LIMA
Jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya. Aku senang mengobrol denganmu di kolom komentar :-) Semoga kamu memimpikan Edvind malam ini XD
***
Nalia memutar bola mata dan berjalan cepat menuju lift. Bukan dari Edna saja Nalia pernah mendengar nama Edvind. Salah satu teman SMA Nalia, yang juga junior Edvind di Fakultas Kedokteran, masih mengatakan Edvind adalah laki-laki yang tidak akan pernah bisa dia lupakan. Padahal banyak tahun sudah berlalu setelah ia pernah dekat sebentar dengan Edvind. Kedua pasang matanya berbinar setiap menceritakan hubungan sangat singkatnya dengan Edvind. Apa yang dilihat para wanita dari laki-laki ini? Selain penampilan fisik dan pekerjaan? Ah, tapi dua faktor itu saja—yang menjadi kriteria utama hampir setiap wanita dalam mencari pasangan—sudah membuat Edvind sempurna. Napas Edvind bau pun para wanita tetap akan mau menerima Edvind sebagai suami mereka.
Melihat postur tubuh Edvind, profesi yang tepat untuknya adalah pemain sepak bola. Atau perenang. Pemain basket juga bisa. Kaki dan lengannya panjang dan kuat. Ukuran tubuhnya membuat orang terintimidasi. Sudah begitu masih ditambah kepercayaan diri yang amat besar, yang menguar dari seluruh pori di badannya. Nalia bertaruh laki-laki di sampingnya ini tidak pernah takut menghadapi siapa pun.
Badan Edvind tinggi. Proporsional. Tidak kurus. Tidak juga kelebihan berat badan. Karena Nalia payah setiap kali disuruh membuat perkiraan, Nalia tidak bisa menebak berapa centimeter tinggi badan Edvind. Alesha yang tinggi saja puncak kepalanya hanya menyentuh pundak Edvind. Kedua kaki Edvind kukuh bagaikan pangkal pohon yang berusia ratusan tahun. Dada bidangnya menyempit di bagian pinggang dan pinggul. Tidak seperti Astra, yang mulai memelihara belut di perut, milik Edvind, dari kejauhan saja, bisa dipastikan masih keras.
Seandainya bentuk badan Edvind tidak cukup membuat Nalia—dan wanita mana pun terpukau—mereka harus melihat wajah Edvind. Semua orang yang akan membuat iklan dan memerlukan laki-laki dengan senyum menawan sebagai pemeran, pasti akan langsung menerima kalau Edvind melamar. Tulang-tulang rahangnya membentuk konstruksi wajah yang ... Nalia tidak tahu harus menyebutnya apa. Aristochratic? Bibirnya sensual. Hidungnya mengingatkan Nalia pada paruh elang. Warna bola matanya hitam, sehitam alisnya yang tidak kalah gagah. Rambut hitamnya pendek dan rapi. Suara Edvind pun melengkapi kesempurnaan sosoknya. Dalam. Ramah. Percaya diri. Penuh rasa ingin tahu. Mungkin dokter harus punya semua kualifikasi itu untuk keperluan berkomunikasi.
Saat menekan tomol lift, lengan Edvind, tanpa sengaja, menggesek bahu Nalia. Kehangatan menjalar dari titik yang bersentuhan dengan kulit Edvind ke sekujur tubuh Nalia. Ada satu waktu dalam hidup manusia di mana, tidak peduli seberapa cerdas dan logisnya mereka, otak dan akal sehat mereka berhenti berfungsi selama dua atau tiga detik. Beberapa detik yang teramat melelahkan, karena mereka bertemu pandang dengan seseorang yang membuat jantung mereka berdetak sangat cepat, melebihi kecepatan kuda yang sedang berusaha mencatatkan waktu terbaik dalam sebuah pacuan. Sampai mati orang akan selalu ingat dua detik paling berkesan dalam hidup mereka tersebut.
Saat Edvind tidak juga melepaskan pandangan, pada pertemuan pertama, hati Nalia luar biasa bahagia. Tidak tahu karena apa. Semenjak ibunya meninggal dan ayahnya minggat, Nalia tidak pernah merasa berbunga-bunga begitu. Tubuhnya bagai melayang. Obat terlarang paling mahal pun, Nalia bertaruh, tidak akan bisa membuat Nalia terbang tinggi seperti saat menyadari dirinya terpukau pada Edvind. Seumur hidup, sudah ratusan kali Nalia bertatapan dengan laki-laki tapi tidak pernah sekali pun Nalia takut mengedipkan mata, khawatir begitu matanya terbuka, laki-laki di depannya menghilang tanpa ada jejaknya.
Nalia tidak percaya pada cinta pandangan pertama. Koreksi, Nalia tidak percaya pada cinta. Mau pada pandangan pertama atau setelah sepuluh tahun bersama. Semalam suntuk, pasca-pertemuan-pertama dengan Edvind, Nalia tidak bisa memicingkan mata karena sibuk meyakinkan dirinya bahwa dia tidak mungkin jatuh cinta. Karena cinta dan Nalia adalah dua hal yang tidak akan pernah bisa disatukan. Laki-laki seperti Edvind—Nalia yakin Edvind juga merasakan getaran yang sama kemarin—tidak akan diam di tempat tanpa memperjuangkan perasaannya. Kalau itu sampai terjadi, bahaya. Sangat berbahaya. Nalia tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatkan hatinya. Untung saja, sampai sekarang Edvind tidak melakukan upaya apa-apa karena menyangka Nalia telah mencintai orang lain.
***
Nalia berjalan bersisian dengan Edvind menuju kafetaria rumah sakit. Sambil berjalan, Edvind menunjukkan kepada Nalia di mana keluarga pasien bisa beristirahat atau sejenak menenangkan diri. Menunggui anggota keluarga yang sedang sakit pasti melelahkan, baik fisik maupun mental. Rumah sakit ini berusaha meringankan. Ada perpustakaan kecil dengan koleksi buku berbagai macam genre—buku-bukunya diganti setiap hari, ruang bermain anak, dan tiga kamar ibadah. Semuanya satu lantai dengan kafeteria, minimarket dan sebuah toko yang menyediakan hadiah kecil untuk menjenguk orang sakit—buku, bunga, balon, perlengkapan bayi, dan macam-macam benda lain. Khusus gerai kopi jaringan internasional berada di lobi lantai satu.
"Ini sih restoran," gumam Nalia agak keras ketika mengamati ruangan besar di depannya.
"Tapi tidak ada pelayan. Kita menunjuk makanan yang kita inginkan. Seperti di warteg." Edvind membimbing Nalia menuju konter pemesanan. Berbagai macam makanan tersaji di dalam kotak kaca bening. "Kamu mau makan apa?"
"Apa yang enak?" Mata Nalia melebar melihat banyaknya jenis makanan.
"Semua enak. Tapi yang paling enak pepes ayam."
"Pepes ayam? Aku belum pernah dengar ayam dipepes." Kalau pepes ikan, Nalia sering makan. Dan sangat menyukainya. Terutama buatan Oma.
"Aku jadi merasa terhormat bisa menraktirmu pepes ayam terenak di dunia untuk pertama kali. Sampai kamu tua nanti, Nalia, kamu akan selalu ingat hari ini." Edvind menyerahkan sebuah nampan kepada Nalia. "Mama!"
Nalia mengira Edvind memanggil ibunya. Namun wanita berkerudung yang berjalan mendekati mereka terlalu muda untuk punya anak seumuran Edvind.
"Mama ini yang mereformasi kafetaria kita. Dan memasak makanan yang membuat kita semua naik berat badan." Edvind menjelaskan. "Mama, dua pepes ayam, dua sayur asem, dan dua nasi. Sama sambal terasi. Mau minum apa, Nalia? Es tomat di sini enak sekali."
Nalia mengangguk setuju. "Tolong nasinya setengah porsi saja buat saya."
Setelah semua makanan aman berada di atas nampan, Nalia berjalan menuju kursi kosong di dekat jendela kaca. Dari sini Nalia bisa memandang jalan raya di depan rumah sakit.
Nalia membuka bungkusan pepesnya. "Oh, ada daun singkongnya. Aku suka. Mmm ... enak banget." Potongan ayam dibungkus daun singkong terlebih dahulu, baru daun pisang.
"Betul kan apa yang kubilang? Pepes ayam di sini tidak ada tandingannya."
"Itu penyanyi yang baru putus dari pacarnya? Pacarnya suami orang. Setelah bikin rumah tangga orang berantakan...." Nalia memajukan tubuhnya, membuat wajahnya dekat dengan wajah Edvind dan mendesis. "Jangan nengok!"
"Kalau aku tidak lihat, gimana aku bisa tahu siapa yang kamu maksud? Aku tidak mengikuti berita seleb, Nalia." Edvind menoleh ke balik punggung dan mendapati seorang wanita berbaju merah berkacamata hitam duduk di meja di belakang mereka. "Sudah lihat juga aku tetap tidak tahu dia siapa."
"Tapi dia cantik kan? Sejak kamu masuk tadi, dia terus ngelihatin kamu."
"Menurutmu kalau dia lewat sini nanti dan aku pura-pura menjatuhkan sendok, apa dia akan ikut membungkuk bersamaku untuk mengambilnya? Lalu kita berdua bangkit pelan-pelan, memegang sendok bersama-sama, sambil bertatapan?"
"Kamu kebanyakannonton FTV ya? Jangan berkhayal. Belum tentu diatertarik padamu."
***
Jika kamu menyukai cerita yang kutulis dan bisa dibaca gratis di sini, kamu bisa mendukungku dengan cara membeli salah satu bukuku. Harga mulai Rp 35.000. Atau membacanya di aplikasi perpustakaan nasional iPusnas--gratis.
Tersedia di: Toko buku kesayanganmu di seluruh Indonesia, Shopee/Tokopedia Ika Vihara, WhatsApp 0895603879876, Instagram ikavihara
E-book tersedia di Gramedia Digital--Rp 89.000 dan kamu bisa membaca buku sebanyak yang kamu mau--dan Google Playstore.
Atau WhatsApp aku di 0895603879876. Juga boleh message di Instagram (at)ikavihara.
Terima kasih kamu telah menjadi pembaca bermartabat dengan tidak membeli atau mengunduh buku/e-book bajakan. Sebab untuk riset dan banyak keperluan penulisan cerita, aku membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hanya dari hasil penjualan buku atau e-book original aku bisa menyediakan cerita lain yang bisa dibaca gratis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top