DUA PULUH EMPAT

Ada yang menyatakan cinta lagi :-) Aw, Edvind sweet banget pas lagi sakit :-D :-D

Seperti biasa, tinggalkan komentar untukku ya. Aku senang baca-baca dan balas-balas komentar. Kalau ada yang terlewat, itu bukan karena aku nggak suka sama komentarmu, tapi ... aku khilaf sebagai manusia.

Love, Vihara. IG/Twitter/FB ikavihara, WhatsApp 0895603897876

***

"Apa ada makanan yang ingin kamu makan? Aku bisa belikan. Bubur? Sup? Makanan hangat? Makanan berkuah? Kamu mau apa?"

"Aku nggak ingin makan apa-apa. Aku mau tidur."

"Tapi kamu harus makan, buat meningkatkan imunitas? Iya, kan?"

"Besok, besok aku akan meningkatkan imunitas. Sekarang aku mau tidur."

"Benar, ya, kata orang." Nalia menatap Edvind yang sekarang meringkuk seperti bayi di sofa yang tidak bisa menampung seluruh tubuhnya. "Dokter yang menyenangkan akan menjadi pasien yang menyebalkan. Tidurlah di kamar, aku bawakan minum ke sana. Dan putuskan mau makan apa. Kalau nggak, aku yang pilihkan makanannya dan akan memaksamu makan."

"Aku nggak suka jadi pasien. I want to be in control. I want to find out what is wrong with my body and fix it.". Edvind bangkit perlahan sambil menggerutu.

"Dengan cara apa? Menempelkan stetoskop di dadamu sendiri? Sudahlah, pergilah ke kamar dan jangan pikirkan macam-macam kecuali mau makan apa."

Nalia kembali ke dapur. Di sana Nalia mengisi gelas tinggi dengan air putih. Kalau air tidak menyelerakan, Nalia bisa membuat jus. Tetapi Edvind tidak punya buah sama sekali.

"Ayam rempah," kata Edvind saat Nalia masuk ke kamar dan menyerahkan gelas.

"Di mana itu belinya? Ada online?" Nalia mengeluarkan ponsel dan mencari menu yang diinginkan Edvind di aplikasi pesan antar.

"Buatan Mama," gumam Edvind.

"Buatan Nalia mau?" Jangan sampai Edvind seperti Astra. Yang menuntut orang lain memasak makanan kegemarannya sama persis seperti bikinan ibunya. Yang ketika tahu Nalia mencontek resep dari orang lain, lantas mengatakan makanan tersebut tidak enak. "Aku pinjam mobilmu buat belanja."

"Kamu bisa....?"

"Aku cuma nggak punya mobil, bukan nggak bisa nyetir mobil! Kenapa? Kamu sayang banget sama mobilmu dan nggak bisa memercayakan padaku? Takut aku baret?"

"Tidak ada ampun untukku ya ... sakit juga masih dimarah-marahi. Untung aku cinta kamu...." Edvind menggerutu dan berbaring di tempat tidur. Tidak lama kemudian, mendengkur.

***

Perlu waktu dua jam bagi Nalia untuk belanja bahan masakan, membuat bumbu rempah, melumuri potongan ayan dan mendiamkan, menanak nasi, membuat urap sayur, menyiapkan jus jeruk, dan menggoreng ayam. Prosesnya agak lambat karena Nalia harus membaca langkah-langkah memask di internet terlebih dahulu. Hasilnya tidak terlalu buruk untuk percobaan pertama. Kalau melihat Edvind menandaskan piring keduanya, Nalia berani mengatakan masakannya kali ini sukses. Edvind berbeda dengan Astra, karena tidak menuntut Nalia menelepon ibu Edvind untuk meminta resep. Atau menyuruh Nalia belajar padanya.

"Lebih enak daripada bikinan Mama." Edvind mengelus perutnya.

Hati Nalia melambung melampaui bulan. Tidak ada pujian yang lebih baik daripada itu. Ketika seseorang menyatakan masakan kita lebih baik daripada masakan koki terbaik dunia; ibunya. Because the prime ingredient of mother's cooking is love. Kalau diingat-ingat, ini adalah kali pertama ada orang yang memuji masakannya. Tetapi, mungkin Edvind memuji siapa saja yang memasak makanan untuknya. Teman wanita Edvind banyak. Setiap kali mereka tahu Edvind sakit, mereka pasti langsung mengeluarkan kemampuan memasak terbaik mereka untuk membuat Edvind terpesona. Bukankah kata orang perut adalah salah satu jalan untuk menuju ke hati?

"Selain Mama, belum pernah ada orang yang bikin makanan untukku." Wajah Edvind sudah mulai berwarna. Tidak pucat pasi seperti tadi. Menyantap makanan dengan aroma dan rasa yang tajam sepertinya bisa membangkitkan gairah indera perasa dan pembau. Makanan yang masuk ke mulut tidak lagi terlalu hambar dan kita bisa menikmatinya.

"Anggap saja ini pengganti traktiran makan yang nggak jadi dulu." Hati Nalia tenang kembali setelah tahu Edvind tidak pernah dimasakkan oleh....

Nalia mengomeli dirinya sendiri. Kenapa dia kembali insecure? Bukankah Alesha pernah menyarankan untuk menjaga pikiran supaya tidak bergerak liar ke mana-mana? Untuk tidak memusingkan hal-hal di luar kuasanya?

"Jadi kamu ke sini bukan tulus mau merawatku? Tapi mau bayar utang?"

"Iya, iya. Aku akan mentraktirmu nanti kalau kamu sudah sembuh." Nalia berdiri saat Edvind mengemasi bekas makan mereka dan hendak membawa piring-piring ke bak cuci. "Biarkan saja di situ, Ed. Nanti aku bereskan"

"Yang nggak masak harus cuci piring."

"Ajaran ibumu?" Nalia merebut piring-piring dari tangan Edvind.

"Adam. Berikan padaku, Nalia."

"Kepalamu masih pusing, Ed. Nanti kalau kamu jatuhkan piring-piring ini, makin repot kita bersihin beling. Sudahlah, hari ini pengecualian. Tidurlah lagi. Aku akan bikinkan jus apel yang banyak buat kamu." Karena jus apel buatan Nalia menurut Edvind enak dan bisa membuat Edvind banyak minum, Nalia akan membuat beberapa gelas lagi.

Setelah Edvind menghilang dari dapur, Nalia mencuci apel dan memotongnya kecil-kecil tanpa mengupas kulitnya. Di dalam sebuah panci, Nalia memasukkan potongan-potongan apel lalu menuang air hingga semua potongan apel terendam. Tidak boleh terlalu banyak air, karena akan membuat jus terlalu encer. Air dan apel ini harus dididihkan dengan api kecil selama dua puluh hingga dua puluh lima menit.

Sembari menunggu, Nalia mencuci peralatan masak dan makan—beberapa peralatan dibawa Nalia dari rumah Alesha. Juga Nalia mendisinfeksi dan mengelap konter serta permukaan lain. Dapur harus selalu bersih, kata Oma, karena di sini bakteri-bakteri penyebab penyakit suka berkumpul. Belum lagi hewan-hewan menjijikkan seperti kecoak, semut, dan tikus cenderung lebih banyak didapati di dapur yang kotor dan tidak rapi. Membersihkan isi dapur juga membuat benda-benda di sini tidak mudah rusak.

Dengan menggunakan lap bersih, Nalia menyaring jus apel. Kemudian menambahkan gula dan sedikit kayu manis ke dalam jus. Karena rasa apelnya terlalu tajam, Nalia menambahkan air putih matang. Kalau disimpan di kulkas, jus apel tanpa bahan pengawet ini bisa tahan selama seminggu. Ampas apel—applesauce—bisa dimakan. Tinggal ditambahkan gula dan kayu manis untuk menambah rasa. Bisa dioles di atas roti atau dipakai sebagai isian roti. Nalia bahkan pernah melihat Edna menggunakan applesauce untuk membuat muffin.

Setelah mengamankan jus apel—karena harus menunggu dingin sebelum masuk kulkas—Nalia menengok Edvind di kamar. Tadi saat masuk ke sini, Nalia tidak sempat mengamati isi kamar Edvind. Sepertinya ini adalah satu-satunya ruangan di rumah Edvind yang didekorasi dengan niat. Tembok kamar berwarna putih, tapi tidak terlalu putih. Agak keabu-abuan.

Ranjang Edvind berwarna hitam dengan seprai dan sarung bantal berwarna biru tua. Selimutnya berwarna hitam bergaris biru. Di dinding sebelah kanan tempat tidur, terdapat rak hitam. Bentuknya menyerupai tangga. Berisi buku-buku. Kecuali bagian paling atas. Dari tempat Nalia berdiri—di ambang pintu—Nalia tidak bisa mengenali benda apa yang ada di sana. Mungkin humidifier.

Lemari rendah berwarna putih berada di samping rak. Di atas lemari itu, Edvind meletakkan banyak bingkai berbagai ukuran. Foto sebuah pemandangan, gambar peta dunia, tiga buah kutipan, dan satu foto keluarga. Semuanya hitam putih. Di samping kiri kepala tempat tidur, ada empat buah rak yang dipasang di dinding. Paling atas berisi kamera besar. Di bawahnya dua jam beker—digital dan tidak—dan di bawahnya lagi lampu tidur. Nalia mengambil dua gelas kosong—bekas air putih dan jus apel—di nakas di samping tempat tidur. Kemudian tertawa saat membaca salah satu kutipan di dalam bingkai hitam.

"I refuse to be ordinary. I will never settle for anything less than legendary." Laki-laki bisa sangat arogan seperti itu. Tetapi anehnya, para wanita tetap mau berurusan dengan mereka. Bahkan bersedia tinggal bersama mereka. Selamanya.

Meja dengan komputer beserta perlengkapannya dan kursi putih terdapat di sudut kamar. Juga ada beanbag berwarna biru seperti seprai. Di meja di depan beanbag tergeletak beberapa barang. Nalia mendekat dan memeriksa benda apa saja yang ada di sana. Dua tumpuk buku-buku tebal tentang genomics dan bioinformatics*. Buku catatan bersampul kulit. Satu buah fountain pen berwarna hitam dengan tulisan inisal E. R. R di tubuh bolpoin. Ada juga kotak bening berisi kartu nama. Edvind Raishard R.

Sama seperti Nalia,Edvind lebih memilih tidak menuliskan kata terakhir pada namanya.

__

*Komputasi dan analisis untuk menangkap dan mengintepretasikan data-data biologi yang kompleks seperti DNA, RNA, dan protein. Bioinformatics berperan penting dalam mengelola data-data dari dunia biologi dan kedokteran modern.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top