama Nalia melihat Jari menangis. Benar-benar menangis meraung-raung seperti bayi. Kepada Nalia, Jari selalu mengatakan anak laki-laki kuat dan tidak cengeng. Melihat kakaknya melolong tersiksa, Nalia tidak tahu harus melakukan apa. Selain ikut menangis. Umur Jari empat belas tahun ... bukan, Nalia mengerutkan kening. Tanggal 24, seminggu setelah hari itu, Jari akan berumur lima belas tahun. Pada waktu Mama meninggal, Nalia pergi bersama Mama untuk membeli hadiah ulang tahun. Nalia ingin pergi ke tempat di mana orang bisa menulis apa saja yang Nalia katakan di atas sebuah kaus. Setelahnya, Nalia hanya ingat dirinya terbangun di rumah sakit. Begitu diperbolehkan pulang, Nalia dan Oma—yang menunggui Nalia—dijemput oleh sopir Papa.

Ke mana Papa? Kenapa Papa nggak di sini bersama Nalia?

***

Jika kamu menyukai cerita yang kutulis dan bisa dibaca gratis di sini, kamu bisa mendukungku dengan cara membeli salah satu bukuku. Harga mulai Rp 35.000. Atau membacanya di aplikasi perpustakaan nasional iPusnas--gratis.

Tersedia di: Toko buku kesayanganmu di seluruh Indonesia, Shopee/Tokopedia Ika Vihara, WhatsApp 0895603879876, Instagram ikavihara

E-book tersedia di Gramedia Digital--Rp 89.000 dan kamu bisa membaca buku sebanyak yang kamu mau--dan Google Playstore.

Atau WhatsApp aku di 0895603879876. Juga boleh message di Instagram (at)ikavihara.

Terima kasih kamu telah menjadi pembaca bermartabat dengan tidak membeli atau mengunduh buku/e-book bajakan. Sebab untuk riset dan banyak keperluan penulisan cerita, aku membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hanya dari hasil penjualan buku atau e-book original aku bisa menyediakan cerita lain yang bisa dibaca gratis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top