DUA PULUH DUA

Kamu mau membaca cerita ini lebih cepat? Langsung sampai tamat? Ditambah bonus saat Edvind sudah jadi Papahpapah? Hehehe. Segera akan menjadi mungkin. Karena ... editorku menyukai cerita ini, sangat menyukai Edvind dan Nalia, dan beliau akan menerbitkannya. Seperti biasa, aku menyediakan bonusssss ketika Edvind sudah jadi papakseksi. Seperti Alwin dan Elmar dulu. Ini kabar bagus kan? Sembari menunggu bukunya, aku tetap mengunggah cerita ini di sini ya.

Jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya, aku senang mendengar kabar darimu :-)

Love, Vihara. IG/FB/Twitter ikavihara, WhatsApp 0895603879876

***

Tanpa bisa dicegah, Nalia mengembuskan napas lega. Edvind memilih dirinya. Bukan wanita yang sangat seksi itu. Perasaan nyaman dan tenang seperti ini sangat tidak disukai Nalia. Sebab Nalia hafal betul bahwa kenyamanan dan ketenangan ini tidak akan bertahan lama. Hari ini mungkin Nalia masih bisa mempertahankan Edvind di sisinya. Tetapi lusa? Siapa yang tahu? Alam raya punya cara kerja yang tidak bisa diduga demi memisahkan Nalia dengan orang-orang—laki-laki, kalau mau lebih tepat—yang dekat dengannya.

Nalia mengamati sebuah novel terjemahan karya penulis kenamaan dunia. Dulu Nalia menyukai karyanya dan selalu membeli. Tetapi dua buku terakhir—dan selanjutnya—tidak lagi. Karena penulis tersebut telah merendahkan salah satu kelompok masyarakat dengan komentar-komentarnya yang tidak bisa diterima, baik oleh akal sehat maupun hati nurani.

Bahkan Nalia telah memasukkan buku-buku karya penulis itu ke dalam kardus dan menaruhnya di pojok gudang. Mendonasikan saja Nalia tidak ingin. Sebab khawatir di dalam buku tersebut terselip pemikiran-pemikiran supremacist sang penulis. Tidak akan pernah lagi Nalia menyumbang pendapatan untuk manusia yang memandang golongannya lebih baik daripada golongan lain.

"Supaya kamu tahu aku nggak ingin reuni. Supaya dia tahu aku bersamamu, wanita yang kucintai, supaya dia meninggalkan kita. Lalu kita bisa ngobrol sambil menghabiskan makan malam." Dengan tenang Edvind menjelaskan. "Kamu harus bisa mengendalikan cemburu, Nalia."

Ada tombol unfollow di media sosial. Juga ada pilihan block-delete-mute dan sejenisnya yang bisa membuat kita terpisah secara virtual dari orang yang kita hindari. Tetapi di dunia nyata? Semua layanan tersebut tidak tersedia. Akan selalu ada kesempatan di mana kita akan bertemu—sengaja atau tidak sengaja, siap atau tidak siap—dengan seseorang yang tidak kita harapkan.

"Aku nggak cemburu!" Nalia menggertak.

"Yes you are. Tapi kamu memilih sembunyi daripada berperang. Kita akan sering keluar bersama, Nalia. Dan setiap kita di luar, kita bisa ketemu dengan ... temanku seperti tadi. Acara kita akan berantakan kalau setiap kali ada yang menyapaku, kamu kabur. Siapa pun tidak akan jadi pengganggu selama kamu tidak membiarkan. Berdirilah dengan kepala tegak dan tunjukkan kamu tidak akan mengizinkan siapa pun mengganggu kekasihmu."

"Kenapa kamu beranggapan ada lain kali?" Nalia mengangkut tas bening berisi lima buku bergambar dan satu buku tentang merajut menuju kasir. "Dan kamu bukan kekasihku!"

"Karena kamu belum jadi mentraktirku makan, jadi akan ada lain kali." Edvind menjajari langkah Nalia. "Tadi aku yang bayar, gara-gara kamu kabur."

***

Tiga puluh menit. Edvind sudah terlambat tiga puluh menit. Berkali-kali, bergantian Nalia menatap jam di pergelangan tangannya dan jalan depan rumah melalui jendela dapur. Nalia berharap waktu tidak banyak berlalu dan mobil Edvind muncul di depan rumah Alesha. Tidak biasanya Edvind terlambat. Setiap kali bilang hendak menjemput Nalia pukul sekian, Edvind datang lima menit lebih awal. Tetapi hari ini, bukan hanya sangat terlambat, Edvind bahkan tidak memberi kabar.

Panggilan dan pesan Nalia masih masuk, hingga sepuluh menit yang lalu. Ponsel Edvind tidak aktif sekarang. Pergi sendiri ke tempat pembuangan sampah bukan pilihan. Sebab Edvind melarang Nalia hadir seorang diri di sana. Dulu saat Nalia masih berangkat naik taksi, Edvind selalu menunggu Nalia agak jauh dari kampung tersebut, baru mereka berjalan bersama ke sana.

"Kamu harus bisa mengatasi abandonment issue itu, Nali." Alesha, yang sedari tadi duduk di meja dapur menghadap laptop, mengamati teman serumahnya. "Kalau nggak, kamu akan menderita setiap Edvind nggak bisa dihubungi. Pasti kamu menebak-nebak apa Edvind tadi malam menghabiskan waktu sama seorang perempuan lalu dia lupa waktu, dia nggak pulang semalaman dan keterusan sampai pagi. Atau dia memilih pergi kencan pagi ini daripada pergi ke kampung kumuh sama kamu...."

"Aku nggak pernah mikir seperti itu. Waktu tunangan sama Astra aja aku nggak pernah mikir gitu." Nalia tidak punya hubungan apa-apa dengan Edvind. "Kasihan anak-anak nungguin."

"Karena kamu nggak mencintai Astra." Alesha menutup laptop dan menghirup kopinya.

"Aku juga nggak mencintai Edvind!"

"Kamu cemburu, Nalia, dengan siapa pun, atau apa pun, yang menurutmu bisa menarik perhatian Edvind, yang membuat Edvind lebih ingin menghabiskan waktu dengannya." Alesha mengabaikan pernyataan Nalia. "Kamu nggak suka Edvind bersenang-senang, bahagia, tanpa melibatkan dirimu. The pessimist in you is talking right now. Ada berapa macam skenario yang berlarian di kepalamu dan semuanya menunjukkan bahwa kamu nggak bisa memercayai Edvind?"

Puluhan. Nalia duduk di kursi dan mengakui semua yang dikatakan Alesha benar.

"Pejamkan matamu dan tarik napas dalam-dalam, Nalia. Pikirkan kemungkinan baik. Edvind tidak datang ke sini karena dia ketiduran. Tadi malam ada kecelakaan besar dan dia harus begadang di rumah sakit. Jadi sekarang Edvind tidur. Atau saat ini Edvind sedang di rumah sakit, dia sedang diperlukan di sana."

"Thanks." Baru mengubah cara berpikir saja Nalia merasa lebih baik. Iya, pasti ada alasan masuk akal kenapa Edvind tidak menjawab telepon dan tidak muncul di sini.

Setelah Alesha berhasil mengidentifikasi masalah yang menghantui Nalia sejak kecil sebagai abandonment issue, kini Nalia tidak merasa bingung lagi. All the struggles that she's been battling through finally has a name. There is nothing wrong with her. Banyak orang mengalami abandonment issue dan kalau mereka bisa mengatasinya, Nalia juga pasti bisa. Betapa beruntung Nalia memiliki teman seperti Alesha, yang bisa mengarahkannya menuju pertolongan dan bantuan yang dia perlukan.

"Kamu tinggal bersamaku bukan hanya karena kamu nggak suka tinggal sendiri, Nalia. Kamu ingin sekalian belajar memercayai orang lain. Yang nggak bersahabat denganmu sangat lama seperti Edna. Yang nggak mengenalmu sejak kecil seperti Oma. Aku pilihan yang tepat. Aku sudah memancing-mancing dengan cerita soal Elmar, kematian kakakku, tapi kamu belum juga menceritakan sesuatu yang signifikan terkait hidupmu.

"Ada jalan lain kalau kamu belum bisa curhat padaku. Belum bisa memercayaiku. Tulislah sebuah jurnal. Tuangkan rasa cemas dan khawatir yang kamu rasakan di sana. Atau kalau kamu punya hobi, seperti bermain musik, melukis, membuat kerajinan tangan, berkarya apa saja, kamu bisa melakukannya setiap kali kamu merasa risau atau takut. Menulis bisa mengurai pikiran. Melukis bisa membuatmu merasa lebih tenang. Melakukan hobi bisa mengubah energi negatif menjadi positif."

Menulis jurnal adalah pilihan terbaik. Karena sebuah buku tidak bisa menghakimi. Apa pun yang disampaikan Nalia di sana akan terjaga kerahasiaannya. Kalau dipikir-pikir memang selama ini Nalia tidak pernah menceritakan apa yang sebenarnya dia rasakan terkait penelantaran ayahnya. Kepada teman-temannya yang bertanya kenapa Nalia diasuh Oma, Nalia mengatakan kedua orangtuanya meninggal.

Hanya orang-orang terdekat—termasuk Edvind—yang tahu ayah Nalia memilih pergi. Bagi seorang anak, tidak mudah hidup tanpa seorang ayah. Lebih sulit lagi ketika seorang anak harus hidup bersama kenyataan ayahnya tidak menginginkannya.

"Ibuku dulu bintang film. Sejak remaja sampai kira-kira umur dua puluh empat tahun." Nalia belum pernah menceritakan ini kepada siapa pun. Tetapi Nalia ingin memercayai Alesha. "Mama cantik sekali. Terkenal dulu. Mungkin ibumu tahu. Setelah menikah dengan Papa, Mama berhenti dari dunia hiburan dan memutuskan untuk kuliah lagi. Mama jadi guru, untuk anak-anak tuli. Aku pernah tanya Mama, kenapa Mama menikah sama Papa. Mama bilang karena Papa selalu bisa membuatnya tertawa.

"Papa memang seperti itu. Aku nggak pernah menangis atau sedih lama-lama. Kurang dari lima menit saja Papa bisa membuatku tertawa. Tapi pada saat yang paling kuperlukan, pada hari Mama meninggal, Papa sama sekali nggak menemuiku. Papa sangat mencintai Mama dan kepergian Mama ... kurasa kematian Mama membuat hati Papa hancur. Pada hari itu mungkin Papa nggak bisa lagi tertawa, apalagi membuat orang lain tertawa."

"Mana yang lebih berat dihadapi, Nalia, kehilangan ibu atau ayah?"

"Ayah. Kematian Mama ... setelah beberapa waktu aku bisa menerimanya. Aku bisa memahami itu sebagai kehendak Tuhan. Kalau bisa memilih pasti Mama mau tetap di sini bersama kami. Sedangkan Papa ... Papa punya pilihan untuk di sini bersama kami, tapi Papa memilih pergi." Kening Nalia berkerut tajam. Bagaimana dia bisa menggambarkan perbedaan kehilangan ibu dan kehilangan ayahnya?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top