DUA PULUH TIGA

SPOILER: PAK DOKTER SAKIT!!!!!

Oke, jadi aku dan penerbit telah menyepakati akan menerbitkan cerita ini dengan judul The Perfect Match. Karena dua orang yang tak sempurna ini bisa menjadi pasangan sempurna, kalau dua-duanya nggak keras kepala hahaha. Nanti terbit di Elex Media seperti kisah Alesha dan Edna ya. Supaya mereka bisa berdampingan di rak buku kita.

Berita baik lain, aku sedang menulis ulang sebuah naskah lama. Termasuk naskah angkatan pertama di akademi Ika Vihara hahaha. Kamu belum pernah baca. Ceritanya bagus, tapi aku nulisnya, dulu, masih jelek. Jadi kuperbaiki. Aku berencana mengunggah di sini juga. Sampai tamat. Honest. Buat penghargaan karena kamu sudah mau menyisihkan rezeki yang susah-susah kamu dapat untuk membaca karyaku.

Tinggalkan komentar untukku ya, walau sekadar mendoakan Edvind cepat sembuh ;-)

***

"Aku berduka karena kehilangan Mama. Aku sedih sekali. Aku menangisi Mama. Aku merindukan Mama tiap hari. Tapi setelah ditinggalkan Papa, aku menyalahkan diri sendiri. Apa kesalahan yang telah kulakukan sampai Papa meninggalkanku? Apa salahku sampai Papa nggak mencintaiku? Aku bisa menerima bahwa Mama nggak akan pernah kembali ke sini.

"Sedangkan Papa, sampai sekarang aku masih berpikir, apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membuat Papa memaafkan dan menginginkanku lagi? Seandainya aku menjadi anak baik, anak penurut....

"Dalam hati dan benakku, aku merasa aku punya ibu. Cinta Mama masih bisa kurasakan sampai sekarang. Aku percaya Mama mencintaiku. Mama meninggal, tapi aku merasa Mama selalu ada di sini bersamaku. Sedangkan Papa hidup, but he is not available. Cinta Papa hilang seluruhnya. Nggak tersisa.

"Aku mencintai Papa, tapi Papa nggak memiliki perasaan yang sama. Kalau kupikir, ketidakhadiran Papa lebih banyak memengaruhi bagaimana aku menjalani hidup, lebih banyak meninggalkan dampak negatif pada diriku, daripada meninggalnya Mama."

"We love someone and want them to love us in return. Aku, kamu, semua orang. Ketika cinta kita nggak terbalas, sering kita meyakinkan diri sendiri untuk berhenti mencintai. Tapi hati kita nggak biasa diajak kerja sama. Kita tetap mencintai walau tak ingin." Ekspresi Alesha tampak berbeda ketika menjelaskan cinta bertepuk sebelah tangan. Mungkin Alesha teringat pada Elmar. "Sejak ayahmu memilih pergi, kamu menceritakan ini semua kepada siapa, Nalia?"

Nalia menggeleng dengan muram. "Nggak sama siapa-siapa. Oma nggak pernah mau membicarakan itu. Kadang-kadang aku dan Jari ngobrol, tapi setelah kami berusaha menemui Papa dan ditolak, kami nggak pernah membicarakan itu lagi."

"Terima kasih kamu sudah memercayaiku, Nalia. Aku ingin membantumu membangun kepercayaan, membantumu lepas dari abandonment issue. Bukan nggak mungkin Edvind berhasil merubuhkan tembok di hatimu dan bisa membuat kamu setuju menikah dengannya."

"Aku nggak ingin menikah, Lesh. Nggak dengan Edvind atau siapa pun."

"Nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, Nalia, nggak ada. Kamu bisa jatuh cinta, dan nggak ada cara lain untuk terus bersama orang yang kamu cintai, selain menikah dengannya. Baiklah, kita nggak akan bicara pada konteks pernikahan kalau kamu nggak mau.

"Abandonment issue itu menyiksamu. Berapa kali dalam hidupmu, waktu Edna nggak menjawab teleponmu, nggak menemuimu, kamu sibuk menganalisis apakah ada perkataanmu atau sikapmu yang bikin Edna nggak mau berteman lagi sama kamu?

"Waktu Edna masuk rumah sakit, aku mengirim pesan padamu supaya kamu nggak datang dulu, karena Edna masih tidur. Aku katakan padamu Edna baik-baik saja. Renae dapat pesan yang sama dariku dan dia nggak datang. Tapi kamu sangat cemas dan ingin memastikan Edna baik-baik saja. Kamu nggak memercayaiku. Kamu juga selalu menjadi anak yang sangat baik, kan, karena kamu takut Oma membencimu?"

Betul. Oleh karena itu Nalia percaya pernikahan bukanlah tempat yang tepat untuknya. Berbagai kecemasan akan menghantui Nalia sepanjang masa pernikahannya. Cemas suaminya menyukai wanita lain di luar sana lalu meninggalkan Nalia. Cemas ketika suaminya harus bepergian ke luar kota tanpa dirinya lalu sibuk bertanya-tanya apa yang sebetulnya dilakukan suaminya, bersama siapa, sedang di tempat seperti apa. Cemas membayang-bayangkan bagaimana suaminya akan mengakhiri pernikahan; meninggal, menceraikan, atau apa. Kalau disuruh mendaftar, Nalia akan bisa menuliskan puluhan jenis kekhawatiran.

Semua itu tidak akan membuat pernikahannya bahagia. Nalia akan menjadi istri yang menyebalkan. Yang selalu mencurigai suaminya, terus memeriksa ponsel suaminya, menelepon suaminya satu menit sekali, ingin tahu siapa saja yang bicara dengan suaminya, menuduh-nuduh suaminya tanpa alasan hanya karena ingin membuktikan ketakutannya tak akan terjadi, tidak memperbolehkan suaminya keluar rumah, dan banyak lagi. Oleh karena itu, demi kesejahteraan jiwa semua orang, lebih baik Nalia tidak menikah.

"Langkah yang harus kamu ambil bukan dengan nggak menikah, Nalia." Alesha seperti bisa membaca ke mana pikiran Nalia mengarah. "Tapi dengan mengendalikan abandonment issue. Oke, aku memang pernah bilang wanita boleh nggak menikah, nggak punya anak, selama itu yang mereka inginkan. Tapi aku tahu dalam hati kecilmu, sebenarnya kamu ingin menikah dan berkeluarga. Kamu ingin mengulang apa yang sempat kamu miliki selama sepuluh tahun dulu. Mother-daughter precious time. Keluarga yang bahagia. Yang penuh cinta. Cuma kamu sedang menyabotase keinginanmu sendiri."

***

Begitu Alesha berangkat untuk memberikan konseling kepada para remaja hamil dan remaja yang telah menjadi ibu, Nalia berjalan kaki menuju rumah Edvind. Pikirannya tidak akan tenang kalau tidak tahu ada di mana Edvind sekarang. Apa benar Edvind ada di rumah, kelelahan karena habis bekerja keras di rumah sakit? Atau Edvind sedang bersama wanita lain? Pertanyaan-pertanyaan Nalia terjawab saat melihat mobil Edvind terparkir di depan rumah. Seperti biasa, pagar rumah Edvind pun tidak terkunci. Nalia berjalan menuju pintu dan mengetuk beberapa kali di sana.

Karena tidak ada jawaban, tapi terdengar suara orang batuk dari dalam, Nalia menggedor-gedor pintu rumah Edvind. Sambil meneriakkan nama Edvind keras-keras. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, Nalia mengayunkan tinjunya ke daun pintu berwarna putih tersebut.

Kepalan tangan Nalia mendarat pada dada bidang telanjang yang hangat ketika pintu di depannya terbuka. Nalia menelan ludah saat di depan matanya terpampang bagian tubuh Edvind yang sangat menggiurkan. Jauh lebih menggiurkan daripada cheese cake terenak di dunia. Kalau Nalia ingin mencicipi, Nalia tinggal memajukan wajahnya dan menempelkan bibirnya di sana. Atau lidah dan....

"Nalia...," sapa Edvind dengan suara serak.

Nalia tidak bisa segera menarik tangannya karena otaknya tidak ingat untuk mengirimkan perintah. Sibuk memikirkan apakah Edvind sendirian di rumah atau bersama teman wanita.

"Kamu ... sakit?" tanya Nalia setelah berhasil mengisi penuh paru-parunya dengan udara.

Edvind menahan telapak tangan Nalia—yang sudah tidak lagi mengepal—di dadanya dan memejamkan mata, kemudian menggeram. "Tanganmu sejuk...."

"Kamu demam. Flu?" Muka Edvind pucat. Hidung Edvind memerah.

Edvind mengangguk dan mengajak Nalia masuk ke rumah. "Kepalaku pusing."

"Kamu sudah makan?" Kalau Edvind mengizinkan Nalia masuk, berarti Edvind sendirian. Tidak sedang ditemani siapa-siapa.

"Tidak nafsu." Edvind berbaring di sofa panjang dan menutup mata dengan lengan.

Berat menahan godaan untuk tidak melarikan tangan di dada dan perut Edvind yang padat dan mengagumkan. Nalia memarahi dirinya sendiri di dalam hati. Bagaimana mungkin Nalia punya niat menggerayangi tubuh laki-laki yang sedang tidak berdaya seperti ini?

"Nalia, sini sebentar." Edvind menarik Nalia mendekat. "Panas...." Kemudian Edvind menempelkan telapak tangan Nalia di pipinya. "Sejuk...."

Nalia mati-matian menjaga tangannya supaya tetap di tempat dan tidak bergerak ke bawah. Ke bibir Edvind, yang siang ini terlihat kering. Lalu ke kolom leher Edvind. Ke dada. Ke perut. Untuk menyejukkan seluruh bagian badan Edvind, baik yang tertutup kain maupun yang tidak. Hanya membayangkan saja sudah membuat sekujur tubuh Nalia memanas. Kalau Edvind dalam kondisi prima, pasti dia menggoda Nalia saat mengetahui wajah Nalia memerah hingga ke leher.

"Uh ... kamu mau dikompres? Punya kompresan di kulkas?"

"Mmm ... mmhh...." Jawaban Edvind hanya berupa gumaman tidak jelas.

"Kain bersih ada?"

"Mesin cuci...."

Nalia berjalan untuk mencari di mana dapur berada. Setelah mengisi baskom dengan air, Nalia mencari keberadaan mesin cuci. Di dalam keranjang di dekat mesin cuci terdapat pakaian bersih yang sudah dilipat sebagian. Tidak seperti Jari, Edvind sedikit memperhatikan kerapian.

"Tangan ... Nalia," protes Edvind saat Nalia menaruh handuk basah di kening Edvind.

"Ini lebih baik."Nalia tidak akan bisa menahan diri dari melakukan sesuatu yang diainginkan—menelusuri setiap jengkal tubuh seksi laki-laki yang berbaring didepannya—kalau dia lebih lama lagi bersentuhan dengan Edvind.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top