EMPAT

Kalau kamu menyukai cerita ini, tinggalkan komentar untukku ya. Kalau nggak suka, nggak perlu dong. Silakan gunakan waktu untuk browsing cerita lain di Wattpad. I Love you :-)

***

Idealnya, semakin mendekati hari pernikahannya, seseorang merasa antusias dan bahagia. Tidak sabar ingin segera bersatu dalam ikatan suci bersama orang yang mereka cintai. Cinta. Cinta. Cinta. Nalia tidak ingin memikirkannya. Sebab satu kata itu lebih banyak menyulitkan hidup Nalia. Sambil memijit pelipisnya, Nalia berjalan melintasi lobi rumah sakit. Setelah keluarga Nalia berantakan karena semua orang di dalamnya saling mencintai dan tidak bisa menahan sakit karena kehilangan orang yang mereka cintai, Nalia menjalin hubungan tanpa melibatkan cinta. Dua tahun yang lalu Nalia berkenalan dengan Astra. Tidak, mereka tidak pacaran. Hanya berteman baik. Tidak ada kemesraan di antara keduanya. Tepat sehari setelah ulang tahun Astra yang ketiga puluh tiga, Astra menyatakan keinginan untuk menikah dengan Nalia. Nalia bersedia karena menilai Astra adalah pilihan yang aman.

Tetapi belakangan Nalia merasa mengiyakan lamaran Astra adalah pilihan yang salah. Semakin hari Astra semakin banyak menuntut. Yang paling konyol adalah memaksa Nalia untuk belajar memasak. Langsung dari ibunda Astra. Bukan Nalia tidak bisa memasak. Zaman sekarang tidak ada orang yang tidak bisa memasak. Anyone who can read—or have internet access—can cook. Banyak makanan enak tapi rumit cara pembuatannya kini disederhanakan oleh banyak orang di channel Youtube. Atau ditulis di Cookpad. Atau buku-buku memasak. Tetapi Astra tidak bisa menerima itu. Setiap makanan yang tidak dimasak sesuai resep ibunya, terasa berbeda. Berbeda dalam kamus Astra sama dengan tidak enak.

Nalia menekan tombol lift rumah sakit untuk memilih lantai yang dia tuju. Sebetulnya hari ini Nalia sedang tidak ingin memikirkan Astra dan segala pandangan Astra, yang kian hari kian menggelikan. Namun adu argumen dengan Astra tidak mudah dihapus dari ingatannya. Apakah, jika telah menjadi istri dan ibu, seorang wanita tidak lagi boleh membawa manfaat untuk orang lain di luar keluarganya? Untuk ikut mengamalkan ilmu yang dimiliki demi kemajuan dan kebaikan bangsa ini?

"Untuk apa kamu kuliah lagi, Nalia? Buang-buang uang dan waktu saja. Kamu sudah punya pekerjaan. Ijazah S-2-mu saja belum terpakai, sudah mau cari ijazah lagi. Sebaiknya waktu dan tenagamu digunakan untuk mempersiapkan diri menjadi istri, menjadi ibu. Bukan untuk pergi ke kampus, perpustakaan. Kamu nggak perlu gelar lagi, kamu nggak perlu mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi. Gajiku sangat cukup untuk hidup kita berdua." Adalah tanggapan Astra ketika Nalia menyampaikan rencana menempuh program doktor.

Karena setiap bulan aku mendapatkan banyak uang dari ayahku dan aku bersumpah hanya akan menggunakan uang itu untuk membiayai pendidikanku. Saking kesalnya, Nalia ingin menjawab demikian. Saat orang-orang di luar sana sudah bisa spacewalk*, kenapa di negara ini masih ada orang seperti Astra? Yang berpikir bahwa satu-satunya tujuan mereka kuliah adalah mendapatkan ijazah. Dengan ijazah tersebut, mereka mencari pekerjaan. Ada yang dapat, ada pula yang tidak, meski lama berusaha. Yang tidak dapat-dapat kerja—beserta orangtua, kenalannya orangtua, keluarga besar, dan banyak lagi—biasanya menjadi sinis saat mendengar atau melihat iklan pendidikan tinggi. Buat apa jadi sarjana, kalau ujung-ujungnya menganggur juga.

Mereka tidak akan menganggur kalau selama masa kuliah tidak hanya datang ke kampus, masuk kelas atau nongkrong dengan teman di kantin. Melainkan juga mempelajari keterampilan baru. Untuk bisa sukses, Nalia percaya, seseorang—minimal—harus mengusai dua keterampilan. Dan salah satu dari keterampilan yang dikuasai, hendaknya adalah kemampuan berkomunikasi. Kalau tidak secara verbal, ya dengan tulisan. Dijamin, pasti mereka bisa membuat surat lamaran dan CV yang meyakinkan. Juga bisa menyusun kalimat yang benar saat menjawab wawancara. Ketika tidak mendapatkan pekerjaan pun, keterampilan-keterampilan yang dimiliki bisa digunakan untuk mencari nafkah. Seperti teman baik Nalia, Renae. Pendidikannya adalah sarjana sains. Tetapi kini menjalankan usaha luxury stationery yang terkenal hingga ke manca negara.

"Aku nggak menggunakan ilmu yang kudapat untuk mencari uang. Aku memakai ilmuku untuk memajukan pendidikan anak-anak Indonesia. Kamu sudah tahu bahwa aku mendedikasikan hidupku demi menciptakan lingkungan belajar yang inklusif," jawab Nalia saat itu.

"Aku mengizinkanmu melakukannya, Nalia. Sampai kita punya anak. Saat kita punya anak, aku ingin kamu fokus mendidik anak kita. Bukan anak orang lain."

Mengizinkan. Nalia ingin tertawa. Tidak, Nalia tidak memerlukan izin siapa pun untuk membangun masa depan anak-anak di negara ini. Kecuali izin Tuhan. Perdebatan terakhirnya dengan Astra semakin menguatkan niat Nalia untuk membatalkan rencana pernikahan. Daripada punya suami yang tidak mendukung cita-cita besar Nalia—yang memang tampak sulit diwujudkan itu—bahkan menyuruh Nalia untuk melupakan cita-cita tersebut, lebih baik Nalia melangkah sendiri sampai mati. Akan seperti apa pernikahannya dengan Astra, kalau terlalu dalam jurang perbedaan di antara pemikirannya dan cara berpikir Astra? Idealismenya dan idealisme Astra—kalau dia punya? Apakah mereka akan ribut terus setiap hari? Atau Nalia harus melakukan semua kegiatan baik dengan sembunyi-sembunyi?

"Miss Nali!" Mara**, salah satu siswa di Kelompok Bermain tempat Nalia mengajar, berlari mendekati Nalia saat Nalia masuk ruang rawat Edna.

Anak perempuan manis ini adalah contoh nyata keberhasilan kelas inklusi yang diinisiasi Nalia di sekolah. Cita-cita Nalia, salah satunya, mendidik banyak anak seperti Mara. Yang tidak memandang rendah dan menghakimi temannya. Tujuan Nalia berhasil karena didukung orangtua yang luar biasa, tentu saja. Seperti Edna dan Alwin, orangtua Mara.

"Halo, Mara. Apa aku mengganggu?" Nalia meletakkan keranjang buah di meja, karena kemarin Edna bilang ingin makan buah-buahan yang rasanya asam. Dan Nalia membelikan.

Suami Edna, Alwin, ada di dalam ruangan. Bersama Edvind.

"Alwin baru datang." Edvind yang menjawab. "Biar mereka kangen-kangenan sebentar, kamu bisa temani aku makan siang."

Melihat Alwin dengan wajah lelah dan cemas berdiri di samping tempat tidur Edna, Nalia menyetujui ajakan Edvind. Sepertinya memang ini bukan saat yang tepat untuk berkunjung, sebab Alwin tentu sudah sangat rindu dengan istrinya.

"Edvind! Jangan bermain-main dengannya, she deserves better." Alwin memperingatkan tepat sesaat sebelum Nalia meninggalkan ruang rawat Edna.

Nalia tersenyum. Bahagia sahabatnya menikah dengan laki-laki baik.

"Relax. Aku cuma mau mengajaknya makan siang, bukan mendaftarkan pernikahan." Edvind tertawa kemudian menjajari langkah Nalia. "Katakan padaku, Nalia, apa menurutmu aku seburuk yang mereka pikirkan? Sampai mereka tidak ingin aku berteman denganmu? Masa laluku memang tidak bisa dibilang sempurna. Tapi bukankah aku berhak mendapatkan kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa berubah?"

"Actions speak louder than words." Nalia tidak ingat dia pernah pergi ke rumah sakit dan mendapati dokter seksi seperti Edvind. "Kalau kamu ingin membuktikan pada mereka bahwa kamu sudah berubah, mulailah dari sekarang. Dengan nggak merayuku."

Edvind menyeringai. Seksi sekali. "Kenapa? Kamu takut termakan rayuanku?"

***

*Disebut juga dengan EVA, atau extravehicular activity, di mana seorang astronot melakukan aktivitas seperti memperbaiki satelit, melakukan penelitian dan lain-lain di luar ISS(International Space Station, stasiun ruang angkasa internasional) tanpa menggunakan kendaraan ruang angksa. Durasi satu kali spacewalk adalah lima sampai delapan jam.

** Apa kamu tahu adegan ini ada di dalam buku The Game of Love? :-)

***

Jika kamu menyukai cerita yang kutulis dan bisa dibaca gratis di sini, kamu bisa mendukungku dengan cara membeli salah satu bukuku. Harga mulai Rp 35.000. Atau membacanya di aplikasi perpustakaan nasional iPusnas--gratis.

Tersedia di: Toko buku kesayanganmu di seluruh Indonesia, Shopee/Tokopedia Ika Vihara, WhatsApp 0895603879876, Instagram ikavihara

E-book tersedia di Gramedia Digital--Rp 89.000 dan kamu bisa membaca buku sebanyak yang kamu mau--dan Google Playstore.

Atau WhatsApp aku di 0895603879876. Juga boleh message di Instagram (at)ikavihara.

Terima kasih kamu telah menjadi pembaca bermartabat dengan tidak membeli atau mengunduh buku/e-book bajakan. Sebab untuk riset dan banyak keperluan penulisan cerita, aku membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hanya dari hasil penjualan buku atau e-book original aku bisa menyediakan cerita lain yang bisa dibaca gratis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top