EMPAT BELAS

Halo, berjumpa lagi denganku di sini. Semoga kamu nggak bosan melihat namaku muncul di layar HP-mu. Aku kangen kamu lho. Selasa itu membahagiakan.

Jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya. Komentar nggak harus berisi kritik. Kadang karena nggak tahu harus kritik apa lalu takut berkomentar. Nope. Kamu bisa tulis," hi, Kak Ika,' dan tetap kubalas. Kalau kamu suka aku membalas komentar-komentarmu, lakukan sekarang. Sebab aku membalas komentar setiap bab terakhir dalam satu waktu. Aku sudah berusaha membalas satu per satu, tapi tetap ada yang terlewat. Maaf ya, itu bukan karena aku pilih-pilih, tapi karena benar-benar terlewat.

Love, Vihara (IG/FB/Twitter ikavihara, whatsapp 0895603879876)

***

Nalia memejamkan mata sebentar sebelum membuka pintu. Tiga kali ketukan kembali terdengar. Karena hari ini Oma menginap di rumah Jari, Nalia menyarankan kepada Astra supaya mereka bicara di rumah Oma saja. Dengan begini Nalia tidak perlu susah mencari taksi untuk pulang. Sudah pasti Nalia dan Astra tidak akan bisa duduk satu mobil setelah pertunangan—dan pertemanan—mereka berakhir dalam perjalanan pulang ke rumah Nalia. Astra laki-laki yang baik. Tentu Astra bersikeras mengantar Nalia pulang.

"Hei," sapa Nalia begitu pintu terbuka.

Astra mencium pipi kanan Nalia. Tidak. Mereka tidak berpelukan dan berciuman dengan penuh kerinduan layaknya sepasang kekasih yang baru terpisah selama delapan minggu. Karena memang hubungan mereka tidak intim seperti itu. Jangan tanya akan seperti apa jika mereka menikah nanti. Mungkin mereka hanya akan bersentuhan di atas tempat tidur. Saat melakukan hubungan suami istri saja. Demi menggugurkan kewajiban. Tanpa ada gairah yang meletup-letup.

"Buat kamu." Astra menyerahkan tas karton berukuran besar.

"Oh? Terima kasih." Nalia duduk di sofa sedangkan Astra memilih duduk di hadapan Nalia, di kursi kayu dengan bantalan berwarna kuning.

Sepasang kekasih, pada umumnya, tentu langsung duduk berdekatan. Kalau perlu, hanya satu yang duduk di kursi, lainnya di pangkuan. Tetapi sekali lagi, hubungan Nalia dan Astra memang tidak biasa. Di antara mereka berdua tidak tampak ada yang ingin berbasa-basi. Juga tidak mau saling menatap. Astra mengamati lukisan di dinding di balik punggung Nalia sedangkan Nalia meremas-remas tangan pangkuan.

"Setiap orang harus menjalani hidup dengan cara masing-masing. Tidak perlu mengikut orang lain. Supaya mereka bahagia dengan hidup mereka. Jika tidak bahagia, maka mereka harus memiliki keberanian untuk mengubah cara menjalani hidup dan memulai lagi dari awal." Nasihat Oma terngiang di telinga Nalia.

Tidak ada waktu yang lebih tepat untuk menyampaikan niat Nalia untuk mengakhiri hubungan, selain sekarang. Karena menikah dengan Astra bukanlah sebuah kehidupan yang ingin dijalani Nalia dan pernikahan tersebut tidak akan membuat Nalia bahagia.

"Nalia, aku nggak tahu bagaimana harus menyampaikan ini tanpa membuatmu kecewa." Kalimat pembuka dari Astra membuat Nalia mengangkat kepala dan kini menatap tunangannya. "Aku sudah melamarmu. Keluarga kita sudah bertemu dan berkenalan. Kakakmu adalah salah satu role model-ku di arsitektur. Kita sepakat akan serius membicarakan tanggal pernikahan setelah aku pulang dari Belanda."

"Kita memang nggak saling mencintai, tapi aku selalu percaya nanti setelah menikah, dengan sendirinya kita akan bisa menyukai satu sama lain. Seperti suami istri." Astra melanjutkan. "Aku pernah cerita padamu aku nggak punya keinginan untuk menikah ... sampai aku kenal denganmu ... karena aku nggak bisa melupakan seorang wanita yang sangat kucintai."

Nalia mengangguk. Dulu Astra pernah mengatakan wanita yang dicintainya selama belasan tahun menikah dengan orang lain. Meski begitu Astra tidak bisa berhenti mencintai.

"Aku kira aku sudah berhenti mencintainya, Nalia. Tapi aku salah. Di bandara, sewaktu berangkat ke Belanda, aku bertemu dengannya. Kami bicara sampai waktu keberangkatanku tiba. Dia sudah berpisah dari suaminya. Setelah itu kami berkomunikasi setiap hari dan aku yakin ini adalah kesempatan terakhirku untuk mendapatkan wanita yang kucintai. Ada kemungkinan ... yang besar ... bahwa kami bisa bersama." Astra berhenti sebentar. "Jadi, aku minta maaf karena dengan begitu pertunangan kita nggak bisa dilanjutkan. Aku nggak tahu apakah kamu akan bisa memaafkanku karena aku membuatmu malu. Membuat keluargamu malu. Semua orang tahu kita berencana menikah dan sekarang aku menempatkanmu ... dan keluargamu ... pada posisi yang sulit."

Takdir punya cara kerja berbeda, Nalia, yang tidak bisa kamu pahami, tidak bisa kamu prediksi, nasihat Oma pada suatu waktu. Ketika sesuatu, atau seseorang, telah digariskan menjadi milikmu, maka kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa selain menerimanya. Sebaliknya, jika tidak digariskan, akan ada kejadian yang membuatmu berpisah dari sesuatu atau seseorang tersebut. Kenapa semua yang dikatakan Oma selalu betul? Hanya seminggu setelah setuju akan menikah dengan Astra, Nalia merasa Astra bukanlah laki-laki yang tepat untuknya. Pernikahan mereka tidak akan membawa kebahagiaan, Nalia meyakini. Kini takdir mengintervensi, memisahkan mereka, sebelum Nalia berbuat sesuatu, dengan cara mempertemukan Astra dengan jodoh yang sesungguhnya.

Nalia mengembuskan napas lega. "Selama kamu di Belanda, aku juga memikirkan itu ... memikirkan hubungan kita. Hari ini aku juga berencana memberitahumu, aku ingin mengakhiri pertunangan. Aku nggak akan bisa memenuhi harapanmu. Seperti yang kamu bilang, aku bukan wanita yang dilahirkan dengan kemampuan natural untuk menjadi istri dan ibu.

"Menikah dan punya anak ... aku nggak bisa membayangkan aku melakukannya. Dua hal tersebut nggak pernah ada dalam rencana masa depanku. Karena aku malas menghadapi tekanan dari lingkungan, akibat memilih jalan hidup yang berbeda, jadi aku mengiyakan tawaranmu supaya kita menikah."

"Nalia, aku minta maaf kalau aku pernah mengatakan ... kalau apa yang pernah kukatakan kepadamu menyakitimu. Kamu wanita yang baik, Nalia, aku percaya kamu akan menjadi istri dan ibu yang baik juga. Kalau nggak, aku nggak akan memintamu untuk menikah denganku. Aku cuma gemas karena kamu seperti nggak antusias untuk ... itu semua. Bersama laki-laki yang tepat, kamu akan menjadi istri dan ibu yang hebat."

Nalia tidak ingin membicarakan prospeknya menjadi istri dan ibu. Yang mendekati nol itu. Tidak, ketika pertunangannya baru saja diakhiri. "Jadi, seperti apa wanita yang kamu cintai? Apa dia nggak bekerja? Dia memenuhi tuntutanmu untuk tinggal di rumah saja?"

Astra tertawa dan menggelengkan kepala. "Dia product manager di salah satu perusahaan consumer goods. Dan dia nggak akan berhenti bekerja. Kalau menikah dengannya, aku akan ikut dengannya pindah ke Jepang. Karena aku lebih fleksibel, bisa menemukan pekerjaan di mana saja. Kamu pasti heran kenapa sikapku berbeda waktu aku tahu kamu ingin terus berkarier."

"Aku nggak heran, Astra. Saat kamu mencintai seseorang, kamu akan melakukan apa saja untuk mempertahankannya di sisimu. Sedangkan aku, well, kehilangan diriku pun nggak akan membuat hatimu patah, jadi kamu berani mengambil risiko untuk menuntut macam-macam."

"Aku minta maaf, Nalia. Karena niat baik kita berakhir seperti ini. Aku akan menghadap Oma dan Jari. Aku akan menyampaikan permintaan maafku kepada mereka. Kalau kupikir-pikir, memang kita lebih cocok berteman. Kita nggak banyak bertengkar waktu masih berteman, kan?"

"Aku memang cocok berteman dengan semua laki-laki." Karena lebih baik demikian.

"Suatu saat nanti akan ada seseorang yang bisa membuatmu jatuh cinta, Nalia. Ketika itu terjadi, kamu akan punya ruang, sangat banyak ruang untuk pernikahan, pasangan, dan anak-anak kalian. Bahkan ketiga hal itu akan menjadi prioritasmu."

"Aku akan mencegah itu terjadi." Ada apa dengan semua orang yang jatuh cinta? Kenapa mereka ingin semua manusia lajang di sekitarnya jatuh cinta juga seperti mereka?

"Kamu tidak akan menang melawan cinta, Nalia. Tidak akan."

***

Jika kamu menyukai cerita yang kutulis dan bisa dibaca gratis di sini, kamu bisa mendukungku dengan cara membeli salah satu bukuku. Harga mulai Rp 35.000. Atau membacanya di aplikasi perpustakaan nasional iPusnas--gratis.

Tersedia di: Toko buku kesayanganmu di seluruh Indonesia, Shopee/Tokopedia Ika Vihara, WhatsApp 0895603879876, Instagram ikavihara

E-book tersedia di Gramedia Digital--Rp 89.000 dan kamu bisa membaca buku sebanyak yang kamu mau--dan Google Playstore.

Atau WhatsApp aku di 0895603879876. Juga boleh message di Instagram (at)ikavihara.

Terima kasih kamu telah menjadi pembaca bermartabat dengan tidak membeli atau mengunduh buku/e-book bajakan. Sebab untuk riset dan banyak keperluan penulisan cerita, aku membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hanya dari hasil penjualan buku atau e-book original aku bisa menyediakan cerita lain yang bisa dibaca gratis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top