ENAM
Aku bahagia tiap hari Rabu, karena bisa melanjutkan perjalanan cinta Edvind dan Nalia. Kalau kamu menikmati cerita ini, tinggalkan komentar untukku ya :-) Supaya kita makin akrab, seperti Edvind dan Nalia yang makin lama makin akrab.
***
"Menurutmu, ngapain dia di sini?" Tanya Nalia setelah tawanya reda.
"Menjenguk orang sakit atau dia sendiri yang sakit. Tidak banyak yang bisa dilakukan orang di rumah sakit. Kalau tidak perlu-perlu amat, mereka tidak akan ke sini. Seberapa pun ganteng dan cantiknya para dokter dan perawat di sini."
Nalia memukul lengan Edvind dengan gemas. "Aku nggak perlu jawaban apa adanya begitu. Aku perlu jawaban kreatif. Misalnya, kamu jawab dia di sini mau operasi plastik atau dia ngidam pepes ayam superenak ini. Dasar kurang imajinasi."
"Kurang imajinasi?" Protes Edvind tidak terima. "Maksudmu aku orang yang membosankan?"
"Kalau kamu sudah paham, aku nggak perlu menjelaskan," jawab Nalia.
"Setelah ini kamu ada jadwal apa? Harus kembali ke kantor? Kalau tidak, aku ingin membuktikan padamu aku bukan orang yang membosankan. Satu jam saja bersamaku, aku jamin kamu tidak akan mau berpisah denganku. Karena aku orang yang menyenangkan."
"Aku nggak kerja setiap hari Kamis. Jadwal ke kampus."
"Kampus?" Edvind membeo.
Nalia menelan makanan di mulutnya sebelum menjawab. "Aku mau mulai kuliah. Doktor."
Masih untung aku mau menikah denganmu, Nalia. Laki-laki nggak akan mau menikahi wanita yang pendidikannya lebih tinggi dari mereka. Atau kamu memang sengaja mau membuatku terlihat bodoh dan payah? Salah satu bagian dari pertengkarannya dengan Astra kembali terngiang. Nalia mendesah dalam hati. Segera setelah Astra menyelesaikan short course di Belanda dan berada di Indonesia lagi, Nalia akan mengatakan kepada Astra bahwa Nalia tidak bisa lagi melanjutkan pertunangan.
"Bidang apa?" Edvind tertarik. "Aku juga akan kuliah lagi."
Tanggapan Edvind membuat Nalia mengangkat wajah. "Untuk jadi dokter ini, kamu sudah kuliah lama banget, Ed. Belum cukup juga? Apa ... mau kuliah buat menjadi dokter spesialis?"
"Bukan. Aku tidak berencana menjadi dokter spesialis. Aku ingin menjadi ilmuwan. Peneliti. Geneticist. Kuliah genomics*."
"Kedengarannya rumit sekali. Genome ... genom** ... aku ingat pernah belajar itu di SMA. Tapi sampai sekarang aku nggak tahu di bagian kehidupan mana ilmu itu bisa diterapkan."
"Let see...." Edvin sudah menyelesaikan satu suapan lalu meletakkan sendoknya. "Kalau ada kasus pembunuhan—
"Ewww, aku masih makan, Ed," protes Nalia. "Untung makanannya enak banget. Jadi aku nggak kehilangan nafsu makan. Dasar nggak punya sopan-santun."
"Tadi aku membosankan, sekarang aku tidak punya sopan-santun? Apa kamu termasuk orang yang selalu berusaha mencari kekurangan orang, bukan fokus pada kelebihannya?"
"Cari contoh yang lebih baik kalau begitu," desis Nalia.
"Aku tidak bisa menemukan contoh lain sekarang. Tahan sebentar saja. Jadi, kalau ada kasus pemerkosaan hingga korban meninggal, dan pelakunya memiliki kembaran, itu kan susah ditentukan yang mana yang melakukan kejahatan. Apalagi kalau wajah keduanya identik. Tinggi badan sama, berat badan sama, semuanya sama. Anggap polisi kesulitan membuktikan mana di antara kedua orang tersebut yang melakukan kriminal. Tes DNA tidak membantu banyak, karena DNA mereka serupa.
"Apa yang bisa dilakukan? Membaca genom dari DNA pelaku yang tertinggal di tubuh korban. Dari sana akan bisa diketahui pelaku adalah salah satu kembar yang pernah mengonsumsi obat tertentu selama beberapa lama. Atau yang bekerja di pabrik dan sering terpapar bunyi bising. Semua sejarah masa lalu, dan bagaimana masa depan, bisa diceritakan dan diprediksi oleh genom. Hebatnya lagi, cerita itu tidak sama untuk setiap organisme. Kalau kata Dr. Seuss, you are you, that is truer than true—
"There is no one alive is you-er than you." Nalia menyambung. "Aku nggak nyangka, selain nonton FTV, kamu membaca cerita anak-anak juga."
"Sebenarnya aku bukan player seperti yang dibilang orang. Setiap ada waktu luang aku nonton FTV dan baca buku anak-anak, tapi supaya tidak ditertawakan, aku bilang aku ada kencan. Aku mengarang nama-nama teman kencanku. Kabar yang beredar itu tidak benar."
Nalia tertawa keras sekali, sampai beberapa orang yang melintasi meja mereka, dan duduk di meja-meja di sekitar mereka, menoleh. Sudah lama Nalia tidak tertawa selepas ini. Tidak pernah ada laki-laki yang bisa membuat Nalia tersenyum, tapi Edvind, baru setengah jam mengobrol, sudah bisa membuat Nalia tertawa beberapa kali. Edvind tidak perlu melakukan apa-apa untuk membuktikan dia bukan orang yang membosankan.
"Aku sering dengar saran agar kita menjadi diri sendiri. Kita nggak akan bisa menjadi orang lain, meski kita berusaha keras meniru gaya orang lain. Aku kira itu dari sisi psikologis saja. Ternyata sejak dari genom, kita nggak bisa menjiplak orang lain," kata Nalia setelah tawanya reda. "Jadi kamu ingin berkarier di bidang kriminal?"
"Ketertarikanku tidak ada sangkut paut dengan kriminalitas. Itu contoh saja. Aku ingin mempelajari sejarah manusia dan memperkirakan seperti apa masa depan kita. Melalui genom. Sifat pemarah, abusif, dan agresif seseorang bisa saja telah tertulis di genomnya tapi tidak pernah terbaca. Aku ingin tahu apakah nanti keturunannya akan mewarisi karakter itu dan jika ya, apa yang bisa kita lakukan untuk mengeditnya. Kemudian, ada penyakit-penyakit yang sulit ditentukan dari mana asalnya. Misalnya seseorang tidak merokok, selalu menerapkan gaya hidup sehat, kenapa kena kanker paru. Genom bisa saja menjawab pertanyaan tersebut dan tidak menutup kemungkinan, memberikan solusi."
"Untung ada orang-orang sepertimu yang mau mempelajari ilmu seruwet itu. Kalau aku...." Nalia bergidik. "Aku geli ... jijik lebih tepat sih ... melihat sesuatu di bawah mikroskop."
Edvind tertawa dan berdiri. "Dengan begitu kita bisa berkarya di bidang yang berbeda. Ada satu tempat lagi yang harus kamu datangi. Kamu juga belum cerita tentang rencana kuliahmu."
Mereka kembali berjalan bersama menuju lift. "Tentang kelas inklusi. Harapanku, nanti para guru akan bisa mengajar di kelas inklusi tanpa kewalahan, walau nggak memiliki latar belakang pendidikan anak berkebutuhan khusus atau psikologi. Aku sudah merumuskan metode komunikasi dan lain-lain. Dan sudah menginisiasi dibentuknya kelas inklusi di sekolah tempatku mengajar. Jalan dua tahun. Level Kelompok Bermain dan TK. Tapi hasil penelitianku nanti akan bisa diterapkan pada semua jenjang."
"Kamu benar-benar menyukai bidang minatmu ya, Nalia?"
"Tentu saja. Aku manusia, bukan pohon. Kalau aku nggak menyukai tempatku berada ... kalau aku nggak suka berada di sekolah sepanjang hari, aku bisa pindah. Cari pekerjaan lain."
"Bukan. Maksudku, bagimu, menjadi guru lebih dari sekadar pekerjaan. Tapi panggilan jiwa. Panggilan kemanusiaan. Kamu tidak menghitung berapa yang kamu dapatkan dari pekerjaan itu, tapi kamu ingin memberi lebih banyak."
"Saat sekolah dulu aku sedih melihat temanku kesulitan membaca atau berhitung. Lalu dilabeli bodoh atau pemalas. Padahal mungkin saja mereka disleksia atau diskalkulia. Atau teknik komunikasi guru kurang baik sehingga siswa nggak suka menyimak. Ada anak yang nggak bisa duduk dalam waktu lama lalu dibilang bandel. Coba bayangkan, kalau kata 'bodoh' atau 'bandel' itu diulang terus, seorang anak akan percaya dirinya memang seperti itu. Hingga dia dewasa. Mau diajak belajar dengan cara apa pun, kalau dia terlanjur percaya begitu, akan sulit.
"Sekarang ada dua belas anak di kelasku. Termasuk Mara yang luar biasa imajinasinya. Ada dua anak autis***, satu anak ADHD****, dan anak-anak hebat lain. Sejauh ini mereka bisa belajar bersama dalam satu kelas, karena kami menyesuaikan cara mengajar supaya mengakomodasi kebutuhan belajar segala tipe siswa. Bagi kami, nggak ada siswa yang bodoh atau susah dididik. Kalau sulit menyerap pelajaran, kami akan menganalisis faktor apa saja yang menghambat.
"Aku sedih melihat ada sekolah melakukan tes masuk SD dan TK, supaya didapat anak-anak yang mudah diajari. Gimana mereka menyebut diri mereka pendidik, pegiat pendidikan, kalau mereka pilih-pilih siapa yang akan dididik? Semakin lama dunia ini semakin nggak masuk akal. Orang semakin nggak bisa menerima ketidaksempurnaan."
***
*Suatu cabang ilmu biologi molekuler yang mempelajari struktur, fungsi, evolusi, dan pemetaan genom.
**Satu komplit dari suatu organisme. Genom mengandung semua informasi yang diperlukan untuk membentuk dan menjalankan fungsi suatu organisme.
***Autism, atau autism spectrum disorder, adalah suatu kondisi pada otak yang menyebabkan seseorang memiliki cara berkomunikasi dan berinteraksi khusus atau berbeda.
****Attention deficit hyperactivity disorder, umumnya kita menyebutnya hiperaktif. Suatu kondisi pada otak di mana seseorang sulit memusatkan perhatian dan cenderung berperilaku impulsif serta hiperaktif.
(Bersambung)
***
Jika kamu menyukai cerita yang kutulis dan bisa dibaca gratis di sini, kamu bisa mendukungku dengan cara membeli salah satu bukuku. Harga mulai Rp 35.000. Atau membacanya di aplikasi perpustakaan nasional iPusnas--gratis.
Tersedia di: Toko buku kesayanganmu di seluruh Indonesia, Shopee/Tokopedia Ika Vihara, WhatsApp 0895603879876, Instagram ikavihara
E-book tersedia di Gramedia Digital--Rp 89.000 dan kamu bisa membaca buku sebanyak yang kamu mau--dan Google Playstore.
Atau WhatsApp aku di 0895603879876. Juga boleh message di Instagram (at)ikavihara.
Terima kasih kamu telah menjadi pembaca bermartabat dengan tidak membeli atau mengunduh buku/e-book bajakan. Sebab untuk riset dan banyak keperluan penulisan cerita, aku membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hanya dari hasil penjualan buku atau e-book original aku bisa menyediakan cerita lain yang bisa dibaca gratis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top